Oleh Poltak Sinaga
IST |
Riwayat hidup orang penting atau deskripsi benda-benda bersejarah
cenderung menjadi bacaan yang sangat menarik, begitu juga dengan
biografi dari para komponis, proses evolusi alat-alat musik dari bentuk
yang sangat sederhana hingga modern, serta terjadinya persebaran ragam
instrumen musik dunia sejalan dengan ragam aktivitas manusia dengan
berbagai misi seperti migrasi antar bangsa, antar pulau dan antar benua,
misi perdagangan, penjajahan, imperialisme, kolonialisme, penyebaran
ajaran agama dan sebagainya. Semua ini akan menjadi cermin pembentuk
persepsi prespektif, dan berkontribusi secara signifikan terhadap
perkembangan khasanah pengetahuan musik dalam berbagai aspek yang
memberi warna-warni terhadap kepustakaan musik dunia.
Informasi tentang riwayat komponis dapat memberi penjelasan mengenai
karya-karya kreatifnya yang meliputi berbagai fenomena sosiomusikologis
yang berangsung dalam kurun waktu tertentu, termasuk perkembangan teknik
berkomposisi, pengunaan dan rekayasa alat-alat musik, serta ragam
teknik bermain musik yang lebih kompleks. Di sisi lain, tradisi
penggunaan musik dalam siklus kehidupan etnik tertentu dapat memberi
gambaran karakter eksotis suatu etnik yang merupakan bagian dari siklus
kehidupannya.
Adanya kemiripan penggunaan alat-alat musik, dan
repertoar antar etnik di kawasan Sumatera Utara menunjukkan sebuah
mozaik pluralitas. Beberapa nyanyian dari etnik lain seperti, Biring
Manggis (Karo), Selayang Pandang (Melayu), Poco-poco (Ambon) sering
digunakan sebagai bagian repertoar pada tradisi musik Batak Toba, dan
mereka sangat menikmatinya. Berbagai studi kasus yang menyangkut
pluralitas musik etnik Sumatera Utara bisa menjadi lahan studi
penelitian untuk memahami keunikan dari kemajemukan tradisi berkesenian.
Wacana ini pernah dikemukakan Ben M Pasaribu (2004) bertajuk
“musikalitas + etnisitas = pluralitas”. Dia mendambakan agar lebih
digencarkan upaya penelitiah ilmiah menyangkut pluralitas musik di
Sumatera Utara. Karena Sumatera Utara sebagai sebuah wacana
sosiokultural, menyimpan kekayaan khazanah kesenian dan tradisi musik
yang berbeda-beda, tradisi itu muncul dari sebuah proses evolusi
kultural yang panjang.
Wilayah Sumatera Utara terdiri dari sejumlah
etnik yang mencakup; Melayu, Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing,
Angkola, Pakpak-Dairi, Nias, dan Pesisir. Ben juga mengatakan bahwa
teori migrasi yang merupakan hasil penelitian dari para antropolog dalam
berbagai sajian antropologi budaya, memiliki pertalian dengan teori
persebaran instrumen musik.
Dia memberi contoh bahwa xylophone
(bilah-bilah kayu seperti garantung) dari Asia tenggara ke afrika Timur
pada abad 5 SM, pada kurun yang sama instrumen musik petik tube zither
(seperti sasando dari Flores) bermigrasi pula sampai ke Madagascar
menjadi valiha.
Sejalan dengan pendapat itu, Triyono Bramantyo
(2004) dalam bukunya ”Disseminasi Musik Barat di Timur” mengatakan,
bahwa permulaan kontak pertama Indonesia dengan musik Barat dapat
ditemukan dalam buku karya Kunst yang berjudul The Cultural Background
of Indonesian Music. Dalam buku ini digambarkan tripel flute bambu
flores, “bukan Yunani asli, paling tidak dikenal di sana”. Oleh karena
itu, “tripel flute bambu Flores dianggap sebagai barang-barang kuno yang
didatangkan dari Barat yang mempunyai irama khas” (Kunst, 1949, hal.9).
Catatan yang berdasar pada informasi tersebut diambil dari
seorang filsuf dan ahli musik Arab yang terkenal pada abad 11 yang
bernama Al Farabi, yang membicarakan hal tersebut dalam karya utamanya
dan memproduksikannya. Jaap Kunst memperkirakan bahwa “penggambaran ini
dan juga alat musik, menunjukkan bahwa pengarang tidak pernah bisa
melihat alat musik itu sendiri, karena keduanya tidak begitu akurat.
