Samuel Harianja, Seniman Pembuat Alat Musik Batak |
Tagading Batak Buatan Tan Manihuruk Reyfaldo-Samosir. IST |
Tagading Batak Buatan Tan Manihuruk Reyfaldo-Samosir. IST |
BeritaSimalungun.com, Taput-Dengan kapak kecil, Samuel
Harianja tampak telaten mengikis sisi-sisi kayu dengan perlahan. Sesekali ia
memutar kayu pahatannya tersebut, memandangnya serius, untuk memastikan apakah
ada bagian yang harus dikikis lagi.
RABU (1/2/2017) siang itu, cuaca di Dusun Banjar Dolok,
Desa Pancur Napitu, Kecamatan Siatas Barita, Tapanuli Utara (Taput) tak begitu
panas. Saat bekerja, Samuel ditemani angin yang berhembus sejuk dan pemandangan
indah di sekelilingnya.
Terhampar bukit dan rura (lembah) Silindung yang terkenal
itu di sekitarnya. Setiap hari, di tempat inspiratif inilah tangan kreatif
Samuel bekerja hingga menghasilkan karya-karya luar biasa, yang kini mulai
jarang ditemui.
Ya, pria 29 ini adalah seniman yang merupakan aset bangsa.
Di tengah semakin hilangnya seniman-seniman pembuat alat musik tradisional,
Samuel hadir bak oase di tengah kekeringan akan kreativitas.
Samuel, yang lahir dan besar di Dusun Banjar Dolok, Desa
Pancur Napitu, menerjunkan dirinya sebagai seniman pembuat alat musik
tgradisional, termotivasi saat sempat bekerja di usaha keluarga Martogi
Sitohang, si maestro seruling Batak.
Samuel juga mahir memainkan alat-alat musik Batak, mulai
dari tataganing, serune, hasapi dan ogung. Selain itu, dia juga mahir memainkan
gitar.
“Saya sempat cemburu. Kerajinan alat-alat musik ini
ternyata sangat menjanjikan. Seperti halnya keluarga besar mastreo seruling
Martogi Sihotang,” ujar Samuel yang
ditemui di rumahnya.
Ayah dua anak ini mengaku mulai belajar membuat tataganing,
mulai dari Toba Samosir hingga ke Samosir. “Pernah belajar ke Laguboti, Toba
Samosir dan ke Desa Limbong Kabupaten Samosir. Di Limbong, saya banyak dididik
Pak Freddy Malau, hampir 3 tahun lamanya,” katanya.
Samuel menceritakan, meski dia asli kelahiran Desa Pansur
Napitu, dengan ketertarikannya, kesungguhannya dan kecintaannya akan alat musik
Batak, dia pun meninggalkan tempat asalnya untuk belajar dan belajar.
“Saya sangat mencintai dan ingin mempertahankan alat musik
Batak,” ujarnya. Dia mengaku tak peduli meski kini alat musik itu tidak begitu
diminati masyarakat. Hingga kini dia tetap berkarya dan sudah menyelesaikan
puluhan set tataganing.
“Ada sekitar 40 set sudah saya buat. 8 set di antaranya
dipesan orang untuk dibawa ke luar negeri,” ujarnya. Untuk membuat satu set
tataganing, Samuel membutuhkan waktu satu bulan.
“Bisa cepat jika kayu yang digunakan sudah kering. Kalau
basah, akan memakan waktu, yakni menyetel suara agar nyaring digunakan. Paling
cepat 3 minggu,” ungkapnya.
Ditanya mengenai bahannya, Samuel mengatakan, bahan
utamanya berasal dari pohon pinasa (nangka)
dan pohon jihor. Kemudian, kulit lembu dan hotang untuk pengikatnya. Harga satu
set mencapai Rp6 hingga Rp10 juta, bila dihiasi gorga Batak.
“Untuk kulit lembu, itu saya pesan dari Limbong di Samosir.
Untuk hotang, kita beli dari Parsikkaman, Kecamatan Adiankoting. Bahannya tidak
terlalu sulit ditemukan,” pungkasnya.
Dia menjelaskan, satu set tataganing terdiri dari 6
gendang, yakni Gordang, Odap dan Tingting 4 buah. “Gordang panjangnya 64 cm,
Odap 47 cm dan Tingting masing-masing panjangnya dikurang 1 cm dari ukuran Odap
(46 cm). Sementara, ketebalannya mencapai 1 cm,” terang Samuel.
Selain mahir membuat tataganing, Samuel juga bisa membuat
ukiran boras pati (ukiran cicak), gaja dompak (patung singa), ulu paung (hiasan
gorga pada atas atap rumah Batak) serta tungkot panaluan.
Untuk melestarikan alat-alat musik dan budaya Batak ini,
Samuel berharap Pemkab Taput juga serius memperhatikan dan melestarikannya.
“Kita berharap ada sanggar-sanggar budaya binaan
pemerintah. Saya juga siap mengajari para pelajar bila sanggar sudah ada, ”
ujarnya. (Alfredo Sihombing- Tarutung-Metrosiantar.com)
0 Comments