St Jannerson Girsang |
BERITASIMALUNGUN.COM, Simalungun-Pencitraan adalah sebuah kata yang sangat populer di era refomasi ini.
Kata ini sering dianalogikan "branding", "imaging" dan berbagai istilah
lain.
Tujuannya adalah mensosialisasikan nilai sebuah produk.
Kalau dilakukan untuk orang atau individu, merupakan kegiatan
mensosialisasikan nilai yang dimilikinya ke publik, kalau dalam Pilkada,
mendulang pemilih.
Sayangnya, banyak orang tidak menyadari,
menjadi seseorang yang "palsu" akan menjerumuskan dirinya ke lubang
kepalsuan yang lebih dalam.
Begitu banyak calon pemimpin masa
lalu, yang maju menjadi caleg, gubernur, bupati/walikota, mencitrakan
dirinya pemimpin bersih, setia melayani rakyat, peduli orang miskin. Sebuah citra yang memikat agar rakyat atau audience terpengaruh mengangkatnya sebagai pemimpin.
Tidak salah orang mencitrakan dirinya seperti itu, karena kalau seorang pemimpin seperti itu, maka rakyat pasti akan makmur. Yang salah adalah kalau citra itu palsu, tidak sesuai dengan faktanya.
Ditambah lagi cara melegitimasi citra itu di masyarakat dilakukan dengan
iming-iming "Uang" dan "Kekuasaan" dan itu yang menjadi strategi utama.
Para pemilih di :amplopin", para tim sukses diimingi "kekuasaan".
Belajarlah dari para bupati, walikota, bubernur koruptor. Kalau kita
melihat para bupati, walikota atau gubernur yang masuk penjara,
kenyataannya, hidup mereka banyak ditumpahkan di cafe, lapangan golf,
tamasya ke luar negeri, punya istri simpanan di berbagai tempat,
menyogok oknum hakim melalui oknum lawyer, kegiatan sehari-hari hanya
mengatur komisi-komisi, merampas hak-hak pegawainya sendiri, merampas
hak-hak rakyat.
Kekayaan yang selama ini diperoleh hanya dari
komisi proyek yang diatur sedemikian rupa, komisi menempatkan para
pejabat yang tidak kompeten, komisi dari tukar guling tanah dengan harga
miring, mafia minyak, mafia sapi, mafia tanah dan berbagai mafia
lainnya.
Lebih dari seratus Bupati, Walikota, puluhan gubernur di
era reformasi ini melakukan pencitraan palsu, dan berurusan dengan KPK
atau masuk penjara karena korupsi.
Dalam kampanye mereka
menyebut dirinya "...pemimpin yang bersih, setia melayani rakyat, peduli
orang miskin", ternyata hanya seorang "koruptor".
Banyak
diantara pemimpin seperti ini, kini berada di belakang terali besi.
Pendukungnya juga banyak. Pemimpin seperti ini umumnya dikeliling para
koruptor juga.
Ingat nggak para ibu-ibu yang menghalangi
penangkapan Hakim Tipikor Medan. Ibu-ibu para pendukung koruptor,
menghalangi KPK menangkap oknum hakim yang diduga menerima suap.
Demikianlah mereka membela sang bos, selalu dengan kekerasan.
Mungkin pagi ini ada diantara mereka sedang merenungkan sebuah
penyesalan, atau justru mengulangi lagi strategi yang sama. Buktinya,
masih ada calon walikota yang pernah di penjara karena korupsi, berhasil dan
maju pula dalam Pilkada 2015.
Pagi ini rakyat mengingatkan agar para calon bupati, walikota 2015, citra palsu Anda, hanya akan menjerumuskan Anda lebih dalam.
Niat menjadi Bupati/Walikota/Gubernur harus dilengkapi dengan nilai yang jujur, bukan pencitraan kosong. Politik, bukan hanya perang merebut posisi, tetapi perang nilai
memenangkan konsep perjuangan memperbaiki kehidupan rakyat, seperti
nilai yang ditawarkan para calon.
Ingatlah: “Your brand name and
recognition is important. However, to create a lasting and remarkable
impression, you must remember that you and your brand are as good as the
value you bring to the marketplace.” (Bernard Kelvin Clive).
Untuk menciptakan kesan abadi dan luar biasa, Anda harus ingat bahwa
Anda dan citra Anda adalah nilai sebenarnya yang Anda bawa ke pasar atau
publik. Berbohong, berarti Anda cenderung melakukan
kebohongan-kebohongan baru.
Lihat gambar saya di Atas ini!.
Saya bisa mengatakan sedang ceramah ilmiah di depan mahasiswa
Universitas Indonesia. Saya juga bisa mengatakan saya ceramah ilmiah
penemuan besar saya di depan para ilmuwan di kampus Universitas
Indonesia.
Semua itu palsu.
Faktanya: saya meminta
anggota keluarga mengambil gambar saya di mimbar tempat wisuda Sarjana
UI 29 Agustus 2015, usai acara dan hanya tinggal beberapa orang saja di
Balairung UI.
Saya berpidato kosong seolah-olah menjadi pejabat, ilmuwan atau orang penting di depan orang-orang penting.
Padahal, audiencenya hanya istri saya, anak-anak saya, menantu, dan
putri adik saya yang diwisuda hari itu, belasan orang lain yang
menggunakan kesempatan berfoto ria, cleaning service dan petugas
peralatan lain yang mempersiapkan peralatan untuk diangkut pulang.
Ribuan mahasiswa, undangan, serta pejabat (barisan prosesi dan undangan penting), semua sudah pulang.
Citra saya yang sebenarnya saat itu: Undangan dari orang tua wisudawan
sedang berselfi ria di mimbar Balairung UI. Hati-hati mencermati
pencitraan. Jangan lihat aksi sesaatnya, lihat kebiasaannya.
Rakyat Indonesia cermatlah menilai pencitraan, khususnya menyambut Pilkada Desember 2015.
Para calon gubernur/bupati/walikota jujurlah dalam mencitrakan diri
Anda. Sejarah akan mencatat kejujuran dan kebohongan Anda!. Jika citra
Anda bohong, maka terjebak ke jurang kebohongan yang lebih dalam, masuk
penjara dan menderita seumur hidup. Selamat Pagi. Medan, 12 September 2015. (St Jannerson Girsang)
0 Comments