Oleh: Kurpan Sinaga
Subjektif Mayoritas Membawa Ketidakadilan Minoritas Menuntut
Format Baru Kebangsaan
BeritaSimalunngun.com-Selain soal pidana, hukuman pada Ahok
ini telah memunculkan per persoalan lain. Hukuman berat yang melampaui tuntutan
Jaksa dan perintah ditahan ini lebih nyata menampakkan persoalan lain yakni
koreksi konsensus kebangsaan dan inkonsistensi terhadap konstitusi menyangkut
persamaan hak dan kedudukan warga negara.
Kasus yang berawal dari adanya penyalahgunaan ayat kitab
suci agama Islam dari internal pemeluknya ke ranah publik urusan kebangsaan dan
bernegara Pemilu ini ternyata dinilai hakim sebagai kesalahan Ahok yang berdiri
sendiri walau dia diproses hukum karena ucapan selintas penyalahgunaan Almaidah
51 yang merugikan dirinya.
Kita tahu bahwa pemilu adalah kegiatan kehidupan berbangsa
dan bernegara yang didasari hukum nasional dan bukan hukum agama. Namun dalam
kasus ini Hakim telah menyatakan Ahok menodai agama Islam dan tidak mau tahu
kalau kasus ini adalah sebab akibat (tidak berdiri sendiri) dari penyalahgunaan
Alamiah 51 yang tidak lain adalah perbuatan membohongi rakyat pemilih demi
kepentingan politik sesaat oknum yang tidak berani menampakkan dirinya itu.
Dengan Ahok yang beragama Nasrani putusan hakim ini
memperlihatkan kemarahan membabi buta kepada orang yang menyebut agama Islam dalam
konteks negatif walau itu sekedar memperingati perbuatan penyalahgunaan Alamiah
51 perbuatan orag lain yang merugikan dirinya.
Dengan demikian putusan hakim ini secara tidak langsung telah
membenarkan hukum agama Alamidah 51 sebagai acuan dalam Pemilu atau
memberlakukan hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Putusan ini telah memberi makna penempatan hukum Islam
diatas hukum nasional yang diberlakukan bagi semua termasuk yang beragama
Nasrani. Hal ini jelas merupakan penyimpangan dari prinsip kebangsaan dan
bernegara.
Bangsa dan negara Indonesia yang lahir sebagai koreksi
penjajahan Belanda adalah merupakan perjuangan bersama yang tidak membedakan
agama seseorang. Putusan ini telah bermakna lonceng kematian bagi minoritas
khususnya Nasrani yang disebut eksplisit dalam Almidah 51.
Putusan ini membuka kesadaran baru bagi warga negara yang
beragama Nasrani tentang kedudukannya dalam
berbangsa dan bernegara. Kita menjadi menyandarkan pikiran pada proses
pembentukan negara ini dahulu dan kemudian kita bandingkan dengan kehidupan
sekarang mengacu pada penghukuman Ahok.
Okelah saat berjuang untuk kemerdekaan dulu kita bersama.
Perjuangan kemerdekaan di berbagai daerah juga tidak ada menolak seseorang jadi
pemimpin karena agamanya. Sumpah pemuda juga diikrarkan bersama tanpa melihat
agamanya.
Tetapi apa iya untuk menikmati kemerdekaan dan kompetisi
merebut kekuasaan kita akan tetap dalam kebersamaan? Apakah pendiri bangsa ini
dulu terpikir kalau suatu saat bisa terjadi perebutan kekuasaan antara calon
beragama Islam dengan beragama Nasrani dalam pemilihan langsung lalu yang Islam
membawa Almaidah 51 untuk menghadang yang beragama Nasrani.
Lalu si korban Nasrani disuatu waktu menperingati itu dengan
menyebut sebagai membohongi pakai Almaidah 51 (kerena pemilu kegiatan nasional
yang didasari ketentuan nasional bukan berdasarkan hukum agama) yang oleh kerena
itu dia dipenjarakan.
Dalam kasus seperti ini dimana perkara dalam dakwaan
menista agama Islam, kasus terdorong karena didemo orang Islam, polisi orang
Islam, Jaksa orang Islam, hakim Islam, hakim bertanggungjawab kepada Tuhannya
orang Islam, bisakah diharapkan peradilan netral?
Terpikirkan pendiri bangsa inikah kemungkinan terjadi yang
seperti ini? Jika hakimnya orang Nasrani apakah iya akan menghukum lebih berat
dari tuntutan jaksa bahkan disertai perintah ditahan walau tidak memenuhi
syarat penahanan dan manfaat penahanan?
Dari kisah yang dialami Ahok ini kita terpikir barangkali
terlalu muluk pendiri bangsa ini meletakkan konstitusi dengan persamaan hak dan
kedudukan tiap warga negara sebab dalam diri manusia melekat ego dan sifat
subjektif. Tentu kita tidak menyalahkan pendiri bangsa ini, namun kita juga tidak
bisa mengabaikan ketidakadilan yang diderita kaum Nasrani di Indonesia.
Kembali pada apa yang telah disebut diatas bahwa bangsa dan
negara Indonesia terbentuk sebagai wujud dari koreksi penjajahan, hal mana
penjajahan itu adalah praktek eksploitasi, dominasi dan subordinasi dari satu
pihak terhadap pihak lain dimanapun dan dalam bentuk apapun tanpa terkecuali.
Kini kita sedang dalam dilema subjektif mayoritas dan
tuntutan keadilan bagi kaum Nasrani. Betapa besarnya kerugian kita dalam pro
kontra ini dan kita juga belum bisa memprediksi bagaimana kesudahannya dan
berapa kerugian kita karena ribut soal agama terus.
Nampaknya kita harus merumuskan format baru kebangsaan
supaya Ahok-Ahok berikutnya tidak muncul lagi. Supaya bangsa kita tidak bersandiwara
terus soal agama. Yang lebih penting adalah supaya bangsa ini tidak pecah dan
negara bubar.
Apakah format baru kebangsaan itu? Penulis sendiri belum
tahu. Tetapi untuk sekedar wacana disampaikan tiga hal. Pertama hentikan
pemilihan langsung. Pemimpin diangkat dengan cara musyawarah sebagai mana
negara ini didirikan secara musyawarah.
Kedua, buat UU yang melarang membawa agama dalam Pemilu. Yang
membawa hukum agama ke pemilu harus dihukum berat. Tentu dalam hal ini juga
Ahok harus segera dibebaskan. Atau, ketiga, buat kesepakatan bangsa yang
membagi kesempatan pemimpin berdasarkan agama.
Kekuasaan dipegang bergilir. Umpamanya setelah 25 tahun
Islam yang menjadi presiden periode berikutnya Nasrani atau non Muslim lainnya.
Begitu juga di daerah dihitung persentase agama rakyatnya.
Prinsipnya persamaan kedudukan dan kesempatan harus
diwujudkan. Tidak boleh ada yang istimewa atau tidak boleh ada yang mendominasi
dan ter subordinasi. Jika tidak kita harus rela mengembalikan kemerdekaan ini pada
Belanda. (Penulis Pemerhati Kebijakan Publik dan Politikdi Siantar-Simalungun)
0 Comments