Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Selamat Jalan, Pholmer

Pholmer Saragih.IST
BeritaSimalungun, Pematangsiantar-Dia sudah pergi. Jauh sekali. Ke Tempat Yang Maha Tinggi. Dimana dendam, iri, dengki dan sakit hati tak ada lagi. Ya, dia sudah pergi. Kudapat tahu, ketika aku berada di Medan. Sejawatku Tigor Munthe yang memberi tahu. Spontan aku tersentak bercampur haru. Bahkan, air mataku menetes. Kubiarkan. Sebab rasa sayang dan cintaku tak pernah hilang. Untuknya. Untuknya.

Siapa dia ? Namanya Pholmer Saragih. Seorang jurnalis senior yang masih relatif muda di Siantar, kota kami. Dia meninggal di RS Vita Insani Pematangsiantar Rabu sore 5/4/2017 dalam usia yang masih sangat produktif. Beberapa bulan belakangan memang, dia terbaring lemah setelah sejenis stroke menyerangnya. Dia sempat dirawat di Rumah Sakit Columbia Medan. Dan pulang ke rumahnya dikawasan Sinaksak, setelah berangsur sembuh.

Tapi tiba-tiba sejawatku Tigor memberi tahuku lewat telepon kemarin sore.

“Pholmer meninggal, Bang”, katanya. Aku kaget.

“Bah !”

Dan pagi tadi aku balik ke Siantar dari Medan. Dalam perjalanan Medan - Siantar, aku telepon sejawatku yang lain, Hentung Purba, Redaktur Pelaksana Suratkabar Suara Simalungun.

“Kapan Pholmer dikebumikan, Tung ?”, tanyaku dengan nada suara bergetar. Dengan nada suara bergetar juga, Hentung bilang :

“Besok, Bang”, nyaris tanpa ekspresi. Hubungan terputus.

Mobilku meluncur di aspal mulus jelang Sei Rampah, setelah melintasi Teluk Mengkudu. Pepohonan havea bersileweran di sisi kiri kanan Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsu) Pepohonan yang tumbuh subur karena dirawat pemiliknya, salah satu BUMN di tanah air. Tidak seperti kebanyakan pohon havea milik rakyat di Sumatera Utara. Tak pernah menghasilkan karet secara memuaskan karena sememang tidak dirawat dan tidak dipelihara pemiliknya dengan baik dan benar. Manusia saja harus cukup gizi supaya bisa pintar dan cerdas. Konon pula tanaman.

Sisa perjalanan Sei Rampah - Siantar, pikiranku kubiarkan menjelajah. Bertamasya ke suatu masa yang sudah cukup lama. Pada sebuah masa lalu yang sudah berlalu, dan sesungguhnya cuma tinggal kenangan. Aku sadar sesadar-sadarnya masa lalu cuma kenangan dan tak akan berulang. Sedang hidup yang sesungguhnya adalah hari ini.

Pholmer mulai menekuni dunia pers dalam artian luas begitu dia menyelesaikan pendidikannya di FISIP Universitas Sumatera Utara Medan, 1990 satu angkatan dengan Resman Saragih, sekarang Kepala Dinas Pendidikan Simalungun. Juga satu almamater dengan Ulamatuah Saragih, Pardamean Silaen, Koni Ismail Siregar, serta Prof Erika Revida Saragih. 

Selama kuliah, dia tampil biasa-biasa saja seperti kebanyakan mahasiswa. Dia pun aktif di HIMAPSI (Himpunan Mahasiswa Mahasiswa dan Pemuda Simalungun) yang pendiriannya antara lain digagasi oleh Januarison Saragih yang sekarang dosen di Universitas Simalungun dan Setia Dermawan Purba, sekarang dosen di Universitas Sumatera Utara pada Jurusan Etnomusikolgi.

Mula-mula, Pholmer mengabdikan dirinya di Suratkabar SIMALUNGUN POS yang didirikan oleh almarhum Baringin Purba jelang berakhirnya era 1990-an sebagai Tenaga Bagian Umum merangkap Reporter. 

Seangkatan dengan dia adalah Hardono Poerba yang sekarang menjadi Kepala SMA Negeri Tigadolog, Kecamatan Dolog Panribuan, Simalungun. Keduanya memulai karirnya di dunia pers sebagai Tenaga Bagian Umum, sebuah devisi paling bawah pada sebuah perusahaan pers. Aku mengistilahkan ‘mengabdikan diri’ sebab baik Pholmer Ganteng mau pun Hardono Poerba tidak diberi honor apalagi gaji.

