Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Cerita Secangkir Kopi

Cerita Secangkir Kopi.
Oleh: Pdt Defri Judika Purba STh

Beritasimalungun-Hari ini (Rabu 12 Juni 2019) saya bersama vikar melayani ke GKPS Tinggi Saribu, Simalungun. Ini adalah jadwal rutin kami ke sana, yaitu sermon dan PA wanita. PA wanita dilaksanakan lebih dahulu pukul 14.00 WIB kemudian dilanjutkan dengan Sermon pukul 16.00 WIB.

Saya meminta vikar lebih dahulu berangkat menuju Tinggi Saribu dan langsung melayani PA wanita. Saya berjanji menyusul dan bergabung ketika Sermon. Ada dua urusan yang membuat saya harus belakangan. Pertama, urusan mendaftarkan anak kami Remiel untuk masuk TK di salah satu sekolah di Pematang Raya. Kedua, urusan menghadiri undangan pernikahan yang ada di Desa Gunung, tetangga desa kami.

Setelah urusan mendaftar Remiel selesai kami pun menuju lokasi pesta di Desa Gunung. Pestanya lumayan ramai juga. Mobil banyak yang berjejer di sepanjang bahu jalan dan di halaman rumah penduduk sekitar pesta. Para pedagang menggelar dagangannya di samping teratak dan di pinggir jalan. Ada penjual cendol, rujak, kacang, telur bebek dan mainan anak-anak.

Setelah memarkirkan mobil, kami pun langsung membaur dengan undangan yang lain untuk makan siang. Waktu memang sudah menunjukkan Pukul 13.00 WIB. Acara makan siang baru saja dimulai. Kami pun antri untuk memperoleh makanan. 

Melihat kami antri, ada jemaat saya yang kebetulan diundang juga di pesta itu melihat dan membantu kami. Dengan cekatan beliau mengambil makanan kepada kami. Ada dua bungkus nasi yang diberikan. Setelah mengucapkan terimakasih, kami pun mencari tempat untuk bisa makan dengan tenang dan santai. 

Setelah tempat yang nyaman kami dapat, kami pun membuka bungkusan nasi yang kami terima. Di dalamnya ada nasi putih yang masih hangat dan daging cincang B2 serta sup lengkap dengan sayur buncisnya. Kami pun makan bersama undangan yang lain di iringi musik dan lagu yang dinyanyikan biduanita. (Saat itu tamu undangan sudah boleh makan sementara pemilik pesta masih melanjutkan acara adat).

Ketika kami sedang makan, saya mendengar biduanita menyanyikan salah satu lagu daerah simalungun. Mendengar lagu tersebut, saya pun tertawa di dalam hati dan merasa kasihan kepada orang yang dulu menyanyikannya. Lagu tersebut bercerita tentang patah hatinya seorang pemuda ketika melihat gadis idamannya lebih memilih pria lain karena lebih kaya dan berpangkat dibanding dirinya.

Judul lagu tersebut : “Na Pangkat Do Na Kaya”. Syair pertamanya berbunyi: “ na pangkat do na kaya da botou, harosuh ni uhurmu, na tinggi sikolah ni da botou, na sosok bai uhurmu. Aha ma anggo au da botou, tading do haganupan, tading do bani rupa da botou, sonai age parlahou.” 

Cobalah kita pikirkan syair lagu tersebut dibandingkan dengan kehidupan cinta sepasang muda/i. Manalah ada seorang wanita (dari dulu sampai sekarang) yang mau kepada seorang laki-laki yang tidak memiliki apa-apa. Wajahnya sudah jelek, perangainya juga jelek. (tading do bani rupa, sonai age parlahou). 

Apalah yang mau dibanggakan dari tipe laki-laki seperti ini? Kalau wajahnya jelek tapi perangainya bagus ini masih lumayan. Atau sebaliknya, perangainya jelek tetapi rupanya ganteng, ini pun masih lumayan juga. Yang terjadi adalah: sudah rupanya jelek, perilakunya (Simalungun: Bakkou) juga jelek. 

Yah,...pantaslah dia ditinggalkan wanita idamannya tersebut. Secara umum, seorang wanita pasti mengejar seorang laki-laki yang kaya, berpangkat, sekolah tinggi dan kalau boleh wajahnya juga ganteng. Adakah wanita yang membaca tulisanku ini keberatan dengan apa yang saya sampaikan?

Nasi yang ada di hadapanku sudah habis ketika lagu “na pangkat do na kaya” selesai dinyanyikan biduanita. Sayup-sayup saya mendengar protokol meminta lagu “sayur kol” untuk dinyanyikan. Tempo musik pun berubah. 

Dari lagu sentimentil yang mengarah kepada mengasihi diri sendiri kepada lagu yang bercerita kehangatan dalam persaudaraan. Walau pun masih baru kenal tetapi sudah diajak ke rumah untuk makan daging anjing dengan sayur kol. Remiel dan Anggita pun bergoyang.

Selesai makan siang, kami pun menunggu sebentar untuk permisi pulang. Tunggu punya tunggu acara adat masih berlangsung sampai pukul 14.30 WIB. Sepertinya kami tidak sempat lagi untuk permisi pulang kepada pemilik pesta. Hujan pun sepertinya akan turun. 

