Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Catatan Singkat Tentang Sihaporas

Keturunan Rapa Marpitu Simalungun. Dok Wagner Damanik.



BS-Akhir-akhir ini masalah Hutan Adat warga Sihaporas menjadi "hot issue" di Simalungun, bahkan Ketum PMS Sarmedi Purba menyatakan "Jangan ada komunitas yang memanipulasi sejarah dengan mengaku memiliki tanah adat".

Pernyataan ini juga didukung Rektor USI Dr Corry Purba dikarenakan USI sudah pernah mengadakan seminar tentang keberadaan tanah adat di Simalungun. Oleh karenanya Penulis mencoba mengkaji tentang apa dan bagaimana pengakuan terhadap Hutan Adat yang merupakan bagian dari Hak Ulayat dikaitkan dengan Hukum Adat yang berlaku di Simalungun.

Termasuk dengan Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 pasal 3 yang menyebutkan “ Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi”. 

Beberapa hal yang perlu kita pahami:
a. Simalungun tidak mengenal adanya MHA, yang ada  Harajaon Marpitu (Sinaga, Damanik, Purba Tambak, Purba Dasuha, Saragih, Purba Pakpak dan Purba Girsang). Mereka inilah secara Hukum Adat berkuasa atas tanah di Simalungun (Simada Talun), namun setelah merdeka hak penguasaan tanah semuanya diserahkan ke negara. 

b. Menurut pengakuan warga Sihaporas tanah tempat dimana mereka tinggal sekarang ini adalah pemberian dari Tuan Sipolha bermarga Damanik ketika Ompu Mamontang Laut Ambarita datang dari Samosir. Pemberian ini tentunya hanya sebatas hak milik yang bersifat individual, bukan hak milik bersama (komunal) yang sekarang disebut dengan Hak Ulayat, karena hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat pendatang yang tinggal selama ini di Sipolha, bahkan sampai sekarang kalau ada yang mau minta pertapakan rumah, harus ada persetujuan dari keluarga Partuanon selaku Sipukkah Huta (Simada Talun). 

Note: Seminggu yang lalu saya perbaiki makam orang tua di Sipolha, lalu seseorang mendatangi saya selaku Keluarga Partuanon guna meminta ijin untuk diberikan pertapakan rumahnya, kami kemudian meninjau lokasi dan saya sampaikan kepada yang bersangkutan agar bersabar karena akan kami musyawarahkan dulu bersama keluarga, setuju atau tidak setuju kami akan kabari. Aturan ini sudah berlaku dari dulu hingga sekarang.

c. Hak Ulayat merupakan hak dari MHA  yang harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Kalaupun Pemkab Simalungun berkeinginan membuat Perda tersebut, sejatinya harus meminta pertimbangan dari Kerabat Harajaon Marpitu selaku Simada Talun. Hal ini secara implisit diatur juga dalam pasal 13 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

d. Dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, keberadaan MHA di satu wilayah harus melalui penetapan pengakuan dan perlindungan berdasarkan Keputusan Kepala Daerah.

Dari penjelasan di atas, Pemkab Simalungun juga tidak bisa serta merta menyetujui hak tersebut dengan mengeluarkan Perda atau keputusan lainnya tanpa meminta persetujuan dari Keturunan Harajaon Marpitu khususnya di wilayah yang diusulkan kepemilikan Hutan Adat dimaksud. 

Demikian juga halnya Pemerintah Pusat tidak berdasar menyetujui kepemilikan Hutan Adat sebelum ada persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Simalungun. Apabila hal ini tetap dilakukan, berarti Pemerintah tidak menghormati kearifan lokal yang berlaku di suatu wilayah.

Dan ini hanya akan menimbulkan konflik baru. Pada hal selama ini kerukunan dan keharmonisan antar suku masyarakat di Simalungun telah terjaga dan terpelihara baik. 

Sebagai solusinya diharapkan Pemkab Simalungun, Partuha Maujana Simalungun dan Keluarga Harajaon Marpitu beserta Tokoh-tokoh Simalungun sesegera mungkin menyurati Pemerintah Pusat untuk mengevaluasi agar tidak buru-buru membuat keputusan menyetujui kepemilikan Hutan Adat dari komunitas tersebut.

Kalau kita tidak mau menjadi JABOLON di kampung sendiri. Mari kita saling menghargai dan menghormati norma-norma yang selama ini dipatuhi dan berkembang baik di Bumi Habonaron Do Bona yang sama-sama kita cintai ini. #SalamSangambeiManoktokHitei. (Penulis Peserta Pilkada Simalungun 2020)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments