Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Hukuman Berat Pada Ahok Adalah Lonceng Kematian Kesempatan Bagi Nasrani


Oleh: Kurpan Sinaga

Subjektif Mayoritas Membawa Ketidakadilan Minoritas Menuntut Format Baru Kebangsaan

BeritaSimalunngun.com-Selain soal pidana, hukuman pada Ahok ini telah memunculkan per persoalan lain. Hukuman berat yang melampaui tuntutan Jaksa dan perintah ditahan ini lebih nyata menampakkan persoalan lain yakni koreksi konsensus kebangsaan dan inkonsistensi terhadap konstitusi menyangkut persamaan hak dan kedudukan warga negara.

Kasus yang berawal dari adanya penyalahgunaan ayat kitab suci agama Islam dari internal pemeluknya ke ranah publik urusan kebangsaan dan bernegara Pemilu ini ternyata dinilai hakim sebagai kesalahan Ahok yang berdiri sendiri walau dia diproses hukum karena ucapan selintas penyalahgunaan Almaidah 51 yang merugikan dirinya.

Kita tahu bahwa pemilu adalah kegiatan kehidupan berbangsa dan bernegara yang didasari hukum nasional dan bukan hukum agama. Namun dalam kasus ini Hakim telah menyatakan Ahok menodai agama Islam dan tidak mau tahu kalau kasus ini adalah sebab akibat (tidak berdiri sendiri) dari penyalahgunaan Alamiah 51 yang tidak lain adalah perbuatan membohongi rakyat pemilih demi kepentingan politik sesaat oknum yang tidak berani menampakkan dirinya itu.

Dengan Ahok yang beragama Nasrani putusan hakim ini memperlihatkan kemarahan membabi buta kepada orang yang menyebut agama Islam dalam konteks negatif walau itu sekedar memperingati perbuatan penyalahgunaan Alamiah 51 perbuatan orag lain yang merugikan dirinya.

Dengan demikian putusan hakim ini secara tidak langsung telah membenarkan hukum agama Alamidah 51 sebagai acuan dalam Pemilu atau memberlakukan hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Putusan ini telah memberi makna penempatan hukum Islam diatas hukum nasional yang diberlakukan bagi semua termasuk yang beragama Nasrani. Hal ini jelas merupakan penyimpangan dari prinsip kebangsaan dan bernegara.

Bangsa dan negara Indonesia yang lahir sebagai koreksi penjajahan Belanda adalah merupakan perjuangan bersama yang tidak membedakan agama seseorang. Putusan ini telah bermakna lonceng kematian bagi minoritas khususnya Nasrani yang disebut eksplisit dalam Almidah 51.

Putusan ini membuka kesadaran baru bagi warga negara yang beragama Nasrani tentang  kedudukannya dalam berbangsa dan bernegara. Kita menjadi menyandarkan pikiran pada proses pembentukan negara ini dahulu dan kemudian kita bandingkan dengan kehidupan sekarang mengacu pada penghukuman Ahok.

Okelah saat berjuang untuk kemerdekaan dulu kita bersama. Perjuangan kemerdekaan di berbagai daerah juga tidak ada menolak seseorang jadi pemimpin karena agamanya. Sumpah pemuda juga diikrarkan bersama tanpa melihat agamanya.

Tetapi apa iya untuk menikmati kemerdekaan dan kompetisi merebut kekuasaan kita akan tetap dalam kebersamaan? Apakah pendiri bangsa ini dulu terpikir kalau suatu saat bisa terjadi perebutan kekuasaan antara calon beragama Islam dengan beragama Nasrani dalam pemilihan langsung lalu yang Islam membawa Almaidah 51 untuk menghadang yang beragama Nasrani.

Lalu si korban Nasrani disuatu waktu menperingati itu dengan menyebut sebagai membohongi pakai Almaidah 51 (kerena pemilu kegiatan nasional yang didasari ketentuan nasional bukan berdasarkan hukum agama) yang oleh kerena itu dia dipenjarakan.

Dalam kasus seperti ini dimana perkara dalam dakwaan menista agama Islam, kasus terdorong karena didemo orang Islam, polisi orang Islam, Jaksa orang Islam, hakim Islam, hakim bertanggungjawab kepada Tuhannya orang Islam, bisakah diharapkan peradilan netral?

Terpikirkan pendiri bangsa inikah kemungkinan terjadi yang seperti ini? Jika hakimnya orang Nasrani apakah iya akan menghukum lebih berat dari tuntutan jaksa bahkan disertai perintah ditahan walau tidak memenuhi syarat penahanan dan manfaat penahanan?

Dari kisah yang dialami Ahok ini kita terpikir barangkali terlalu muluk pendiri bangsa ini meletakkan konstitusi dengan persamaan hak dan kedudukan tiap warga negara sebab dalam diri manusia melekat ego dan sifat subjektif. Tentu kita tidak menyalahkan pendiri bangsa ini, namun kita juga tidak bisa mengabaikan ketidakadilan yang diderita kaum Nasrani di Indonesia.

Kembali pada apa yang telah disebut diatas bahwa bangsa dan negara Indonesia terbentuk sebagai wujud dari koreksi penjajahan, hal mana penjajahan itu adalah praktek eksploitasi, dominasi dan subordinasi dari satu pihak terhadap pihak lain dimanapun dan dalam bentuk apapun tanpa terkecuali.

Kini kita sedang dalam dilema subjektif mayoritas dan tuntutan keadilan bagi kaum Nasrani. Betapa besarnya kerugian kita dalam pro kontra ini dan kita juga belum bisa memprediksi bagaimana kesudahannya dan berapa kerugian kita karena ribut soal agama terus.

Nampaknya kita harus merumuskan format baru kebangsaan supaya Ahok-Ahok berikutnya tidak muncul lagi. Supaya bangsa kita tidak bersandiwara terus soal agama. Yang lebih penting adalah supaya bangsa ini tidak pecah dan negara bubar.

Apakah format baru kebangsaan itu? Penulis sendiri belum tahu. Tetapi untuk sekedar wacana disampaikan tiga hal. Pertama hentikan pemilihan langsung. Pemimpin diangkat dengan cara musyawarah sebagai mana negara ini didirikan secara musyawarah.

Kedua, buat UU yang melarang membawa agama dalam Pemilu. Yang membawa hukum agama ke pemilu harus dihukum berat. Tentu dalam hal ini juga Ahok harus segera dibebaskan. Atau, ketiga, buat kesepakatan bangsa yang membagi kesempatan pemimpin berdasarkan agama.

Kekuasaan dipegang bergilir. Umpamanya setelah 25 tahun Islam yang menjadi presiden periode berikutnya Nasrani atau non Muslim lainnya. Begitu juga di daerah dihitung persentase agama rakyatnya.

Prinsipnya persamaan kedudukan dan kesempatan harus diwujudkan. Tidak boleh ada yang istimewa atau tidak boleh ada yang mendominasi dan ter subordinasi. Jika tidak kita harus rela mengembalikan kemerdekaan ini pada Belanda. (Penulis Pemerhati Kebijakan Publik dan Politikdi Siantar-Simalungun)


Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments