SIMALUNGUN & HABONARON DO BONA
(Bagian 1)
Horas…
HABONARON DO BONA… Sejak kecil kalimat ini selalu bergema dalam hati. Telah menjadi ciri Halak Simalungun, halak hita
sering mengutipnya dalam percakapan dan tulisan. Kemudian kita
menganggapnya sebagai falsafah Suku Simalungun. Bahkan Logo Pemda
Simalungun juga menjadikannya sebagai motto. Bukan hanya itu, berbagai
organisasi massa, kepemudaan, gereja juga menggunakannya. Berarti
falsafah Habonaron Do Bona itu dapat mewakili jati diri kolektif Halak (suku) Simalungun. Apakah benar demikian? Apa sih makna yang terkandung di dalamnya? Apa pula hubungan Simalungun dan Habonaron Do Bona ini…
HABONARON DO BONA
Mudah mengartikan falsafah ini berdasarkan arti yang tersurat. Habonaron misalnya, diartikan sebagai Kebenaran Hakiki, Tuhan, Allah. Bona, berarti pangkal, sumber, asal, hulu, inti. Jadi bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih bermakna: Dari-Nya lah kita berasal. Tuhan adalah sumber segala sesuatu. Semua ini adalah ciptaanNya, milikNya.
Apakah sesederhana itu maknanya? Apakah ada makna yang
tersirat? Mudah bagi kita yang memiliki latar belakang agama dan
keyakinan tertentu untuk mengartikan Habonaron itu menjadi Kebenaran,
atau Tuhan, Allah. Namun jika kita jujur hendak menafsirkannya
berdasarkan teologi agama dan keyakinan yang dimiliki Halak Simalungun,
apakah itu Parhabonaron, Agama Kristen Protestan, Katolik, dan Islam,
pastilah “kata” Habonaron itu akan diterjemahkan sebagai Tuhan menurut
pemahaman masing-masing.
Sementara ada golongan agama yang masih bersikeras bahwa Tuhan setiap agama itu beda. Terserah!
Ini pendapat mereka. Sedikit yang mengakui bahwa memang benar Tuhan itu
Satu Adanya. Ada yang keberatan jika semua agama itu disejajarkan
sama-sama benar. Kelompok itu ada! Namun ada juga yang mengatakan
memang agama itu “jalan yang berbeda” namun tujuannya sama yakni Tuhan
Yang Maha Esa. Baiklah kita tinggalkan dahulu masalah teologi ini.
Syukurlah… Pancasila sudah mengantisipasi hal seperti ini.
Jangan kira tokoh angkatan 45 tidak
mengetahui sejarah dunia, sejarah agama-agama yang memiliki catatan
berdarah, baik antaragama maupun dalam tubuh interennya. Pancasila malah
bergerak lebih maju untuk mengantisipasi adanya kelompok non-apresiatif
tersebut seperti radikalisme. Karena itulah Negara kita menawarkan
falsafah, Sila Pertama untuk mengantisipasi kelompok yang merasa benar
sendiri tersebut. Bahwa “Ke-tuhan-an
(kata sifat) itu Esa. Artinya sifat-sifat Tuhan itu universal adanya.
Jika setiap pemeluk agama menjadi religius, dengan sendirinya akan
menghayati sifat-sifat Tuhan yang maha baik, kasih, pemurah, menolong, menghormati, mendamaikan, apresiatif dll.. Mengutamakan sifat-sifat inilah yang penting dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan. Kita tidak bisa membohongi orang dalam waktu lama.
KEMBALI KEPADA FALSAFAH
HABONARON DO BONA
Saya berkeyakinan falsafah ini lahir sebelum agama SAMAWI tiba atau bertandang ke Bhumi Simalungun. Hmm…
Artinya leluhur Halak Simalungun sudah sampai pada kesadaran bahwa
Manusia itu asalnya dari Tuhan Yang Tunggal. Setiap manusia yang
terlahir di bumi ini merupakan ciptaanNya, berasal dariNya.
Menyadari hal ini aku bangga. Bangga pada leluhur. Bahwa falsafah ini
tidak lahir dari seorang gembala yang sedang berada di atas punggung
kerbau, atau pas memancing di sungai. Atau lahir atas perintah
raja yang konon rakyatnya tak ada yang punya baju atau sandal. Bukan.
Sekali lagi bukan.
Falsafah ini, saya yakin lahir dari hasil evolusi jiwa Halak
Simalungun, lahir dari JIWA LUHUR. Lahir dari pencapaian Spiritual.
Lahir dari HASIL OLAH RAGA, RASA, dan JIWA. Ketiga usaha ini, sekarang
dinamakan SENI MEMBERDAYA DIRI[1]. Karena leluhur kita telah menemukan cara untuk mensinergikan diri dengan yang Ilahi, sudah selaras, Eling, sudah Berkesadaran.
Aku Bangga Jadi Orang Simalungun. Kenapa?
Karena leluhur kita telah mencapai tingkat kesadaran yang tinggi.
Bahwa kesadaran itu disokong, berkembang di atas lahan Peradaban,
Kebudayaan yang sudah tinggi. Dan saya berani menyimpulkan (maaf ya, saya harus berterus terang),
bahwa mereka adalah praktisi Yoga, Tantra. Pada ajaran Yoga dan Tantra
terdapat disiplin bagaimana mematangkan evolusi jiwa, bagaimana
membersihkan insting hewani, bagaimana menyelaraskan diri dengan alam
dan lingkungan. Pendek kata mereka memiliki peradaban dan kebudayaan
yang sudah tinggi. Yoga berarti terjadinya persatuan dengan Ia Yang
Ilahi.
Eeist… tunggu dulu. Dapatkah kita membayangkan bahwa
nenek moyang kita adalah para manusia Hindu? O ya, Hindu itu berasal
dari kata Sindhu, Sinthu, Sunda. Akar katanya sama, yang bermakna bahwa
Hindu, Sindhu, Sinthu, Sunda adalah wilayah PERADABAN, KEBUDAYAAN yang
sama. Wilayah ini konon dibagi dua oleh sungai Sindhu yang ada di India
sekarang hingga Nusantara/Dvipantara – pada masa yang lama sekali.
Berita gembiranya, Orang Nusantara tidak pernah mengimpor keyakinan/agama
dari India. Karena budaya dan keyakinan kita sama. Bahkan dengan
orang-orang China. Persebaran kebudayaan itu justru dari Dvipantara
(Peneliti menyebutnya Lemuria, Atlantis/Atlantean). Sebagai contoh,
sewaktu pusat Peradaban berada di sekitar Danau Toba sekarang – lebih
kurang 75.000 lalu, dan ketika Gunung Toba/Meru meletus, maka
orang-orang melarikan diri ke India (migrasi pertama)[2]
juga ketika bencana berikutnya ada yang bergerak menuju Mesir (migrasi
kedua).
Di sana, untuk mengenang Gunung Toba/Semeru, mereka mendirikan
Piramid. Mereka memendam trauma terhadap “tsunami”, karena waktu Gunung
Toba meletus, wilayah Dvipantara masih menyatu (belum ada laut utara
Jawa), jadi merupakan wilayah yang luas membentang – memiliki lembah subur yang disebut orang-orang sebagai surga di bumi/Paradiso/Paradise/Sundara, negeri Matahari.
Periode berikutnya adalah sewaktu pusat peradaban berada pada Gunung
Dempo (Moyang Krakatau) di selat Sunda. Masa inilah (12.000 tahun lalu)
yang disebut masa Atlantis. Saat itu Gunung Dempo, mendatangkan air Bah
(Tsunami) lagi, dan orang-orang Atlantean/Sunda migrasi lagi ke berbagai
negeri terlebih ke Yunani (migrasi ketiga) – orang-orang Yavan.
Makanya tak heran banyak nama yang kembar antara Indonesia dan India.
Bahkan banyak cerita yang tersimpan di Nusantara, bahwa penduduk yang
migrasi pada periode pertama itu ada yang memilih kembali lagi ke
Nusantara mencoba membangkitkan Peradaban mereka yang sempat
ditinggalkan. Sehingga catatan sejarah kita mengenal beberapa dinasti
seperti: Warman dan Indra yang begitu menonjol di Nusantara.
Mari kita kembali ke Simalungun. Jadi nenek moyang kita tidak lahir
atau timbul pada tahun 1200-an, bukan. Jika ingat kembali kisah
penciptaan dan kelahiran manusia pertama versi tradisi kita (Hindu) dan
yang masih bertahan di kampung kita maka akan mirip.
Kisah itu metafor. Tolong jangan ditafsirkan secara buta. Misal kita ambil kisah dari Toba, Si Boru Deak Parujar
– unsur feminim, adalah putri dari Betara Guru/Siva, yang menolak
dinikahkan dengan putra Brahma yang Buruk Rupa – unsur Maskulin. Maka ia
turun ke benua/wanua bawah. Singkat cerita Ia meminta segenggam tanah
ke Bapaknya-Siva. Maka jadilah BUMI.
Ini kisah metafor. Jika dirunut mulai Brahma yang menciptakan Bumi, maka Bumi telah berusia jutaan tahun – menurut Veda[3] dan Srimad Bhagavatam[4]. Dan
jika ingin mengetahui kisah penciptaan dunia dengan sangat menarik
silahkan membaca kitab Srimad Bhagavatam tersebut. Akan sangat-sangat
membantu.
Lalu mari memperhatikan Kisah Si Boru Deak Parujar yang dihubungkan
dengan Si Raja ‘Batak’, lalu yang menurunkan marga-marga di tanah
‘Batak’ ya, tidak klop/pas. Menafsirkan pohon silsilah “Orang
Batak” harus berdasarkan tafsir BUDAYA yang komprehensip. Tidak Politis.
Jika tidak, tak akan sinkron, klop, atau cocok, senantiasa ada friksi.
Kembali ke falsafah Habonaron Do Bona
Falsafah ini similar dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Terlihat
banyak, beragam, tetapi disatukan inti kehidupan yang sama – inti ajaran Sivabudha! – Tidak ada dua Dharma. Terkesan beragam namun satu adanya. Terlihat banyak jalan yang memuja Tuhan, tetapi tujuannya SAMA. Jadi lahirnya falsafah Habonaron Do Bona adalah berasal dari KESADARAN. Tidak ada lagi debat teologi di sana. Sudah FINAL.
Kalau masih berkutat pada
teologinya, ya silahkan saja. Kami Halak Simalungun sudah mencapai
Kesadaran yang Tinggi. Tinggal orang/halak Simalungun yang sekarang mau
atau tidak menyegarkan kembali ingatannya.
Dalam falsafah Habonaran Do Bona,
manusia Simalungun sudah menyadari kesatuan antara dunia
tetumbuhan/hewan, manusia dan alam dewata. Tidak ada lagi sekat-sekat.
Di mana-mana Tuhan itu ada. Di luar dan di dalam diri mahkluk, Ia Maha
Melingkupi, Maha Meresapi. Jadi tidak ada tempat di mana Ia tidak ada.
Di Barat, Timur, Utara, Selatan, bawah, atas, di semua arah Ia bertahta.
Bahkan Ia lebih besar dari Semesta. Inilah pemahaman saya, kurang lebih maaf jika ada kata atau kalimat yang tidak berkenan.
Diatutupa ma – Terimakasih.(Sumber: http://www.davidpurba.com)
0 Comments