Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Hinasumba Daging Babi Mentah Disebut Penyebab Cacing Pita, Ini Terdapat di Simalungun

Tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU) menemukan kasus endemik penyakit cacing pita ( Taeniasis) mencapai 171 kasus di Nagori (Desa) Dolok, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Dari kasus itu ditemukan cacing pita sepanjang 10,5 meter. Dokter Umar Zein selaku Ketua Tim Peneliti Cacing Pita FK UISU, Senin (26/3/2018), menyebutkan, penemuan itu bermula pada Oktober 2017 saat ada pasien berobat ke kliniknya. Kompas.com
BeritaSimalungun, Medan-Warga Nagori Dolok, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, menderita penyakit cacing pita disebut lantaran kebiasaan mengonsumsi makanan khas Simalungun, yaitu “Hinasumba”. Makanan ini berbahan utama daging babi yang dimasak kurang sempurna. 

Hasil penelitian tim Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan yang diketuai dr Umar Zein menemukan hal itu setelah melakukan penelitian sejak Oktober-November 2017. Terkait “Hinasumba”, seorang pegiat budaya Simalungun, Sultan Saragih, Rabu (28/3/2018), mengatakan, makanan khas “Hinasumba” tidak berbahan daging babi, tetapi daging ayam kampung. 

Menurut Sultan, “Hinasumba” itu merupakan makanan tradisi orang Simalungun dari bahan daging ayam kampung yang ditumbuk hingga halus. Daging ayam sebelum dicampur bumbu lalu dimasak sempurna. 

Hinasumba ini bagian dari dayok na binatur (daging ayam yang ditata) yang juga makanan khas Simalungun. "Jadi Hinasumba yang berbahan daging ayam itu ditumbuk halus dan disajikan bersama Dayok Na Binatur, diletakkan di sisi kiri dan kanan," terang Sultan.

Ada dua versi hinasumba di Simalungun, yakni versi dari Kecamatan Raya dan Kecamatan Bandar. Versi dari Kecamatan Raya, darah ayam ikut dijadikan sebagai bumbu bersama bahan lainnya, seperti kelapa dan sangge-sangge. 

"Sedangkan dari Kecamatan Bandar, versinya tidak menggunakan darah ayam, tetapi memakai holat atau getah pohon sikkam," kata Sultan, pegiat Sanggar Budaya Rayantara ini. Jadi, menurut Sultan, kalau ada yang membuat bahan hinasumba dari bahan daging babi seperti yang ditemukan di Nagori Dolok, Kecamatan Silau Kahean, itu sudah di luar kebiasaan. 

"Kalau ada yang berbahan daging babi apalagi dan hanya sebatas coba-coba," ujarnya. Seperti diketahui, pada Oktober-November 2017, tim FK UISU Medan menemukan 171 kasus warga Nagori Dolok, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, mengidap penyakit cacing pita. Bahkan dari salah seorang warga ditemukan cacing pita sepanjang 10,5 meter. Penemuan ini sekarang menjadi penelitian FK UISU Medan bersama tiga universitas di Jepang dan empat universitas di Indonesia.

Cacing Pita Sepanjang 10,5 Meter

Tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU) menemukan kasus endemik penyakit cacing pita ( Taeniasis) mencapai 171 kasus di Nagori (Desa) Dolok, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. 

Dari kasus itu ditemukan cacing pita sepanjang 10,5 meter. Dokter Umar Zein selaku Ketua Tim Peneliti Cacing Pita FK UISU, Senin (26/3/2018), menyebutkan, penemuan itu bermula pada Oktober 2017 saat ada pasien berobat ke kliniknya. 

Pasien itu mengaku saat dia membuang kotoran mengeluarkan potongan-potongan cacing. Berangkat dari pengakuan itu, Umar Zein mengajak tim dari FK UISU menuju ke lokasi asal pasien tersebut di Nagori Dolok, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, 21 Oktober 2017. 

Setelah melakukan penelitian beberapa hari, tim memberikan obat untuk dikonsumsi warga. Lalu, pada 2 November 2017, ditemukan kasus saat seorang warga membuang kotoran, dia mengeluarkan cacing pita sepanjang 10,5 meter.

“Bisa jadi ini merupakan cacing pita terpanjang di dunia," ujar Umar. Lebih jauh, tim FK UISU menemukan 171 kasus serupa dengan cacing pita yang panjangnya beragam, mulai dari 2 meter hingga 8,6 meter.

“Total yang kami temukan 171 kasus. Ada juga warga yang membuang kotoran yang kemungkinan juga ada cacing pita," kata Umar. Dia memperkirakan, mayoritas warga di enam desa di Kecamatan Silau Kahean juga terkena pengakit cacing pita. Penyebab penyakit ini, menurut Umar, yaitu konsumsi daging babi yang tidak dimasak atau kurang sempurna memasaknya.

“Di sini kan ada makanan khas Simalungun, yakni Hinasumba atau holat yang bahan makanannya dari daging babi yang memang tidak dimasak," ujar Umar. Atas temuan ini, pihak FK UISU melakukan kerja sama dengan tiga universitas asal Jepang dan empat universitas di Indonesia untuk melakukan penelitian.

Ketiga universitas dari Jepang tersebut adalah Department of Parasitology, Asahikawa Medical University; Laboratory of Veterinary Parasitology, Joint Faculty of Veterinary Medicine Yamaguchi University; dan Center of Human Evolution Modelling Research, Primata Research Institute, Kyoto University. Sementara dari Indonesia, yakni Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali; Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang; Direktorat Pascasarjana Universitas Sari Mutiara, Medan; dan Departemen Farmakologi FK Universitas Methodist Indonesia, Medan.

“Tim telah selesai melakukan pemeriksaan molekuler terhadap empat sampel cacing pita asal Kabupaten Simalungun, termasuk draf artikel ilmiah," kata Umar. 

Selanjutnya, artikel tersebut dikirim ke WHO guna melanjutkan penelitian atas penemuan endemi Taeniasis di Kabupaten Simalungun. Sembari menunggu dukungan dari WHO, tim FK UISU akan kembali turun ke lokasi yang sama, di mana pertama kali ditemukan cacing pita di Kecamatan Silau Kahaean.

Dinkes Simalungun Tidak Punya Obatnya

Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun menyebutkan tidak ada obat cacing pita untuk orang dewasa, menyusul penemuan cacing pita di daerah itu. Hal itu disampaikan oleh Kepala Bidang Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun, Surbabel Saragih, Selasa (27/3/2018) sore. 

Surbabel mengatakan, jika memang pihak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU) Medan menemukan warga menderita penyakit cacing pita di Nagori Dolok, pihaknya tidak memiliki obat untuk penyakit itu.

“Obat cacing itu tidak ada sama kita, mungkin dari luar negeri baru ada. Kalau anak-anak sudah kita berikan," kata Surbabel. Hanya saja, ujar Surbabel, pihaknya merasa heran dengan keterangan pihak FK UISU Medan yang menyebut Nagori Dolok menjadi endemik cacing pita.

Dia menuturkan, hal ini sebetulnya sudah lama, yaitu FK UISU melakukan penelitian di Nagori Dolok setelah ada warga di sana berobat ke klinik salah seorang tim FK UISU. Pasien itu menderita cacing pita. (BS-Lee) 


Sumber: Kompas.com  

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments