Oleh : RAMLO R HUTABARAT
BeritaSimalungun.com-Pagi ini pikiranku melayang-layang. Melayang-layang ke masa lalu yang
sudah berlalu. Sudah lama. Ketika aku tinggal di Tebingtinggi.
Tebingtinggi - Deli, di Tanah Melayu yang akrab dan dekat dengan
Simalungun. Kota yang penuh kenangan buatku. Kenangan manis yang tak
terlupakan. Sampai denyut terakhir nadiku.
Pada masa lalu, di
Tebingtinggi berkuasa Sultan Padang. Bahagian dari Kerajaan Melayu.
Konon, masih punya hubungan keluarga dengan Raja Raya, Rondahaim. Waktu
melawan Belanda dulu, Sultan Padang pernah membantu Rondahaim, cerita
yang pernah kudengar.
Soalnya, Rondahaim adalah kemenakan Sultan
Padang.Sayangnya, aku lupa siapa yang menceritakan itu kepadaku, dan
kapan diceritakan.
Waktu aku tinggal di Tebingtinggi, kota itu
masih sempit sekali. Belakangan, diperluas dengan mengambil
bahagian-bahagian Kabupaten Deli Serdang.
Juga dengan mengambil Bahagian
arah ke Indrapura di Asahan. Bahagian Deli Serdang yang diambil
kemudian, adalah arah ke Rambutan, arah Dolok Masihul dan arah Pabatu.
Jadilah Kota Tebingtinggi sekarang sebagai sebuah daerah otonomi yang
terbilang cukup luas.
Aku tinggal di Tebingtinggi karena bekerja
di Depot Buku dan Percetakan Methodist (DBM), di Jalan Kartini persis di
Simpang Jalan Cempaka. Waktu itu, Direktur DBM adalah Pdt Marx Lontung
Hutabarat, yang pernah menjadi Distrik Superitendent Gereja Methodist
Indonesia di Asahan. Pendeta ini hebat dan jago sekali. Almarhum
merupakan pendeta tamatan Sekolah Teologia di Yokyakarta. Pernah menjadi
Anggota DPRD Asahan, juga sekalian Guru SMA PKMI di Kisaran.
Teman-temanku sesama karyawan di DBM itu ada almarhum Pantas Purba,
putra almarhum Pdt Benyamin Purba, asal Bangun Doloq. Juga, Tulbas
Sirait dan Minar Sirait, putra-putri Pdt Sirait yang istrinya Boru
Manurung orang asal Pardembanan.
Ada juga Mansen Purba Orang Negeri
Dolog putranya Pdt Mentan Purba. Juga Boru Simanjuntak yang aku tak tahu
namanya, Mamak Linda istri Artiaden Saragih yang bekerja di Pemko
Tebingtinggi.
Lantas, ada juga Boru Simanjuntak lain yang juga
aku nggak tahu siapa namanya. Tapi dia istri seorang Marga Sianturi, dan
diberi gelar Mamak Made karena putri sulungnya bernama Made.
Selanjutnya, Boru Gultom yang sudah balu Ito kandungnya Bishop GMI Pdt J
Gultom.
Ada juga Pak Simon, seorang Jawa yang berpenampilan gemulai.
Terakhir, seorang perempuan berkaca mata minus setebal pantat botol
bernama Rempina Manurung. Dia Orang Tanahjawa, dan sekarang bekerja di
Toko Buku Geminta, pimpinan kawan dekatku Drs. Naurat Silalahi di Medan
sana.
Kami mulai bekerja setiap hari kecuali Minggu, mulai pukul
07.30 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Pada Sabtu, memang cuma setengah hari
saja. Hingga pukul 12.00 WIB. Karenanya, terbilang banyak waktu luangku
terutama pada sore hingga malam hari. Hari-hariku kuhabiskan dengan
beraktifitas di Gereja.