Namun demikian karena Al Farabi memperoleh semua keuntungan dari budaya
Yunani kuno, seseorang mungkin mengira bahwa dia mengetahui budaya
Yunani atau paling tidak sumber bahasa dan budaya Yunani (Hellenistic)
yang hilang beberapa tahun kemudian dimana tripel flute itu
disebut-sebut …” (Kuns, ibid, hal. 8-9).
Hal-hal di atas
merupakan serba sedikit fenomena kultural yang melingkupi arkeologi dan
etnografi di Indonesia termasuk masyarakat Sumatera Utara, yang secara
tidak langsung juga akan mengenai perkembangan keragaman musikalnya,
yang kurang banyak diminati para etnomusikolog untuk ditelusuri dan
bermuara pada kekayaan khazananah musik etnik.
Untuk lebih
merangsang upaya penelitian ke arah pluralitas musik etnik Sumatera
Utara diperlukan bahan baku atau sketsa serta sedikit ramuan dan bahan
penyedap. Ketika perkembangan masyarakat menghampiri periode modern,
tahapan kesenian dari kehidupan yang menyatu dalam ritual-ritual,
mengalami diversifikasi menuju kesenian yang asimilatif dengan kemampuan
yang menyerap gagasan-gagasan dari luar komunitasnya. Ketika pada
dasawarsa kedua abad ke 20 Tilhang Gultom menggagasi genre seni pentas
yang bergaya variety show di Sitamiang, Samosir, kelak kemudian menjadi
populer dengan sebutan Opera Batak dengan berbagai varian dan turunan
kelompok-kelompok baru.
Pada titik kulmilasinya, jenis seni
pertunjukan ini menggabungkan musik, tari, akrobat, drama, komedi dan
menjadi mesin uang yang penting dalam industri show-biz di tahap awal,
serta menghasilkan sejumlah primadona aktor, aktres dan vokalis. Secara
artistik, tidak hanya mengeksplorasi instrumen dan teknik musikal
Batak, namun mengimitasi bezetting Tonil Bangsawan dan film-film
Malaya, menyertakan instrumen saksofon, akordion, piano dan bahkan dalam
rekaman yang dibuat Paul B. Pedersen terdengar suara gender dari Jawa
(rekaman piringan Batak Music dengan program note yang ditulis Toenggoel
P.Siagian).
Meskipun perkembangan zaman menenggelamkan seni
pentas yang memiliki kontribusi penting dalam perkembangan sejarah
musik yang memiliki pluralitas ini, namun aspek media lain, misalnya
melalui sandiwara audio dalam casette dan drama seri di televisi (opera
Batak Metropolitan di TVRI Sumut) dan pergelaran vitalisasi (Opera
Silindung) sampai di awal millenium ketiga masih menjadi bahan kajian
yang menarik.
Dalam dunia musik hiburan, rekaman dan
penciptaan lagu-lagu rakyat dengan teks bahasa lokal yang baru, sejak
masa awal modern, sejumlah pencipta lagu dan pemusik dari Sumatera Utara
telah menorehkan catatan sejarah yang berarti. Diantaranya Lingling
Sitepu, Orkes Nalaingan Simalungun, Pardolok Tolong Melody, Jaga Depari,
Nahum Situmorang, Siddik Sitompul, Ismail Hutajulu, Taralamsyah
Saragih, Romulus L.Tobing, Marihot Hutabarat (dengan kelompok Trio
Marihot merekam album piringan hitam Inang Sarge yang dapat dianggap
sebagai album musik jazz pertama di Indonesia) dan sebagainya.
Tradisi
penciptaan lagu-lagu ini diteruskan oleh Charles Hutagalung, Rinto
Harahap, Reynold Panggabean, Rizaldi Siagian, Darma Purba, Hilman
Padang, Yoen Tarigan, Lamser Girsang dan banyak lagi pemusik kreatif
yang potensial yang telah menyumbangkan karyanya dalam khasanah yang
menunjukkan musikalitas yang patut diperhitungkan dan dapat menjadi
studi-studi kasus dalam penelitian sosio-musikilogis.
Pada kategori musik seriosa, klasik maupun yang masuk dalam daftar
pencipta lagu nasional, paduan suara dan religious, nama-nama Liberty
Manik, Cornel Simanjuntak, Amir Pasaribu, Lily Suhairy, Binsar Sitompul,
Nortir Simanungkalit, Alfred Simanjuntak, EL Pohan, Bonar Gultom, Jerry
Tarigan, Trisutji Zulham, Ronald Pohan, Achmad Baqi, Termasuk generasi,
meskipun tidak seluruhnya relasi kultural yang sepenuhnya dan langsung
dengan kehidupan musikal dan latar belakang sosio-kultural, seperti
Marusya Nainggolan, Arjuna Hutagalung, Ben M Pasaribu, Irwansyah
Harahap, Erucakra Mahameru, Daud Kosasih dan lain-lainnya yang memberi
warna dalam perkembangan di Indonesia.