Pada masa itu memang, kran demokrasi mulai dibuka lebar-lebar dan Departemen Penerangan pun dikubur dalam-dalam oleh Presiden Gusdur menyusul pemberlakuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Undang-undang Pokok Pers. 

Konsekwensinya, siapa saja bisa mendirikan perusahaan pers dan siapa saja pun bisa menjadi wartawan. Almarhum Baringin Purba yang waktu itu menjadi staf di Kanwil Penerangan Sumatera Utara melihat peristiwa itu secara cerdas dan cemerlang serta pintar melihat tanda-tanda zaman. 

Baringin Purba pun antara lain mengajak Januarison Saragih, almarhum Hotman Saragih dosen Universitas Simalungun ayahandanya Andry Christian Saragih dan aku untuk mengelola Suratkabar SIMALUNGUN POS. Juga Agus Erdiaman Purba, Setia Dermawan Purba, Corry Aritonang, Maruli Damanik dan beberapa lainnya.

Keinginan bahkan ambisi untuk mendirikan perusahaan pers saat itu sesungguhnya lebih didominasi oleh emosi kedaerahan yang menggebu-gebu. Termasuk hubungan emosional kesukuan yang terkesan dikubur hidup-hidup semasa kekuasaan Orde Baru. Di atas alas yang seperti itulah Suratkabar SIMALUNGUN POS dikelola dan dikemudikan oleh para pendirinya. 

Intinya kira-kira, Suratkabar SIMALUNGUN POS didirikan untuk membela dan berpihak kepada Simalungun. Baik dalam pengertian Simalungun sebagai salah satu daerah otonomi di tanah air, mau pun sebagai salah satu etnis yang ada di bumi persada.

Dengan latar belakang dan motivasi seperti itu, dalam beberapa waktu kemudian menyusul pula bergabung ke Suratkabar SIMALUNGUN POS almarhum D Kenan Purba ayahandanya kawan saya Corry Purba yang sekarang Wakil Rektor Universitas Simalungun, Jomen Purba mantan Asisten Pemerintahan Setdakab Simalungun, Hendro Purba, Hentung Purba, Sarolim Sinaga almarhum Jaiman Saragih ayahandanya Jan Wiserdo Sumbayak, Janto Dearmando, dan Kristina Saragih Sumbayakdan beberapa nama lainnya.

Dan dengan semangat ‘marsimalungun’ juga, pada generasi kedua bergabung pula Pholmer Ganteng, Hardono Poerba, Maha Dedi Sitanggang (Pak Bos), Henky Sibarani, Rindu Erwin Marpaung, Henrika Sitanggang, dan banyak lainnya ke Suratkabar Simalungun Pos. Semua kami adalah orang-orang yang memiliki semangat dan idealisme ‘kesimalungunan’, baik Simalungun sebagai sebuah daerah, maupun sebagai suku atau etnis. Itulah yang mendasari pemikiran kami hingga semua kami rela dan ikhlas tidak menerima upah baik honor apalagi gaji sebagai pekerja pers.

Dalam pandanganku sebagai pimpinan langsung Pholmer Ganteng, anak muda ini memiliki sosok yang mampu bekerja keras untuk sebuah perjuangan besar. Dia seorang yang patuh dan taat serta setia pada pimpinannya, serta penuh disiplin dan seorang pembelajar yang tangguh. 

Apa boleh buat, karena latar belakangku bekerja di sebuah pers dididik dengan keras menjurus kasar, gaya dan caraku memimpinku pun ya kurang lebih seperti itu. Tak terbilang berapa kali Pholmer dan kawan-kawan kuperlukan dengan pola kepemimpinan yang senada dengan sesuatu yang sudah menjadi sikap dan karakterku itu, tapi Pholmer dan kawan-kawan tetap saja menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.

Sekarang ketika aku mengkilas balik semua sikap dan gayaku itu, aku jadi malu pada diriku sendiri. Terkadang saat aku sendiri dan menyendiri dalam sunyi yang menyepi dalam kamar kerjaku, aku menangisi semua itu dan menyesalinya. Hentung Purba selalu ‘membela’ku ketika beberapa kawan kubentaki dengan bahasa-bahasa keras menjurus kasar :

“Bang Ramlo memang begitu. Tidak begini. Dia seorang yang keras menjurus kasar dan tegas meski pun dia merasa adalah Orang Simalungun. Tapi ingatlah, Bang Ramlo tetap saja Orang Tapanuli. Darah Tapanuli mengalir di tubuhnya dengan kental”, kata Hentung membelaku ketika kawan-kawan ‘mengadu’ kepada big bos kami almarhum Baringin Purba dan Hotnauli Turnip.

