Eva Sundari. TEMPO/Seto Wardhana |
BeritaSimalungun.com,Jakarta-Eva Kusuma Sundari menilai, keberatan yang diajukan seorang penduduk di Tanjung Balai terhadap pengeras suara masjid bukan bentuk ujaran kebencian atau hate speech. "Protes tersebut wajar dan bukan bentuk kejahatan," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 31 Juli 2016.
Eva menjelaskan, pada 2015, Jusuf Kalla, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia, berulangkali meminta speaker masjid diatur agar tidak terjadi polusi suara. “Apakah kita hendak anggap Pak JK melakukan kejahatan? Saya kira tidak. Protes ini wajar. Bukan (bentuk) kejahatan,” katanya.
Pada 1978, kata Eva, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama juga mengeluarkan instruksi soal pengeras suara. Instruksi ini mengatur batas volume, waktu, dan orang yang berada di microphone agar tak mengganggu lingkungan sekitarnya.
Sebelumnya, Jumat, 29 Juli 2016, terjadi pembakaran dua wihara dan lima kelenteng di Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang dipicu salah paham antarwarga.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Tanjung Balai Ajun Komisaris Besar Ayep Wahyu Gunawan, peristiwa tersebut berawal dari seseorang berinisial M yang terganggu dengan suara azan magrib dari mesjid dekat rumahnya.
Perselisihan pun terjadi. Kepolisian bersama pihak kelurahan sempat memediasi masyarakat. Di saat bersamaan, ada pesan berantai melalui media sosial, yang mengatakan masjid tersebut dilarang memperdengarkan azan. Pesan itulah yang akhirnya menyulut kemarahan umat Islam di Tanjung Balai.
Menurut Eva, Kepolisian Daerah Sumatera Utara bisa menelusuri Facebook dan YouTube untuk mencari penyebar kebencian dan kekerasan di Tanjung Balai. Caranya adalah mempelajari waktu unggah dan lini masa foto serta video. “Cukup banyak bukti bisa dipakai di media sosial buat menjerat mereka dengan pasal-pasal pidana,” kata Eva, yang juga Wakil Koordinator Kaukus Pancasila.
Eva meminta masyarakat memahami risiko argumentasi minoritas harus menghormati mayoritas. Menurut Eva, Indonesia adalah negara yang punya bermacam agama dan suku sehingga mayoritas di suatu daerah bisa jadi minoritas di daerah lain. “Mungkin secara sosial bisa dipermasalahkan kok seorang perempuan non-muslim protes atas speaker masjid. Tapi keberatan tersebut bukan kejahatan,” katanya.
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Budiman Sujatmiko, mendesak pemerintah segera menindak pelaku pemicu kerusuhan. “Sudah kewajiban pemerintah daerah untuk segera menindak, terutama yang menyebarkan isu di media sosial. Ini reaksi karena media sosial,” katanya, Minggu, 31 Juli 2016.
Menurut Budiman, kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai bukan kasus karena SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Budiman mengatakan kerusuhan terjadi karena ada pemicu yang dilakukan antarindividu . “Ada ras yang menumpangi, tapi itu tidak ada hubungannya,” katanya. “Ini harus diselesaikan agar tidak ada konflik horizontal.”(*)
Sumber: Tempo.co
0 Comments