Kisah Lenny Boru Damanik, Tangis Seorang Ibu dari Medan, Ketika Keadilan Terasa Begitu Jauh

Lenny Boru Damanik.(IST)

Medan, BS - Di tengah hiruk pikuk Kota Medan yang tak pernah benar-benar sunyi, ada satu tangis yang mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya. Tangis itu milik Lenny Boru Damanik, seorang ibu yang kehilangan anaknya dengan cara yang tragis dan kini harus menerima kenyataan pahit. Orang yang diduga menyebabkan kematian anaknya hanya divonis 10 bulan penjara.

Hari itu, ruang sidang mendadak hening. Semua mata tertuju pada seorang perempuan sederhana yang tiba-tiba berteriak histeris. Ia menangis, suaranya parau namun penuh luka. “Anakku meninggal! Kenapa cuma sepuluh bulan? Di mana keadilan untuk anakku?”.

Itulah jeritan Lenny Br Damanik, jeritan yang menembus batas tembok pengadilan, menggema hingga ke hati masyarakat. Ia tak sanggup menerima kenyataan bahwa pelaku yang diduga memukul anaknya hingga meninggal dunia hanya mendapat hukuman ringan.

Tangisnya bukan sekadar ekspresi duka, melainkan teriakan dari nurani yang terluka. Seorang ibu yang kehilangan segalanya, namun tetap berdiri menuntut keadilan.

Bagi Lenny Damanik, anaknya bukan hanya darah daging. Ia adalah harapan, kebanggaan, dan alasan untuk terus hidup. Tapi kini, semua itu lenyap begitu saja.

“Anakku baik, dia nggak pernah cari masalah. Tapi sekarang dia nggak akan pulang lagi,” katanya lirih.

Setiap malam, Lenny Damanik masih menatap foto anaknya yang tergantung di dinding rumah. Ia bicara pelan, seolah anaknya masih bisa mendengar. “Nak, Mama masih berjuang untukmu. Mama nggak akan diam.”

Tak Lagi Menyentuh Rasa Keadilan

Putusan 10 bulan penjara bagi seorang anggota TNI yang diduga terlibat membuat banyak orang mengelus dada. Masyarakat mempertanyakan: apakah nyawa seorang anak hanya seharga beberapa bulan di balik jeruji besi?

Kisah ini menyentil nurani bangsa. Hukum seharusnya menjadi tempat terakhir bagi rakyat kecil mencari keadilan, bukan malah menambah luka bagi mereka yang sudah kehilangan.

Lenny Boru Damanik.(IST)

Seruan untuk Keadilan

Kini, Lenny Br Damanik tak lagi hanya berbicara untuk dirinya. Ia berbicara untuk semua ibu yang kehilangan anak, untuk semua orang kecil yang merasa suaranya tak didengar. “Saya cuma ingin keadilan, bukan belas kasihan,” ujarnya tegas di tengah air mata.

Tangisnya adalah simbol dari jeritan hati rakyat yang ingin hukum benar-benar berpihak pada kebenaran, bukan pada seragam atau jabatan.

Dan dari Medan, suara Lenny Boru Damanik kini menggema ke seluruh Indonesia, mengingatkan kita semua bahwa keadilan sejati bukan hanya tentang vonis, tetapi tentang kemanusiaan.

Vonis Ringan Sertu Riza

Diberitakan sebelumnya, dunia hukum kembali tercoreng. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menilai vonis sepuluh bulan penjara terhadap Sertu Riza Pahlivi, pelaku penganiayaan yang menewaskan pelajar SMP berinisial MHS, sebagai tamparan keras bagi nurani hukum Indonesia.

Sertu Riza.

“Vonis ini adalah simbol matinya keadilan di negeri ini,” tegas Irvan Saputra, Direktur  LBH Medan, kepada wartawan, Selasa (21/10/2025) lalu.

Bagi LBH Medan, vonis tersebut bukan sekadar ringan, tapi tercela. Irvan menyoroti kejanggalan dalam putusan majelis hakim Pengadilan Militer I-02 Medan yang mengesampingkan fakta-fakta kunci persidangan.

“Korban mengalami nyeri hebat, muntah-muntah, dan tak bisa duduk. Tapi hakim bilang tak ada luka lebam. Ini logika hukum macam apa?” sindir Irvan pedas.

Saksi mata, Ismail Tampubolon, bahkan menyatakan melihat langsung Sertu Riza memukul MHS hingga terjatuh ke sela rel. “Ada saksi lain, Naura, tapi sudah meninggal dunia. Fakta ini seolah diabaikan,” tambahnya.

Keadilan Tersandung di Meja Militer

LBH menilai, anehnya lagi, Oditur hanya menuntut satu tahun penjara dengan pasal kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian, padahal ancamannya bisa 15 tahun penjara.

“Bayangkan, anak SMP mati dianiaya, tapi pelakunya cuma dihukum sepuluh bulan. Ini penghinaan terhadap rasa keadilan rakyat,” kata Irvan dengan nada geram.

Tak tinggal diam, LBH Medan bersama keluarga korban mendesak Oditur Militer untuk banding dan melaporkan majelis hakim ke Mahkamah Agung (MA).

“Kami akan ajukan laporan resmi ke MA. Peradilan militer sudah waktunya direformasi. Kalau terus begini, rakyat akan kehilangan kepercayaan total terhadap hukum,” tegas Irvan.

Lenny Boru Damanik.(IST)

Kronologi

Tragedi bermula pada Jumat sore, 24 Mei 2024. Korban MHS, pelajar kelas 3 SMP, ditangkap saat terjadi tawuran. Di lokasi, ia diduga dianiaya oleh Sertu Riza hingga jatuh ke bawah rel kereta api.

“Dia dipukul di kepala dan dada hingga tak sadarkan diri. Saat dibawa ke RSU Madani, nyawanya tak tertolong,” jelas Irvan.

Ibu korban, Lenny, sempat mencari keadilan ke Polsek Tembung, namun diarahkan ke Denpom I/5 Medan karena pelaku merupakan anggota TNI. Laporan resmi pun dibuat dengan nomor TBLP-58/V/2024 pada 28 Mei 2024.

Majelis hakim justru menilai perbuatan Sertu Riza sebagai “kelalaian yang menyebabkan kematian”, dan menjatuhkan vonis 10 bulan penjara dengan Pasal 359 KUHP.

Padahal, Oditur Militer menjeratnya dengan Pasal 76C jo Pasal 80 ayat 3 UU Perlindungan Anak, yang jelas menyebut hukuman hingga 15 tahun penjara.

Vonis ini pun menuai gelombang kecaman di berbagai kalangan hukum dan masyarakat sipil. Bagi publik, putusan itu bukan sekadar janggal, tapi mencederai logika keadilan.

“Anak rakyat tewas, pelaku berseragam hanya dihukum sepuluh bulan. Kalau ini bukan kematian keadilan, lalu apa?” ujar Irvan Saputra, LBH Medan.(BS-AsenkLeeSaragih)

0 Komentar

 





 


 



https://linktr.ee/asenkleesaragih