Beberapa kawan personal SIMALUNGUN POS pernah menyampaikan kepada Sariaman Saragih waktu itu Sekda Simalungun untuk meminta kepada almarhum Baringin Purba dan Hotnauli Turnip orangtuanya Bobby Purba agar mencari penggantiku sebagai salah seorang pimpinan di Suratkabar SIMALUNGUN POS.

“Oke. Kita ganti dia. Tapi siapa gantinya”, kata pasangan suami istri itu.

Dengan tekad dan semangat ‘marsimalungun’ pun, Suratkabar SIMALUNGUN POS berkembang maju dan pesat. Tirasnya bervariasi antara 3.000-an eksemplar hingga 5.000-an terkadang 7.000-an. 

Dan seperti biasa yang terjadi pada perusahaan-perusahaan Orang Batak secara umum, keadaan para personalnya pun mulai retak dan pecah karena perbedaan pendapat serta pendapatan. Perusahaan Orang Batak secara umum, biasa sekali terbelah bahkan porak poranda setelah maju dan berkembang. Ibarat bunga, cepat berkembang tapi cepat pula kuyu dan layu.

Sebahagian besar di antara kami, memisahkan diri dengan mendirikan Suratkabar Suara Simalungun. Cuma aku dan almarhum Baringin Purba serta istrinya Hotnauli Turnip yang tetap membentangkan panji atau bendera SIMALUNGUN POS. 

Itu pun dengan nafas ngos-ngosan sementara untuk mendapatkan uang cetak pun setiap pekannya sulitnya bukan main. Untung saja memang Gedung Putih yang waktu itu dipimpin almarhum Olo Panggabean salah seorang tokok pemuda Sumatera Utara dengan setia membantu biaya operasional kami. Tiras kami begitu ditinggalkan kawan-kawan dan mendirikan Suara Simalungun cuma di kisaran 1.500 - hingga 2.000 saja.

Tapi meski kami sudah berada dalam kapal yang berbeda, komukasi bahkan persahabatanku dengan kawan-kawan di Suara Simalungun tak pernah pupus. 

Bahkan hingga hari ini. Kami masih tetap berhubungan, saling sharing, bertukar pikiran, diskusi atau semacamnya untuk membicarakan Simalungun dalam arti luas. Meski berbeda visi dan missi, kami tetap satu hati saat memandang Simalungun. Ada prinsip yang sama memang, satu tujuan dan satu cita-cita meski berbeda gaya dan cara.

Pholmer Ganteng sendiri, belakangan bekerja di Harian METRO SIANTAR sebuah perusahaan yang berada di bawah panji Jawa Pos pimpinan Dahlan Iskan. Karirnya melejit di perusahaan ini hingga dalam waktu yang relatif singkat dia menjadi salah seorang pimpinan di perusahaan ini. 

Menjadi salah seorang pimpinan, Pholmer tetap saja berpenampilan biasa terutama terhadapku. Dia tetap hormat kepadaku, dan masih tetap bersay helo di tengah-tengah kesibukannya. Sesekali, aku diundangnya untuk makan siang dengan lauk B2 yang menjadi kegemarannya.

“Harus kami akui, sikap keras menjurus kasar Bang Ramlo ini kepada kami kawan-kawannya dulu di SIMALUNGUN POS sangat mempengaruhi kekinian kami” kata Maha Dedi Sitanggang alias Pak Bos kepada beberapa jurnalis di Kedai Kopi Simorsum di sudut Jalan Cipto dan Pholmer Ganteng membenarkannya.

Sekarang, Maha Dedi bekerja di Harian SIB Medan dan ditugaskan di Batubara. Sekarang, tubuh Pholmer Ganteng sudah terbujur kaku di rumah orang tuanya di Jalan Sisingamangaraja di kawasan depan bekas Kantor Dinas Kehutanan Simalungun. Sekarang, air mataku menetes setetes demi setetes dan kubiarkan saja menetes membasahi pipiku.


Aku menangis. Menangisi kepergiaan sahabatku, saudaraku, muridku Pholmer Saragih. Aku ingin menangisi kepergiannya. Menangis sepuasku, meski kutahu air mata tidak bisa menghilangkan duka. Setidaknya, mengurangi derita, lara dan nestapa. Selamat jalan Pholmer ! (Siantar Estate, 6 April 2017-Ramlo R Hutabarat)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments