BECAK SIANTAR |
Roy
Thaniago ; Direktur Remotivi
KOMPAS,
24 Februari 2014
“Tak ada yang lebih
menyedihkan dari seorang intelektual yang suaranya menjadi pembenaran atas
tindakan keji penguasa.”
Mbah Tanto
MEMBACA opini Agus Sudibyo berjudul ”Elektabilitas Pemilik
Media” (Kompas, 22/1/2014) mengingatkan saya pada cara berpikir yang khas
industri televisi.
Dalam tiap diskusi, terkait ungkapan yang mempertanyakan
kampanye politik di media milik politikus, perwakilan stasiun TV atau parpol
biasa menjawab begini: masyarakat kita sudah cerdas, tak perlu risau, apalagi
kemunculan di media tak serta-merta menaikkan elektabilitas partai atau kandidat
presiden.
Dalam sebuah isu yang sangat publik, dan memakai ranah publik
pula, yakni frekuensi (untuk televisi dan radio), mengapa tulisan Sudibyo tak
mendahulukan perspektif kepentingan publik? Kepentingan publik jelas adalah
pertanyaan tentang seberapa jauh sebuah hal adil dan bermanfaat bagi publik,
atau sejauh apa praktik yang ada tidak melukai akal sehat publik atau
ketentuan hukum yang berlaku. Topik khas konsultan komunikasi politik,
seperti elektabilitas pemilik media, adalah kepentingan privat yang
sektarian, bukan publik.
Langgar hukum dan sosial
Perbincangan soal pemanfaatan media oleh politikus seharusnya
bukanlah perbincangan soal efektif tidaknya kampanyenya tersebut. Pendudukan
masalah ini pada koridor demikian justru hanya mereduksi persoalan media dan
politik semata-mata sebagai komoditas pertarungan antar-elite, dan secara
otomatis menempatkan publik sebagai obyek kekuasaan.
Memang, Sudibyo atau siapa pun boleh saja mengatakan kampanye
demikian tak meningkatkan elektabilitas. Namun, segala kampanye para pemburu
kekuasaan di media massa merupakan pelanggaran secara sosial dan hukum. Maka,
ke arah inilah seharusnya perbincangan bergerak.
Dalam UU Penyiaran dan UU Pers, jelas diatur bahwa media dan
institusi pers tak boleh digunakan untuk kepentingan sekelompok golongan.
Media yang independen adalah harga mati. Konsepsi sosial masyarakat
demokratis atas media juga memandatkannya yang pertama dan utama untuk
melayani publik. Dalam konteks pemilu, kita juga bisa merujuk Peraturan KPU yang
hanya memperbolehkan kampanye di media massa pada 21 hari sebelum masa
tenang.
Tetapi yang kini terjadi adalah beberapa politikus dan parpol
melakukan penyalahgunaan wewenang. Frekuensi milik publik yang dipinjamkan
negara kepada stasiun TV malah digunakan hanya untuk kepentingan beberapa
orang. Silakan simak propaganda ANTV dan TV One untuk kepentingan Aburizal
Bakrie dan Golkar; MNC TV, RCTI, dan Global TV untuk Wiranto-Hary Tanoe dan
Partai Hanura; serta Metro TV untuk Surya Paloh dan Partai Nasdem. Semua
propaganda tersebut meluncur dalam bentuk iklan (yang entah berbayar atau
tidak), program berita, program hiburan, kuis jadi-jadian, hingga
penggalangan dana bencana oleh stasiun TV.
Selain bentuk pelanggaran hukum, praktik media sedemikian adalah
bentuk pengebirian hak publik atas informasi. Sebab, informasi yang ada
menjadi cemar dan tidak bisa digunakan sebagai pertimbangan warga negara
untuk bisa membuat keputusan politiknya. Ketika mutu demokrasi mensyaratkan
adanya individu yang ditopang informasi yang benar dan memadai, stasiun TV
yang terafiliasi dengan partai malah menyiarkan informasi yang tidak benar
dan propagandis.
Akan tetapi, apakah benar kampanye politik melalui media tidak
punya pengaruh apa pun? Survei Kompas (9/1) menunjukkan, ketika parpol lain
cenderung menurun pada 6 bulan terakhir, beberapa partai yang memiliki media
atau yang gencar beriklan justru elektabilitasnya menanjak. Apakah hanya
karena partai-partai ini tidak berada pada posisi puncak survei, kita lantas
mengabaikan adanya fakta tersebut?
Beberapa penelitian pada Pemilu 2004 dan 2009 juga menunjukkan
bahwa ada hubungan erat antara kemunculan politikus di media dan
elektabilitas. Data yang ada mengonfirmasi bahwa kemenangan SBY dan Demokrat
dibarengi dengan banyaknya kemunculan di media. SBY dan Demokrat memang tak
memiliki media (kecuali Jurnal Nasional), tetapi aksesnya ke media sangat
tinggi atau media secara politik membutuhkan SBY sebagai figur yang ingin
mereka jadikan sokongan.
Ini pula yang terjadi pada Joko Widodo alias Jokowi. Pengabaian
pemberitaan atas Jokowi bisa diartikan sebagai pengabaian atas optimisme dan
kebaikan publik. Padahal, eksistensi media ditopang oleh gairah publik pada
kedua hal itu. Namun, berbeda dengan SBY, kemunculan Jokowi di media lebih
merupakan bentuk ekspresi kapital ketimbang ekspresi politik media yang
bersangkutan. Sementara Prabowo memperoleh tingkat elektabilitas tinggi
karena memang sudah ada upaya yang relatif lebih lama dikerjakan ketimbang
kandidat lain. Maka, sangat tak bertanggung jawab ketika melihat
elektabilitas Prabowo dan Partai Gerindra yang tinggi tanpa melihat kerja
keras di belakangnya, seakan- akan itu merupakan hadiah yang jatuh dari
langit. Dan, makin tidak bertanggung jawab ketika Sudibyo dalam tulisannya tersebut
mengatakan tak ada pemilik media yang dominan.
Alat politik
Media bukanlah sekadar mesin laba, juga mesin politik. Media
dalam konteks politik merupakan instrumen demi mencapai tujuan. Maka, oleh
sang pemilik, kerugian finansial stasiun TV (kalau ada) adalah investasi
dalam memburu kekuasaan. Ketika media diposisikan sebagai alat politik, maka
pemblokiran pemberitaan atas kandidat tertentu atau penolakan atas iklan
partai pesaing bisa jadi merupakan hal yang lazim dilakukan.
Menjelang pemilu, ketegangan akan semakin meningkat. Untuk
meraih suara, segala cara akan ditempuh, termasuk penghilangan ingatan
masyarakat atas kejahatan masa lalu para pemburu kekuasaan. Dalam konteks
media terutama televisi, terang bahwa perampokan atas hak publik sudah terjadi.
Maka pengalihan persoalan pelanggaran hukum jadi persoalan efektivitas
kampanye politik bisa jadi merupakan salah satu bentuk upaya penghilangan
ingatan. ●
0 Comments