Dalam konteks
keragaman musikal yang muncul dari keragaman etnik dan kreativitas
personal, fenomena musik di Sumatera Utara, selain sebagai sebuah
artistik yang dapat dinikmati melalui pengalaman maupun multimedia,
sangat potensial juga menjadi objek kajian dan observasi dari sisi yang
lebih akademikal dan akan pula memberi kontribusi yang sangat berarti
dalam dunia musikologis.
Paparan tersebut menjadi sebuah rangsangan dan tantangan bagi komunitas etnomusikolog sebagai bahan kajian yang sangat berarti terhadap perkembangan musik etnik di nusantara khususnya Sumatera Utara.
Setiap fenomena dari sejumlah fenomena musik
dalam paparan itu dapat diidentifikasi dan diformulasikan menjadi sebuah
teori baru melalui serangkaian penelitian yang sangat berguna bagai
generasi mendatang. Misalnya, dari sejumlah deretan nama seniman dan
komponis Sumatera Utara, yang telah banyak berbuat kebajikan dalam
perkembangan musik dan kesenian Sumatera Utara tampaknya hingga kini
belum masuk dalam kelompok prioritas sebagai studi kasus dalam
penelitian musik yang dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
sosiomusikologis, etnomusikologis, linguistik dan filologis, semiotik,
historis, psikologis, dan sebagainya.
Jika kita melihat apa-apa
saja yang sudah dikerjakan oleh para akademisi yang berkecimpung dalam
dunia seni pertunjukan di Pulau Jawa khususnya Yogyakarta dan Jawa
Tengah, ternyata mereka telah berbuat banyak dalam menyibak berbagai
misteri dan fenomena musik yang pernah ada dan berkembang pada masa
lalu.
Di satu sisi “sebuah nama komponis dan penata tari Simalungun” seperti tercecer dalam perjalanan kesenian Sumatera Utara khususnya di kalangan etnik Simalungun. Hidupnya bagai pepatah “habis manis sepah dibuang”. Dia adalah Taralamsyah Saragih (1918-1992) yang telah banyak mencipta dan menggubah lagu-lagu rakyat dan tari daerah Simalungun.
Ketika saya mengamati karya musik Taralamsyah
Saragih, setiap lagunya tertata dan tertulis rapi dengan penggunaan
notasi musik Barat yang lengkap, hal ini mengindikasikan bahwa komponis
ini selain memiliki imajinasi musik yang baik, juga memiliki wawasan
musik yang luas. Simaklah lagu-lagu gubahan Taralamsyah seperti Serma
Dengan-Dengan, Parsirangan, Sitalasari, Inggou Parjalang, Simodak-odak,
Ilah Bolon, Poldung Sirotap Padan, dan puluhan lagu lainnya tentu dapat
menjadi sebuah studi kasus dalam transkripsi etnomusikologis untuk
menemukan skala dan gaya vokal musik etnik Simalungun. Pada masa Orde
Lama Taralamsyah telah memperkenalkan keragaman musik dan tari Sumatera
Utara ke negeri Cina. Namun pada akhirnya dia dilupakan orang, kemudian
berkarya di Provinsi Jambi menginventarisir musik dan tari Jambi, lalu
kembali lagi dilupakan. Apakah harus begini?
Tentang Penulis :
Poltak Sinaga lahir di Deli Serdang, 1 Nopember 1961. Guru di SMK Negeri
11 Medan (Sekolah Menengah Musik). Juga mengajar di Fakultas Kesenian
UHN Medan. Menyelesaikan studi S1 Prodi Seni Musik, Jurusan Sendratasik
FPBS IKIP Medan Tahun 1996, judul penelitian “Korelasi Penguasaan
Organologi Dengan Kemampuan Orkestrasi Musik Pop di Sekolah Menengah
Musik Negeri Medan. Melanjutkan Program Magister Program studi
Antropologi Sosial UNIMED Medan.
Gemar mengamati perkembangan
dan degradasi berbagai gendre musik, lalu menulisnya di media berbagai
media cetak Aktif berpartisipasi sebagai instruktur pada pelatihan
pembelajaran musik bagi guru-guru SD se Sumatera Utara. Sebagai
Sekretaris bidang advokasi asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI)
Sumatera Utara. Menulis buku Seni Musik Untuk Tingkat SD, SMP dan SMA,
dan buku referensi musik.https://www.facebook.com/groups/281941825288505/permalink/303726303110057/
0 Comments