Timor-Timur 1976. IST |
Di hari Pahlawan ini, saya teringat kejadian di tanggal 7 Desember
1975. Waktu itu saya bersama dengan anak buah saya diterjunkan di
Timor-Timur. Kami adalah prajurit-prajurit
Detasemen Tempur Kopassandha (sekarang Kopassus).
Hari itu kami terbang
dari Madiun menuju Timor-Timur. Sekitar pukul 05.45 WITA, tiga menit
sebelum matahari terbit, kami terjun dari pesawat C-130B di ketinggian
antara 900 kaki hingga 1.250 kaki.
Lapangan Pancasila-UGM, tempat saya berbagi kisah ini dengan mahasiswa-mahasiswi Jogjakarta pada 30 Oktober 2015. IST |
Hari itu, 8 anak buah saya gugur hanya dalam 2 jam pertempuran. Mereka
pergi tanpa sempat pamit kepada saya. Padahal, semalam sebelumnya mereka
masih berbincang dengan saya. Kami masih duduk bersama, dan saya
memberikan briefing di bak pasir. Malam itu mereka tidak pernah tahu
bahwa mereka akan gugur di keesokan harinya.
Malam itu saya berpikir
bahwa besok kita akan terjun, tapi kita tidak tahu apa yang akan
terjadi. Dalam benak saya sebagai seorang perwira muda waktu itu, saya
kira saya kebal dari peluru, karena baret merah (julukan untuk anggota
Kopassus) pasti hebat.
Komandan saya pun gugur. Beliau adalah
Komandan Detasemen Mayor (anumerta) Atang Sutrisna. Padahal, semalam
sebelum terjun ke Timor-Timur Beliau masih panggil saya dan bertanya
“Luhut gimana ini, ini, ini...” Beliau masih bertanya tentang payungnya
ke saya. Besoknya dia sudah pergi, meninggalkan anak istrinya. Saya juga
tidak tahu di mana sekarang anak dan istri dari anak-anak buah saya
yang telah gugur.
Itulah pengorbanan-pengorbanan mereka untuk
bangsa dan negara ini. Mereka tidak pernah tanya untuk apa ini. Saya dan
Anda bisa menjadi seperti ini sekarang, menikmati ini semua, itu karena
pengorbanan pahlawan-pahlawan kita. Maka dari itu, saya dan Anda harus
ingat apa yang telah dikorbankan oleh mereka.
Saat itu kita tidak
pernah bertanya kau dari mana, suku apa kamu, agama apa kamu. Yang
selalu saya tanyakan kepada mereka adalah “kau siap atau tidak ?”.
Pertanyaan ini juga terus mewarnai perjalanan hidup saya. Saya tidak
pernah bertanya kau dari mana, sukumu apa, agamamu apa. Tapi saya selalu
bertanya apa dan bagaimana sekolahmu.
Negara yang berkembang seperti
Indonesia ini butuh anak-anak muda yang punya intelektual bagus dan
punya hati yang baik. Tanpa hati yang baik dan tanpa ada keinginan
berkorban, tapi hanya mengandalkan intelektual saja, itu tidak akan ada
apa-apanya.
Melalui kesempatan ini, ijinkan saya sekali lagi
bertanya kepada Anda: Indonesia akan menjadi Negara yang besar, Kau siap
atau tidak? (Sumber FB: Luhut Binsar Pandjaitan)
0 Comments