Awan hitam mulai menggantung dimana-mana. Saya pun menyarankan kepada si borsin istriku untuk permisi sebentar kepada pemilik pesta sebelum mereka istrirahat untuk makan siang. Saya langsung saja ke mobil membawa remiel dan anggita supaya tidak kena hujan. 

Sampai di mobil hujan pun turun dengan derasnya. Kami di mobil menunggu istriku, si borsin. Setelah si borsin permisi kepada pemilik pesta (suhut), kami pun kembali ke rumah diiringi hujan yang deras. 

Sampai di rumah, saya pun menunggu hujan reda untuk segera berangkat menuju Tinggi Saribu. Tunggu punya tunggu, hujan tidak berhenti. Saya pun akhirnya tertidur. Suara remiel dan anggita yang bermainlah yang membuat saya terbangun. Ternyata, hujan sudah reda. 

Celakanya, jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Saya sudah terlambat untuk berangkat menuju Tinggi Saribu. Kalau berangkat, saya pasti sudah terlambat. Lebih baik saya tidak usah berangkat, biarlah vikar yang membawakan sermon. Tokh, nanti untuk sermon berikutnya saya bisa untuk ikut. Saya pun masih mengantuk, ingin tidur lagi.

Pikir punya pikir saya pun akhirnya bergegas untuk berangkat saja. Biarlah terlambat daripada tidak sama sekali. Berjuta alasan bisa saya sampaikan untuk membenarkan diri saya untuk tidak datang sermon, tetapi hati nuraniku tidak bisa saya bohongi. 

Saya terbayang ketulusan dan kepolosan jemaatku yang ada di Tinggi Saribu. Setiap sermon mereka selalu berusaha datang semua. Secangkir teh atau kopi selalu mereka sediakan kepada kami. Kalau saya tidak datang, pasti ada sedikit kekecewaan mereka kepada saya.

Berbekal ingatan saya akan ketulusan merekalah, maka saya pun bergegas berangkat menuju Tinggi Saribu. Jalan berbatu dan licin tidak berarti dibanding ketulusan dan semangat mereka untuk menyambut kami. 

Setelah saya sampai di Desa Talun Kahombu, saya melihat hujan sepertinya sudah turun di desa tinggi Saribu. Saya pun berpikir kembali. Kalau saya melanjutkan perjalanan, maka resiko kehujanan di jurang yang akan saya lewati akan terjadi. Kalau hujan, saya berteduh dimana? Tetapi kalau saya tidak melanjutkan perjalanan, sia-sialah perjalanan saya !

Akhirnya saya memilih untuk melanjutkan perjalanan saja. Jalan yang licin dan menurun hati-hati saya lalui. Setelah sampai di jembatan di atas sungai bahapal saya berhenti sebentar untuk berteduh. Tidak berapa lama, saya pun melanjutkan perjalanan kembali ditemani hujan gerimis. Ban sepeda motor saya terpeleset beberapa kali karena jalan tanah yang licin. Saya pun beberapa kali harus turun dan mendorong sepeda motor untuk bisa maju. 

Dengan perjuangan yang cukup melelahkan, akhirnya sampailah saya di gereja GKPS Tinggi Saribu. Sudah ada beberapa majelis yang hadir. Kondisi hujan membuat jam masuk untuk sermon pun molor. Saya ternyata tidak terlambat.

Ketika memasuki gedung gereja, saya mencium suatu aroma yang sangat menyengat. Aroma yang sangat harum dan menyegarkan. Selidik punya selidik, ternyata sumbernya dari sebuah plastik di samping pintu. Ketika saya tanya, ini apa, majelis yang hadir itu pun berkata: “itu buah kueni pak. Ada berbuah di ladang kita. nanti kalau pulang, bapak bawa”!. Mendengarnya saya diam terharu.

Setelah beristirahat sebentar, kami pun memulai sermon. Benar apa yang ada dalam pikiran saya ketika berangkat dari rumah. Mereka telah menyediakan kopi di meja untuk kami minum.

Kopi di dalam cangkir plastik itulah yang menguatkan saya untuk datang sermon. Ada pesan ketulusan yang saya nikmati lewat secangkir kopi yang mereka suguhkan. Setiap saya menyeruput kopi itu, hati dan jiwaku terbang bebas dan merdeka. 

Saya betul-betul hidup di dalam sebuah kenikmatan hidup yang luar biasa. Di dalam secangkir kopi itu saya menemukan nilai sebuah perjuangan hidup. Secangkir kopi itu adalah cerita cinta mereka kepada kami. Cerita cinta dari jemaat kepada gembalanya. Cerita cinta mereka inilah yang membuat kami selalu semangat untuk datang melayani mereka.

Sermon pun usai, kami bergegas untuk meninggalkan desa Tinggi Saribu. Waktu sudah menunjukan pukul 18.15 WIB. Matahari sudah tidak menampakkan diri lagi. Udara dingin sudah mulai menyentuh tubuh kami. Tampak pepohonan di depan gereja tinggi saribu, meneteskan sisa-sisa tetesan air hujan dari daunnya. Kami pun pulang dengan sukacita dan cerita cinta. (Bahapal Raya, 13 Juni 2019).

 

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments