Perjalanan Pelayanan Pdt Defri Judika Purba STH/ Inang Br Sinaga menuju GKPS Tinggi Saribu. Foto IST |
Perjalanan Pelayanan Pdt Defri Judika Purba STH/ Inang Br Sinaga menuju GKPS Tinggi Saribu. Foto IST |
Perjalanan Pelayanan Pdt Defri Judika Purba STH/ Inang Br Sinaga menuju GKPS Tinggi Saribu. Foto IST |
Perjalanan Pelayanan Pdt Defri Judika Purba STH/ Inang Br Sinaga menuju GKPS Tinggi Saribu. Foto IST |
Perjalanan Pelayanan Pdt Defri Judika Purba STH/ Inang Br Sinaga menuju GKPS Tinggi Saribu. Foto IST |
Perjalanan Pelayanan Pdt Defri Judika Purba STH/ Inang Br Sinaga menuju GKPS Tinggi Saribu. Foto IST |
Perjalanan Pelayanan Pdt Defri Judika Purba STH/ Inang Br Sinaga menuju GKPS Tinggi Saribu. Foto IST |
BeritaSimalungun.com,
Tinggi Saribu-Semalam saya melayani ke GKPS Tinggi Saribu. Ini adalah
pelayanan perdana saya kesana. Jam masih menunjukkan jam delapan pagi ketika
kami berangkat dari rumah.
Sengaja memang kami berangkat agak cepat agar di perjalanan
sedikit santai. Saya mengajak si Borsin, isteriku, Remiel serta dua orang anak
kecil. Satu anak tante, dan satu lagi anak jemaatku dulu sewaktu melayani di
Tambun Raya.
Hari Jumat kemarin dia datang ke Bahapal setelah pulang
sekolah. Rindu kepada Remiel itulah alasannya datang. Jadi perjalanan kami
lumayan ramai. Sebenarnya saya tidak sampai hati untuk mengajak isteriku si Borsin.
Di usia kehamilannya yang sudah umur lima bulan, perjalanan
menuju Desa Tinggi Saribu pasti sesuatu yang sangat melelahkan baginya. Tapi
karena pertimbangan bahwa akan lama nantinya dia akan mendampingi saya ke sana
setelah usia kehamilan yang sudah semakin tua dan setelah bersalin. Jadi
kunjungan semalam ke Tinggi Saribu, adalah usaha untuk menjawab kekawatiran
kami tersebut. Biarlah dia berangkat, tidak enak juga nanti, tidak ada jemaat
yang mengenalnya.
Jam sudah menunjukkan jam sembilan kurang setelah kami
sampai di Desa Talun Kahombu. Memang perjalanan dari Bahapal ke Desa Talun Kahombu
jalan agak rusak setelah melewati Desa Raya Humala.
Jadi kami agak hati-hati menghindari batu-batu lepas. Setelah
sampai di Desa Talun Kahombu kami pun meninggalkan kereta di gubuk persinggahan
milik jemaat Tinggi Saribu. Ada satu gubuk kecil tempat mereka menitipkan
barang.
Perjalanan pun kami lanjutkan dengan rute pertama jalan
batu menurun. Dalam perjalanan ini sengaja kami tidak memakai baju gereja. Cukup
dengan celana ringan dan kaos oblong. Di dalam tas tidak ada agenda dan jas
yang sengaja saya bawa.
Hanya jubah dan almanak. Kami berpikir barang-barang itu
agak sedikit memberatkan perjalanan kami. Sepatu kami masukkan ke dalam plastik
putih. Jadi dari segi perjalanan kami tidak terlalu banyak membawa beban. Hanya
perlengkapan Remiel yang lengkap. Ada termos, air dingin, susu, baju ganti dll.
Di awal perjalanan ini, kami sedikit harus berhati-hati. Hujan
yang turun hari Sabtu kemarin, membuat jalan batu dan tanah agak sedikit licin.
Sayalah yang menuntun Remiel. Dua anak kecil yang bersama kami membawa barang
sementara si Borsin cukup melenggang kangkung.
Di tengah perjalanan sebelum sampai di jembatan, kami
bertemu dua orang jemaat Tinggi Saribu. Mereka menjemput barang dari Desa Talun
Kahombu. Ada beras dan kebutuhan rumah tangga yang mereka bawa.
Pada mulanya mereka sabar berjalan bersama kami. Tapi
karena jalan kami ibarat jalan siput, saya pun dengan hati senang
mempersilahkan mereka berjalan dahulu. Tidak enak rasanya dengan beban yang berat
seperti itu, mereka mendampingi kami.
Sampai di jembatan ada bonus dalam perjalanan ini. Sungai Bahapal
yang mengalir dibawahnya, ibarat seorang gadis yang menggoda seorang laki-laki.
Tidak tahan rasanya mendengar godaannya. Tidak lengkap rasanya sebelum
menyentuh airnya yang mengalir keras dan jernih.
Karena itu, kami memanfaatkan godaan Sungai Bahapal untuk
beristirahat sejenak. Dua orang anak kecil yang bersama kami -Dobel, Diman-
serta Remiel berenang ria menikmati segarnya Sungai Bahapal. Saya bertugas
menjaga Remiel.
Puas berenang kami pun melanjutkan perjalanan kami kembali.
Ketika kami mau berangkat kami dikejutkan dengan kedatangan Porhanger Tinggi
Saribu. Beliau datang menjemput kami. Sudah menjadi kebiasaan rupanya di jemaat
itu, kalau ada tamu yang datang mereka datang menjemput, secara khusus full
timer.
