Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Menggugat Partuha Maujana Simalungun di Tengah Ancaman Budaya Global

Oleh : Radesman Saragih*

Pengantar

Kehadiran lembaga budaya dan kesenian memiliki peran penting melestarikan seni budaya tradisional suatu daerah. Lembaga budaya dan kesenian suatu daerah bisa diberdayakan menggali, mementaskan, melestarikan dan mengembangkan seni budaya lokal di daerah tersebut. 

Melihat besarnya peran lembaga budaya dan kesenian tersebut, berbagai daerah di Indonesia selama ini sudah mengandalkan lembaga seni budaya daerah mereka sebagai salah satu tonggak pertahanan budaya nasional dari gempuran budaya asing. Daerah tersebut pun umumnya membentuk lembaga budaya daerah atau tim kesenian daerah.

Pentingnya peran lembaga seni budaya dalam pelestarian budaya daerah juga turut dirasakan warga masyarakat dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun, Sumatera Utara. Karena itu sejak pemerintahan Orde Baru, lembaga seni budaya di Simalungun, yakni Partuha Maujana Simalungun (PMS) sudah terbentuk.

PMS selama ini diberdayakan menggali, mementaskan, melestarikan dan mengembangkan seni budaya Simalungun. Beberapa event (kegiatan) yang sejak tahun 1980-an digelar PMS bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) untuk pelestarian seni budaya Simalungun, yaitu Pesta Rondang Bintang (terang Bulan) dan Pesta Danau Toba.

Pentingnya peran PMS untuk melestarikan seni budaya Simalungun ini juga dirasakan warga Simalungun perantauan, khususnya di luar Simalungun. Karena itu warga Simalungun di perantauan juga membentuk PMS. Kehadiran PMS di perantauan diharapkan bisa diberdayakan melestarikan sekaligus memperkenalkan seni budaya Simalungun di daerah rantau.

Terkikis

Memasuki era millenium ini, peran PMS sebagai pembawa aspirasi warga Simalungun dalam upaya pelestarian seni budaya Simalungun mulai bergeser. PMS sudah mulai ditunggangi untuk tujuan-tujuan politik praktis, misalnya pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif.

Kondisi demikian membuat PMS terpecah. Selama lima tahun terakhir, PMS terbentuk dalam dua kubu. Satu PMS kubu anggota DPR RI, Marsiaman Saragih yang berpusat di Jakarta. Satu kubu lagi PMS yang berafiliasi (bergabung) dengan Bupati Simalungun, JR Saragih.

Kubu-kubuan PMS ini juga terpecah hingga ke beberapa daerah di Tanah Air. PMS Palembang, Sumatera Selatan misalnya berafiliasi dengan PMS kubu Bupati Simalungun, JR Saragih. Sedangkan PMS di daerah tetangga Sumatera Selatan, yakni Provinsi Jambi berafiliasi kepada PMS kubu Marsiaman Saragih.

Terjadinya perpecahan PMS ini membuat peran PMS menjadi garda terdepan pelestarian seni budaya Simalungun semakin terkikis. Sedikitnya hal tersebut tampak dari kehadiran PMS di Provinsi Jambi yang didirikan sejak 2016.

Pengamatan penulis, sejak PMS Jambi dibentuk hingga masa periode berakhir 2021, tak ada aktivitas PMS Jambi dalam upaya-upaya pelestarian seni budaya Simalungun. Bahkan kepengurusan PMS Jambi periode 2016 – 2021 benar – benar vakum.

Ironisnya, pasca pelantikan Dewan Pengurus Daerah (DPD) PMS Jambi, Minggu, 9 Oktober 2016 kegiatan kepengurusa, termasuk rapat pembubaran panitia pelantikan pengurus pun tidak pernah dilaksanakan. Laporan pertanggung-jawaban pementukan DPD PMS Jambi kepada warga masyarakat Simalungun yang hadir pada pelantikan tersebut tidak pernah dilakukan. 

PMS di Jambi sebenarnya sudah pernah hadir ketika warga Simalungun Kota Jambi mengundang tokoh budaya Jambi, St Drs Japiten Sumbayak mengadakan seminar dan bedah buku budaya Simalungun di Museum Siginjai, Kota Jambi, Sabtu, 17 November 2001. Namun kehadiran PMS periode tersebut pun hilang tak berbekas.

Kondisi yang sama juga terjadi di tubuh PMS di beberapa daerah. Banyak kepengurusan PMS vakum, sehingga peran PMS untuk menggali dan melestarikan seni budaya Simalungun benar-benar terabaikan.  Bahkan serong terjadi adanya oknum-oknum kepengurusan PMS yang menjadikan PMS menjadi kuda tunggangan berpolitik parktis dan berbisnis.

Berbenah

Kendati banyak kepengurusan di berbagai daerah tidak berfungsi, tampaknya PMS tetap berupaya berjuang memainkan peran pentingnya melestarikan seni budaya Simalungun. Hal tersebut ditandai dengan periodesasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PMS kubu Marsiaman Saragih.

