Oleh: Asenk Lee Saragih
Hentikan Perambahan Hutan Tapanuli Raya: Saatnya Pelaku Bertobat dan Kembali ke Jalan yang Benar
Tarutung, BS - Hutan Tapanuli Raya, Sumatera Utara, bukan sekadar hamparan pohon. Ia adalah rumah terakhir bagi satwa endemik, sumber kehidupan bagi ribuan warga adat, dan benteng terakhir yang menjaga ekosistem dari bencana. Namun, di balik keindahannya, hutan ini terus didera luka yang menganga, luka yang ditorehkan oleh perambah yang memburu keuntungan tanpa peduli masa depan bumi.
Setiap pohon yang tumbang bukan hanya sebuah batang kayu, itu adalah masa depan yang dirampas, udara bersih yang dipangkas, dan tanah yang kehilangan penyangganya. Dari tahun ke tahun, jejak perambahan ilegal semakin dalam, meninggalkan deretan bukit gundul, sungai yang keruh, hingga konflik satwa-manusia yang semakin meningkat.
Dan untuk apa? Untuk keuntungan sesaat yang dibayar dengan kerusakan jangka panjang. Keserakahan "anjink-anjink" perambah hutan di Tapanuli Raya sekitarya mengakibatkan masyarakat celaka dan korban.
Para pelaku perusakan hutan harus bertanya pada diri sendiri, apakah uang yang didapat benar-benar sebanding dengan hancurnya warisan alam ini? Apakah layak anak cucu kelak tidak lagi mengenal hutan Tapanuli yang sesungguhnya?
Perambahan bukan hanya kesalahan hukum, tetapi juga kesalahan moral. Merusak hutan berarti mengambil sesuatu yang tidak pernah menjadi hak, dan meninggalkan beban bencana kepada generasi mendatang.
Jika masih ada hati nurani tersisa, maka inilah saatnya bagi mereka "anjing-anjing" perambah hutan bertobat dan kembali ke jalan yang benar, berhenti merusak, mulai memperbaiki. Karena memperkaya diri dari kehancuran alam bukanlah kebanggaan, itu adalah aib yang akan dicatat sejarah.
Suara Gergaji Mesin Menderu
Berapa lama lagi Tapanuli Raya harus menahan derita hanya karena segelintir orang rakus yang terus menggerogoti hutan? Berapa lama lagi bumi harus diam menghadapi tangan-tangan yang tak pernah puas merampas apa yang bukan hak mereka?
Setiap hari, suara gergaji mesin menderu seperti jeritan pengkhianatan. Hutan yang selama ratusan tahun berdiri sebagai pelindung tanah leluhur kini tercabik-cabik tanpa belas kasihan. Dan semua itu dilakukan oleh orang-orang yang tahu mereka salah, tapi tetap melakukannya.
Sebab bagi mereka, uang lebih penting dari masa depan. Perambah hutan, ingat, alam tidak pernah lupa. Mereka mungkin berpikir tidak ada yang melihat. Mereka mungkin merasa aksi mereka kecil, “hanya sedikit pohon”. Padahal sedikit pohon itu berarti, satu bukit kehilangan penyangganya, satu sungai menjadi lebih keruh, satu desa lebih dekat dengan longsor, satu spesies kehilangan rumahnya.
Semua demi kantong pribadi yang semakin tebal dan hati nurani yang semakin tipis. Ini bukan lagi soal melanggar hukum. Ini sudah sampai pada titik mengkhianati masa depan.
Jika Masih Punya Rasa Malu, Berhentilah!
Kalau para perambah itu masih punya sedikit saja rasa malu pada anaknya, pada keluarganya, pada tanah kelahirannya, maka hentikan sekarang juga. Tidak ada kehormatan dalam merusak hutan. Yang ada hanya bekas luka yang kelak disesali sepanjang hidup.
Karena sehebat apa pun orang menyembunyikan perbuatannya, alam tidak pernah salah mencatat. Banjir, longsor, krisis air, semua itu adalah balasan alami atas kerakusan manusia.
Cukuplah drama pembiaran. Cukuplah pura-pura tidak tahu. Jika aparat tidak berani menindak, itu bukan hanya kelemahan, itu adalah bentuk ikut ambil bagian dalam perusakan. Tapanuli Raya butuh penegakan hukum yang tegas, tanpa kompromi, tanpa suap, tanpa negosiasi.
Hutan yang rusak bisa tumbuh kembali, tetapi kesalahan tidak bisa dihapus begitu saja. Setiap batang pohon yang tumbang adalah bukti bahwa ada manusia yang rela menggadaikan masa depan untuk keuntungan murahan.
Jika para perambah tidak segera berhenti, maka mereka tidak hanya merusak hutan, mereka sedang merusak nama mereka sendiri, yang kelak akan dikenang sebagai generasi penghancur masa depan anak cucu.
Pemerintah dan Masyarakat Tak Boleh Diam
Pemerintah harus memperkuat pengawasan, menghentikan praktik “pura-pura tutup mata”, dan menindak tegas mafia kayu yang beroperasi di balik layar. Sementara masyarakat harus bersuara lantang dan menolak segala bentuk eksploitasi yang mengancam hutan warisan leluhur.
Tapanuli Raya membutuhkan penjaga, bukan perusak. Ia membutuhkan keberanian kita untuk berkata, “Cukup, Hutan ini bukan untuk dijual".

.jpg)
.jpg)


0 Komentar