![]() |
RAMLO R HUTABARAT Saat Menatap Samosir.IST |
Oleh: RAMLO R HUTABARAT
Beritasimalungun.com-Seorang kawan, warga Kecamatan
Sipahutar Tapanuli Utara, tadi siang meneleponku. “Dimana posisi ?”. “Siantar”.
“Kapan ke Tapanuli Utara ?”. “Belum ada rencana. Kenapa ?”
Lantas kawan kawan itu cerita panjang. Seputaran
pemanfaatan Dana Desa di Kecamatan Sipahutar, Pangaribuan serta Kecamatan
Garoga. Intinya, secara umum dilumuri masalah. Nuansanya penyalahgunaan
berpotensi korupsi.
Kawan saya itu bersemangat sekali menjelaskan kepada kepada
saya. Marapi-purun, sangkin semangatnya. Barangkali, sampai marsamburetan
ludahnya ketika menerangkannya kepada saya.
“Turunlah ke daerah kami. Banyak sekali kasus
penyalahgunaan Dana Desa di daerah kami ini”, katanya masih tetap dengan
semangat 45. “Turun ? Turun ?”, kata saya mengulang. Dan dia membenarkan.
Saya terangkan kepada kawan itu. Kalau dari Siantar ke
Tapanuli Utara, tentu saja nggak bisa turun. Harus naik. Soalnya, Siantar
berada di dataran rendah. Sedang Tapanuli Utara berada pada Dataran Tinggi
Pegunungan Bukit Barisan.
Sama dengan Orang Jakarta ke Puncak. Mana ada dan nggak
bisa turun dari Jakarta ke Puncak. Makanya, nyanyian lama pun mengatakan :
Naik-naik ke Gunung Nona. Bukan : Turun-turun ke Gunung Nona. Meski pun, Gunung
Nona bisa dituruni sekaligus bisa dinaiki. Kalau susu Cap Nona, memang
nikmatnya ya diminum.
Saya terangkan juga kepada kawan itu, penyalahgunaan
penggunaan Dana Desa, sebenarnya tak menarik bagi saya. Itu karena dilakukan
orang dimana-mana. Di hampir semua pelosok negeri.
Setidaknya, negeri-negeri
yang saya pernah saya jalani, pantau dan cermati. Sementara, penyalahgunaan ini
disebabkan berbagai faktor. Bukan saja faktor di desa yang bersangkutan, tapi
dari pihak pemerintahan atasan. Bahkan, faktor pemerintahan atasanlah yang
paling mempengaruhi.
Di tingkat desa, secara umum di hampir segenap pelosok
negeri masih terdapat kelemahan SDM-nya. Bagaimana tak lemah SDM di pedesaan.
Umumnya, orang-orang yang tinggal di desa adalah orang-orang yang minim latar
belakang pendidikan apalagi pengalaman dan wawasan.
Makanya mereka tinggal di
desa. Orang-orang yang berpendidikan, umumnya enggan tinggal di desa. Mereka
meninggalkan desanya untuk berjuang di kota-kota. Maka, tinggallah desa dengan
kemiskinan dan kepapaan.
Celakanya, Undang-undang tentang desa pun (Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014) menurut saya mengisyaratkan bertahannya kelemahan SDM di
desa.
Lihat misal Pasal 33 tentang persyaratan seorang calon kepala desa.
Pendidikannya saja cukup hanya tamatan SMP. Padahal, kalau desa mau maju dan
berkembang, persyaratan menjadi kepala desa menurut saya haruslah seorang yang
berpendidikan S1.
Menjadi aneh, ketika Perangkat Desa diisyaratkan malah
sedikitnya berpendidikan Sekolah Menengah Umum. Artinya, lebih rendah
pendidikan si kepala desa dibanding perangkatnya. Baik Sekretaris Desa, mau pun
Pelaksana Kewilayahan serta Pelaksana Teknis-nya.
Yang paling celaka secara umum di pelosok negeri para
kepala desa tidak memahami segala macam peraturan perundangan tentang desa.
Konon pula para Perangkat Desa.
Padahal, sebagai pemerintah desa mereka wajib
paling sedikit memahami Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014, Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa, termasuk
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Desa.
Di tengah lemahnya SDM di desa kita secara umum, muncullah
Dana Desa. Dana yang ditampung dalam APB Desa yang keseluruhan dikelola mulai
dari perencanaannya, penganggarannya, penatausahaannya, pelaporannya,
pertanggungjawabannya dan pengawasan keuangannya hanya dimungkinkan mampu
dilakukan oleh orang-orang berpendidikan.
Bagaimana keuangan desa bisa dikelola
berdasarkan asas-asas transparansi, akuntabel, partsipasif serta dilakukan
dengan tertib dan disiplin anggaran ?
Dalam situasi yang beginilah Dana Desa yang merupakan
bagian dari Pendapatan Asli Desa, Bagi Hasil Pajak Kabupaten/ Kota, Bagian Dari
Retribusi Kabupaten/ Kota, Alokasi Dana Desa (ADD) ,Bantuan Keuangan Dari
Pemerintah Pusat, Bantuan Dari Pemerintah Propinsi, Bantuan Dari Pemerintah
Kabupaten/ Kota dan Desa Lainnya, Hibah serta Sumbangan Pihak Ketiga dikelola.
Di bawah keterbatasan SDM para pengelolanya. Mau bagaimana ?
Tingkah polah dan ulah serta sikap orang-orang di
pemerintah atasan seperti Orang-orang Kantor Camat apalagi Orang-orang di
Pemerintah Kabupaten/ Kota, juga termasuk hal-hal yang mempengaruhi
penyalahgunaan Dana Desa.
Bukan rahasia sebenarnya, penyalahgunaan Dana Desa,
justru diawali oleh pihak-pihak pemerintah atasan ini. Ragam cara dan tindakan
yang diambil, hanya untuk mendapatkan bagian dari Dana Desa. Semuanya,
bernuansa pungli dan berpotensi korupsi.
Maka, dalam situasi yang begini pula banyak orang-orang
yang mengaku-ngaku wartawan dan orang-orang yang mengaku-ngaku aktifis LSM yang
memanfaatkan situasi.
Memancing di air keruh. Mereka mendatangi kepala desa dan
berlagak KPK, padahal ujung-ujungnya minta duit juganya. Itu mereka lakukan
umumnya, setelah tanya ini tanya itu bagai mengintograsi. Dan, kepala desa
biasanya memang berada dalam posisi yang lemah.
Alhasil memang, secara umum pelaksanaan Dana Desa di
berbagai negeri dipenuhi masalah berbau misteri bernuansa korupsi. Meski kalau
diusut tuntas yang menjadi korban pada akhirnya adalah oknum kepala desa dan
atau perangkatnya belaka.
Padahal, penikmat penyalagunaan Dana Desa itu
sebenarnya merupakan jamaah. Ya orang-orang di Pemda Kabupaten/ Kota, ya
orang-orang Kantor Kecamatan, ya mereka yang mengaku-ngaku wartawan, serta
mereka yang mengaku-ngaku aktifis LSM.
Itulah sebabnya memang, belakangan ini sudah banyak sekali
orang-orang yang mengaku wartawan dan orang-orang yang mengaku aktifis LSM
rajin dan hobbi ‘turun’ ke desa-desa. Dan kondisi ini menyebabkan pula
kantor-kantor Pemda Kabupaten/ Kota tak lagi seperti dulu, ramai dikunjungi
orang-orang yang mengaku-ngaku wartawan dan orang-orang yang mengaku aktifis
LSM. (Siantar Estate, 1 Pebruari 2017)
0 Comments