Pada rapat atau Harungguan Bolon (HB) IX  PMS, Jumat - Sabtu 25 - 26 Juni 2021 di gedung auditorium Radjamin Purba Universitas Simalungun, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, St Marsiaman Saragih, SH kembali terpilih dan ditetapkan menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat  (DPP)/Presidium PMS periode 2021-2026.

Periodesasi kepengurusan DPP PMS kubu Marsiaman Saragih tersebut sendiri dilaksanakan di Tanah Simalungun menjadi salah satu langkah baik untuk membenahi PMS yang selama ini terpecah. Pilihan “turun gunung” Marsiaman Saragih tersebut tampaknya mengusung niat penyatuan kembali PMS antara kubu Bupati Simalungun, JR Saragih dengan kubu Marsiaman Saragih. 

Periodesasi kepengurusan PMS di Simalungun di tengah hadirnya Bupati Simalungun yang baru, Radiapoh Hasiholan Sinaga, SH berpotensi besar menyatukan kembali PMS. Jika Bupati Simalungun periode 2021 – 2024, Radiapoh Hasiholan Sinaga tidak bersedia melanjutkan kepemimpinan PMS kubu Bupati Simalungun lama, JR Saragih, akan bisa membuat PMS kubu Marsiaman Saragih dan kubu JR Saragih bersatu kembali.

Penyatuan kembali PMS tersebut untuk membenahi kepengurusan dan kinerja PMS yang tidak maksimal selama ini. Penyatuan PMS tersebut juga akan memampukan PMS di seluruh penjuru Simalungun dan Indonesia mampu kembali mengemban misinya menggali, mementaskan, melestarikan dan mengembangkan senu budaya Simalungun. Baik di kampung halaman, Kabupaten Simalungun maupundi tanah perantauan (diaspora).

Untuk mencapai misi tersebut, kepengurusan DPP PMS di bawah kepemimpinan Marsiaman Saragih hendaknya bersikap jeli, kritis dan analitis untuk memilih dan menetapkan kepengurusan PMS mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kota, kecamatan dan desa. Hal itu penting mencegah terekrutnya kembali pengurus yang sama sekali tidak peduli terhadap pelestarian seni budaya Simalungun.

Hendaknya para pengurus PMS di semua tingkatan harus memiliki pengetahuan, pemahaman dan keterampilan di bidang seni budaya Simalungun. Kemudian program-program PMS di setiap level atau tingkat kepengurusan dan wilayah harus mengutamakan pelestarian seni budaya, bukan politik praktis. Dengan demikian, misi utama PMS penyelamatan seni budaya Simalungun di tengah ancaman budaya global atau asing bisa terwujud.

Namun jika PMS merekrut pengurus dengan sembarang comot hanya berdasarkan nilai meteri, dikhawatirkan PMS di masa mendatang akan tetap sama sepeti PMS di masa lima tahun terakhir, vakum dan terkesan melakukan pembiaran terhadap “mati surinya” seni budaya Simalungun.

Di Provinsi Jambi saja misalnya, kehadiran PMS sangat dibutuhkan untuk melestariukan seni budaya Simalungun karena saat ini sedikitnya ada sekitar 1.600 jiwa warga Simalungun di Jambi. Selama ini budaya Simalungun, khususnya dalam perkawinan sangat jarang dilaksanakan.

Alasan banyak orang Simalungun di Jambi tidak melaksanakan adat perkawinan Simalungun karena tidak adanya tokoh adat Simalungun di Jambi yang menguasai benar tata cara perkawinan adat Simalungun. Kata orang-orang di Jambi, “Bagaimanalah menjadikan seseorang warga Simalungun menjadi tokoh adat Simalungun jika marumpasa (berpantun)  Simalungun pun tak bisa dan ruhut-ruhut (aturan) adat tidak paham".
 
Sementara pihak Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Jambi tidak bisa diharapkan terlalu banyak dalam pelestarian adat perkawinan Simalungun karena misi utamanya bersifat religi. GKPS di Jambi melalui program-programnya selama ini hanya bisa menganjurkan warga GKPS Jambi melaksanakan adat budaya Simalungun dalam berbagai kegiatan pesta, baik pesta keluarga, perkawinan dan sayur matua (meninggal dunia dalam usia lanjut).

Sekali lagi, lembaga seni budaya merupakan lembaga sosial di suatu kelompok komunitas (masyarakat) yang memiliki peran penting menggali, melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat tersebut. Hal inilah yang kita harapkan bisa diemban PMS di tanah Simalungun maupun di daerah perantauan agar seni budaya Simalungun tidak sampai hilang di telan zaman. Semoga.***

•    Penulis seorang wartawan dan pemerhati seni budaya Simalungun, alumni Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, Jawa Barat tinggal di Kota Jambi.

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments