Panen Padi : Warga Sipoldas saat melakukan panen padi sawah di Desa Bangun Jawa, Nagori Sipoldas, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih |
Seorang
petani sayur mayur saat ini sedang menikmati harga komoditi pertanian
yang cukup menggembirakan. Kol, cabe, tomat, yang ditanamnya
menghasilkan uang dalam jumlah yang relatif cukup besar untuk ukuran
desanya. Dia mampu membeli barang impiannya selama ini.
Dua
minggu lalu dia membeli sebuah mobil Avanza baru warna hitam. Maksudnya,
selain digunakan untuk piknik, mengunjungi familinya di kota, juga
supaya tidak mudah terlihat kotor kalau tersiram lumpur.
Satu
lagi, tentunya agar jemaat di gerejanya tau, dia berhasil. Mobil Avanza
adalah satu simbol status, dan di gerejanya baru satu orang yang
memiliki mobil sejenis.
Ketika dia belum memiliki mobil, musim
hujan menjadi kebahagiaan baginya karena sedang mempersiapkan tanaman
baru. Kalau hujan turun, dia tidak usah menyiramnya. Untuk lahan yang
luas, pekerjaan menyiram membutuhkan tenaga dan biaya yang cukup besar.
Jadi, hujan benar-benar menjadi berkat.
Suatu hari Minggu sang
petani hendak pergi ke gereja. Dia sudah lengkap pakai jas, dan
istrinyapun sudah memakai semua perhiasan yang dimilikinya.
Ketika mereka baru saja meninggalkan rumah menuju gereja yang berjarak 3
kilometer itu, hujan turun dengan lebatnya. Di pertengahan jalan,
menjelang sebuah jembatan yang sedang diperbaiki, dia tidak melihat
lubang besar hasil galian di ujung jembatan yang tertutup oleh air.
Kabut akibat hujan menghalangi pandangannya.
"Bruuuuuk!"...Mobilnya masuk ke dalam lubang besar yang penuh air.
Mobil tidak bisa keluar, terperosok ke lubang. Dia bersama istrinya terkurung di mobilnya.
Istrinya mencak, mencak. Kesal karena tidak bisa keluar dari mobil.
Gelang emas di tangannya, anting berlian mahal menghiasi kupingnya,
kalung emas yang menggantung di lehernya, tidak bisa dipamerkan di
gereja.
"Bapak ini matanya ditaruh dimana sih, Masak lobang yang begitu besar tidak dilihat," katanya.
Karena hujan turun begitu lebat dan tidak ada orang di sekelilinya bisa
menolong, mereka tidak bisa keluar dan hanya bisa bertahan menunggu
hujan reda.
Sayangnya hujan lebat cukup lama, dan sudah terlambat hampir satu jam dari jadwal gereja.
Dia kesal dan berbisik kepada Tuhan yang dipercayainya.
"Tuhan, kenapa Kau tidak memberikan kami musim kemarau hari ini. Jemaat
tidak bisa melihat mobil baruku, jemaat tidak bisa melihat perhiasan
istriku!. Tuhan tolonglah kami".
Dia memegang setir dan menundukkan kepalanya. Melirik istrinya yang cemberut, ngoceh terus menerus. Kesal luar biasa!
Hujan reda!. Mobil dikeluarkan rame-rame oleh pemuda setempat. Dia memberikan uang lelah.
Lantas, keduanya memutuskan pulang ke rumah. Karena bumper mobil sudah
rusak, pakaian basah dan berlumpur. Sepatu mahal yang sudah disemir
mengkilat, tertutup lumpur, saat dia turun dari mobil.
Melihat orang tuanya pulang cepat, anak-anaknya heran.
"Kok bamper mobilnya rusak pak. Kenapa cepat pulang?" kata anaknya.
"Akhh....sana...sana,"kata sang petani berjalan tergopoh-gopoh dan lengsung masuk ke kamarnya.
Hujan, kadang jadi berkat, kadang jadi mala petaka. Salahkan Tuhan mendatangkan hujan?. Kalau begitu, siapa yang salah ayo!. Mmmmmmmmm! (Oleh: Jannerson Girsang)
0 Comments