Keterangan foto: Sonya Depari (gaun warna emas) saat didapuk menjadi Miss Favorite pada ajang Miss Cofee tahun 2015 silam. (Sumber: Tribun Medan) |
Kasus Sonya Depari telah menghentakkan kita semua. Ucapan, tindakan di
era internet ini memang harus dapat menginspirasi, bukan mengundang rasa
iri, dendam, atau benci.
Gadis berparas cantik, dan
merupakan siswa kelas akhir salah satu SMA swasta di Medan itu kini
dirundung sedih. Kabar mengejutkan kita semua, karena ayah kandungnya
meninggal,
Sebaga orang tua,
saya sangat memahami perasaan seorang anak, seperti Sonya Depari. Dia
pasti sangat menyesal dengan ucapan dan tindakannya!.
Harian
Tribune Medan menulis: "Ayahnya yang bernama Makmur Depari meninggal
setelah video prilaku anaknya yang memarahi polisi di Jalan Sudirman
Medan, Rabu (6/4/2016) saat merayakan berakhirnya Ujian Nasional (UN)
menjadi heboh di berbagai media baik elektronik maupun internet".
Sebuah kejadian tragis dan kita semua turut merasa prihatin dan turut menyatakan duka cita yang mendalam atas peristiwa ini.
Seorang psikolog di Medan, Irna Minauli, mengatakan, terhadap kasus
bullying Sonya Depari sebaiknya dihentikan. Alasan dihentikan karena
melihat kondisi psikologi Sonya yang akan semakin drop karena
terus-menerus dibully.
Pelajaran Berharga bagi Kita Semua
Kepada Tribune Medan, Psikolog dari Minauli Consulting ini menjelaskan,
korban bullying biasanya adalah seseorang yang memiliki karakter "ter",
terbodoh atau terpintar, terjadi atau tercantik, termiskin atau
terkaya.
Lalu, melihat penampilan awal dari korban, nampak
bahwa ia memiliki potensi untuk dijadikan korban bullying karena tidak
semua orang memiliki kecantikan dan kemewahan seperti yang dimilikinya.
Sonya Depari adalah Miss Favorite pada ajang Miss Cofee tahun 2015
silam, dan memiliki keluarga seorang Jenderal. Orang-orang terhormat
memang dituntut berperilaku terhormat. .
Ketika kemudian ditemukan perilaku yang tidak baik maka hal itu menjadi jalan pembenaran untuk dilakukan bullying.
Itu sebabnya orangtua harus mengajarkan pada para remaja untuk lebih berhati-hati dalam menyatakan pendapatnya di depan publik.
"Mereka tetap harus diajarkan sopan santun dan etika dalam bersikap,
khususnya dalam media sosial. Dalam era keterbukaan seperti saat ini
sepertinya setiap orang menjadi merasa memiliki kebebasan untuk
menyatakan pendapatnya tanpa mempertimbangkan berbagai aspek yang
menyangkut kesejahteraan psikologis dari korban ," ujarnya.
Kepada Sonya, kita semua turut prihatin dan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Kita turut prihatin. Andaikan Anda Sonya Depari! Jadi, marilah, "Stop Bullying" seperti diingatkan psikolog Irna Minauli. (St Jannerson Girsang)
0 Comments