Oleh: Joan Berlin Damanik,SSi,MM
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali mengenang peristiwa monumental yang melahirkan semangat kebangsaan luar biasa, Sumpah Pemuda 1928. Momentum ini bukan sekadar seremonial sejarah, tetapi panggilan moral bagi seluruh generasi muda untuk menerjemahkan semangat persatuan dan cita-cita bangsa dalam bentuk karya nyata.
Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, pemuda Indonesia harus menjadikan Sumpah Pemuda sebagai energi untuk bergerak, berinovasi, dan berkontribusi dalam membangun negeri menuju Generasi Emas 2045.
Sumpah Pemuda bukan hanya simbol persatuan bahasa, tanah air, dan bangsa. Ia adalah manifesto keberanian-keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan membangun identitas bangsa yang berdaulat.
Jika pada masa lalu pemuda berjuang melawan penjajahan fisik, maka saat ini tantangannya adalah penjajahan mental, teknologi, dan moralitas. Gempuran globalisasi, disinformasi digital, serta degradasi etika publik menguji daya tahan karakter pemuda Indonesia.
Di sinilah pentingnya membangun generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh dalam karakter dan spiritualitas kebangsaan.
Menuju Indonesia Emas 2045, bonus demografi menjadi peluang besar yang tidak boleh disia-siakan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, lebih dari 60 persen penduduk Indonesia berusia produktif. Namun, potensi ini hanya akan menjadi kekuatan bila diimbangi dengan kompetensi, integritas, dan kolaborasi.
Pemuda harus menjadi motor perubahan dalam setiap sektor: pendidikan, ekonomi, teknologi, sosial, hingga lingkungan. Tak cukup sekadar menjadi penonton di era digital, pemuda harus tampil sebagai pelaku dan pencipta inovasi.
Di era disrupsi, karya nyata pemuda harus diwujudkan dalam bentuk inovasi sosial dan teknologi yang membawa manfaat bagi masyarakat luas. Startup berbasis kearifan lokal, gerakan sosial untuk keberlanjutan lingkungan, hingga program pemberdayaan ekonomi masyarakat desa, semua adalah wujud aktualisasi semangat Sumpah Pemuda masa kini. Karya nyata tidak selalu harus besar, tetapi konsisten, beretika, dan berdampak.
Namun, karya nyata tidak lahir dari ruang kosong. Ia butuh ekosistem yang mendukung. Pemerintah, lembaga pendidikan, dunia usaha, dan masyarakat harus bergandengan tangan menciptakan ruang partisipasi yang inklusif bagi generasi muda.
Pendidikan harus diarahkan tidak hanya pada kemampuan akademik, tetapi juga pembentukan karakter dan kepemimpinan sosial. Kebijakan publik mesti berpihak pada pemberdayaan pemuda, bukan sekadar mengundang mereka hadir di forum-forum formalitas.
Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa persatuan bukan hanya tentang kesamaan, tetapi tentang kerja bersama untuk tujuan bersama.
Dalam konteks kekinian, kerja bersama itu berarti membangun bangsa melalui karya, bukan hanya kata. Pemuda hari ini harus berhenti terjebak dalam euforia media sosial dan mulai mengukir prestasi nyata, baik di kampus, komunitas, dunia usaha, maupun ruang publik. Sebab, masa depan bangsa tidak ditentukan oleh seberapa banyak pemuda berbicara, tetapi seberapa besar karya mereka memberi arti bagi sesama.
Momentum Sumpah Pemuda tahun ini harus menjadi titik balik untuk mengokohkan tekad: dari pemuda yang bersumpah menjadi pemuda yang berkarya. Dengan semangat gotong royong, inovasi, dan nasionalisme yang berakar kuat, pemuda Indonesia mampu menjadi penggerak utama menuju Indonesia yang berdaulat, maju, dan berkeadilan.
Sumpah Pemuda telah mengajarkan kita bahwa sejarah selalu ditulis oleh mereka yang berani bertindak. Kini, giliran generasi muda menulis sejarah baru bangsa ini, bukan dengan tinta perjuangan, tetapi dengan karya nyata dan integritas. Mari jadikan Sumpah Pemuda bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan gerakan moral menuju Generasi Emas Indonesia. (Penulis : Akademisi, Pemerhati Lingkungan dan Sosial-Budaya, Mentor Pemuda dan Kebangsaan)



0 Komentar