Aku selalu menemani Pdt Motto Situmorang untuk
melakukan pelayanan ke rumah-rumah Anggota Jemaat GMI Tebingtinggi. Dan
dalam rangkaian pelayanan itu, aku dan Pdt Motto Situmorang selalu
disuguhi makanan yang lezat-lezat cita rasanya. Terkadang, diajak makan
pansit di Jalan Bedagai.
Selain itu, aku juga melakukan pelayanan
sebagai Pengurus P3MI (Persekutuan Pemuda Pemudi Methodist Indonesia)
Cabang Tebingtinggi. Sepertinya, waktu itu P3MI tidak seperti sekarang
yang hampir berkegiatan latihan koor semata dan sesekali PA (Penelaahan
Alkitab) P3MI saat itu, selalu bersama-sama Majelis berkunjung ke
rumah-rumah Anggota Jemaat.
Atau melakukan kunjungan pastoral bersama
Pimpinan Jemaat. Zamannya waktu itu, semua dilakukan dengan berjalan
kaki mengitari kota. Kalau sekarang masih berjalan kaki juga, tentu
banyak orang yang tertawa-tawa. Tertawa-tawa sampai terbahak-bahak dan
terkekeh-kekeh. Dan kawanku Drs. Naurat Silalahi, memang selalu begitu.
Waktu-waktu senggangku, kadang aku gunakan juga mengangkut ampas
singkong dari Sungai Sigiling di pinggiran Kota Tebingtinggi. Ampas
singkong dari pabrik tapioka disana, milik Cina.
Digunakan untuk makanan
ternak babi milik Boru Simanjuntak Mamak Made yang dipeliharanya untuk
menambah pendapatan mereka. Kalau aku mengangkut ampas itu apalagi
sekalian memandikan babi-babi milik Mamak Made, wajahnya akan cerah. Aku
segera disuguhi pisang goreng atau ubi rebus sekalian teh manis. Bisa
makan pisang goreng saja waktu itu, sudah syukur sekali.
Terbilang acap juga aku bertandang ke Jalan Nangka, ke rumah Boru
Simanjuntak, istri almarhum Artiaden Saragih, Mamak Linda. Artiaden yang
Orang Nagaraja itu, menjadi Keurmaster di Rumah Potong Tebingtinggi.
Belakangan, dia menjadi Kepala Rumah Potong Tebingtinggi. Sebagai
Keurmaster, dia selalu mendapatkan daging dari Rumah Potong. Oh ya,
Keurmaster berasal dari Bahasa Belanda yang artinya Juru Periksa.
Setiap
hewan yang akan disembelih, sebelumnya diperiksa dengan seksama hingga
dagingnya terjamin aman dari segala kuman untuk dikomsumsi.
Pasangan Artiaden Saragih dan Boru Simanjuntak waktu itu dikarunia Tuhan
empat putra-putri. Seperti sudah kusebutkan tadi, yang sulung seorang
putri diberi nama Linda.
Belakangan, aku mendapat kabar Linda meninggal
setelah menderita sebuah penyakit terbilang langka. Barangkali l u p u s
. Setelah dewasa Linda bekerja di Jakarta, tapi segera dipanggil Tuhan
saat dia belum menikah.
Lantas dua adik Linda namanya Budi dan
Abdi. Usia keduanya waktu itu empat dan lima tahun. Sedang
lasak-lasaknya dan pintar serta cerdas. Keduanya, acap sekali aku bawa
naik sepeda entah kemana-mana.
Namanya anak-anak. Ada-ada saja dan macam
tingkah keduanya menjurus nakal dan bandal. Dan aku, suka pada anak
nakal serta bandal tapi cerdas serta bisa diatur. Aku suka membuat
kedua anak ini agar bandal dan nakal, meski Mamak mereka marah-marah.
“Ramlo ................. ! Jangan kau ajari anakku itu menjadi bandal
!”, kata Mamak Linda suatu hari. Aku tertawa-tawa saja menanggapinya.
Meski tidak sampai terbahak-bahak apalagi terkekeh - kekeh seperti
kawanku Drs. Naurat Silalahi. Sudah tertawa-tawa sampai terbahak-bahak
dan terkekeh-kekeh, di kandang-kandang pula.
Karena acap
bersama-sama, akhirnya aku sangat menyayangi Budi dan Abdi. Aku jadi
ingin selalu bersama kedua anak ini sepanjang hari.
Tapi tentu saja kami
dibatasi ruang dan waktu. Pagi hingga sore aku harus bekerja, dan
kadang melakukan kunjungan pastoral bersama Pdt Motto Situmorang yang
waktu itu masih menjadi Guru Injil (GI) Tapi begitu ada waktu, aku
segera ke Jalan Nangka, menjemput Budi dan Abdi. Kubawa entah
kemana-mana. Entah kemana-mana.
Hampir setiap malam di
peraduanku, aku akan ingat Budi dan Abdi. Pada tawa keduanya, pada ragam
tingkah polah keduanya. Juga pada bandal dan nakalnya yang memang aku
bina dan tumbuhkembangkan. Aku tersenyum-senyum sendiri, dan aku pun
terlelap dalam tidurku dengan penuh senyum. Senyum bahagia dan ceria.
Tapi segalanya memang, ada waktunya. Oleh Bishop Hermanus Sitorus
Pimpinan Pusat GMI waktu itu, aku diberi bea siswa untuk melanjutkan
pendidikanku.
Karenanya, aku dipindahtugaskan dari DBM ke Kantor Pusat
GMI, menjadi staf di Departemen Pendidikan yang waktu itu Ketuanya
almarhum Ferdinan Hutagalung dan Sekretarisnya Pdt Simon Doloksaribu,
ayahanda Bishop Humala Doloksaribu. Belakangan, aku dipercaya menjadi
Kepala Biro Komunikasi Kantor Pusat GMI menggantikan Pdt Jhon Wesly
Napitupulu yang mendapat tugas belajar ke Inggris.
Aku berangkat
ke Medan dengan penuh haru. Aku sadar, dengan begitu aku tidak lagi bisa
bersama-sama Budi dan Abdi sesuka kami kapan saja. Malam sebelum
berangkat ke Medan, aku menangis di peraduanku. Ingat Budi dan Abdi.
Aku
harus akui, aku sayang pada kedua anak itu. Bahkan, tak terlalu keliru
barangkali kalau aku menyebut aku sangat mencintai keduanya. Aku
menangis bukan karena harus meninggalkan Rosdiana Tobing kekasihku anak
Jalan Thamrin itu.
Waktu terus bergulir. Berlalu dan berlalu.
Semuanya berlalu dan berlalu, sampai dua tiga tahun lalu aku Kebaktian
di GMI Sentiong Jakarta Pusat.
“Ini Budi, Pak. Ini Abdi”, kata putra sulungku Marco Hutabarat mengenalkanku pada dua pemuda yang ganteng dan perkasa.
Aku terkejut. Kaget luar biasa. Pertemuan yang tak pernah kuduga dan
tak pernah kusangka. Spontan aku memeluk keduanya bergantian, mendekap
mereka.
“Tuhan ! Betapa Maha Baiknya Kau”, jeritku dalam hati.
Setelah puluhan tahun kemudian, aku bertemu dengan kedua anak itu. Budi
dan Abdi sudah menjadi Pelayan Tuhan di LadangNya.
Sekarang, Abdi
menjadi Pendeta dan melayani di salah satu GMI di Bekasi. Selintas aku
terbayang banyaknya puisi yang kutulis untuk keduanya dalam
kesendirianku di Medan puluhan tahun lalu.
Aku ingat (lagi) ada
yang bertuliskan :” ...............kupeluk kau dalam keharuan, kudekap
kau dalam kepiluan ..........................”. (Siantar Estate, 1 Pebruari 2017)
0 Comments