Mereka datang untuk membantu perjalanan. Kalau menurut
cerita penginjil dua orang anaknya selalu dibawa porhanger tersebut. Bahkan
beliau tidak segan untuk ikut membawa tas bawaan yang berisi pakaian dan
sepatu.
Hanya penginjil saja yang agak sungkan memberi. Begitu juga dengan
saya. Porhanger itu menawarkan dirinya untuk membawa tas dan anak kami Remiel. Segan
karena terlalu merepotkan hanya tas yang beliau bawa. Remiel biarlah saya yang
membawa.
Perjalanan selanjutnya adalah mendaki. Remiel rupanya sadar
akan itu. Karena itu dia minta digendong. Jadi perjalanan ini semakin berat
dengan beban di pundak. Padahal dulu sejak kami pertama sekali kesini, Remiel
bisa jalan pulang pergi. Mungkin berenang di Sungai Bahapal membuat badannya
menjadi capek.
Sepanjang perjalanan, Bapak Porhanger menceritakan
bagaimana susahnya pengalaman mereka melewati jalan tersebut. Apa pun hasil
tani, terasa berat untuk menjualnya. Semua hanya mengandalkan tenaga pundak.
Saya mendengarnya dengan sangat prihatin. Tapi cerita
beliau itu sepertinya tidak akan terjadi lagi. Ada angin segar untuk masyarakat
disana. Saya mendengar jalan menuju tinggi saribu dalam waktu dekat akan dibuka
dengan dana add. Ketika saya mengkonfirmasi berita tersebut, Beliau hanya
pasrah seraya berharap, semogalah itu terjadi.
Jam sudah menunjukkan lewat jam sepuluh ketika kami sampai
di gereja. Jam masuk di gereja tersebut adalah jam tengah sebelas. Karena belum
ada jemaat yang datang kami pun menyiapkan diri kami untuk berpakaian. Bapak Porhanger
melanjutkan perjalanannya ke rumah. kebetulan gereja ini agak di luar komplek
perkampungan.
Gereja adalah bangunan pertama sebelum memasuki Desa Tinggi
Saribu. Bapak Porhanger sebenarnya mengajak langsung ke rumah, tapi kami
memilih untuk menunggu di gereja saja sambil persiapan.
Setelah menunggu beberapa saat, jemaat pun mulai
berdatangan. Ibadah baru dimulai setelah jarum jam menunjuk angka sebelas. Molor
setengah jam. Tapi tidak apa-apalah. Sebelum masuk ibadah, saya mengajar
sedikit bagaimana menyanyikan lagu dalam ibadah. Supaya nanti ibadah agak
sedikit bergairah.
Selesai ibadah minggu, kami melanjutkan lagi ibadah
partonggoan. Ibadah ini adalah ibadah perdana setelah lebih sepuluh tahun tidak
ada partonggoan di jemaat ini.
Saya mendorong majelis nya lewat bapak
porhanger, agar diadakanlah ibadah partonggoan. Untuk waktu dan tempat, biarlah
disesuaikan dengan jadwal kunjungan kami full timer. Ide itu bisa langsung
diterima. Syukur, terpujilah namaNya.
Ibadah partonggoan perdana ini di rumah jemaat yang sudah
lansia dan janda. Beliau membuka pintu rumah, membuat tikar dan menyediakan
snack kue dan bandrek. Damai rasanya ada di antara mereka.
Setelah ibadah partonggoan selesai, Bapak Pengantar Jemaat
membawa kami ke rumahnya untuk makan siang. Sudah menjadi tradisi juga di
jemaat ini, siapa pun tamu yang datang berkunjung, harus makan siang dulu
sebelum pulang.
Setelah makan siang, kami pun permisi mau pulang. Alasan karena
awan hitam yang mulai menggantung ditambah dua orang anak kecil yang bersama
kami harus pulang karena mau sekolah.
Sebelum meninggalkan kampung tersebut, beberapa jemaat
menitip barang bawaan kepada kami. ada durian dan sukun. Karena tidak sanggup
membawa, durian itu pun kami belah dan isinya dipindahkan ke satu wadah. Ada
juga durian yang langsung kami bawa, karena durinya sudah dipotong habis.
Perjalanan pulang pun dimulai. Dengan ransel di pundak,
kami pun bernyanyi ria menirukan acara khusus anak-anak di salah satu tv
nasional, si Bolang. Baru sepuluh menit meninggalkan kampung tersebut, hujan
pun mulai turun.
Sadar hujan itu tidak bisa ditembus, kami pun berteduh di
gereja. setelah menunggu setengah jam lebih, kami pun melanjutkan perjalanan
kembali. Sepucuk pohon pisang melindungi kami dari gerimis yang masih turun.
Kami sampai di desa talun kahombu ketika jam sudah
menunjukkan hampir jam lima. Kami berhasil menjalani pelayanan kali ini. Tidak
ada hambatan yang berarti. Anak kami remiel pun sangat kuat dalam perjalanan
pulang. Hanya sebentar saja digendong, sisanya jalan sendiri walau jalan
menanjak curam. anakku remiel benar-benar kuat dan tangguh.
Isteriku si borsin pun lumayan kuat juga. Walau kami
berjalan siput jauh di belakang, dengan tongkat ditangan, tantangan itu pun
telah berhasil kami lewati bersama. Semogalah isteriku tetap kuat sampai
persalinannya.
Semoga juga apa yang telah kami lewati dan alami dalam
pelayanan kami ke Tinggi Saribu, semata-mata untuk kemuliaanNya dan sebagai
ucapan syukur bagiNya yang masih memberi kesempatan bagi kami untuk melayani.
Solideo Gloria. (Pdt Defri Judika Purba STh-Bahapal Raya, 20 Maret 2017).
0 Comments