Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Jubileum 115 Tahun GKPS (Wilayah Satu) Dalam Catatan Apresiasi dan Evaluasi

Janganlah “dirohanikan” Untuk Menutupi Kekurang

Minggu 02 September 2018, lapangan SMP Negeri 1 Pematang Raya dipenuhi umat GKPS yang datang dari empat wilayah distrik GKPS (I, II, III dan IX). Umat datang berbondong-bondong untuk ikut serta dalam ibadah syukur atas lawatan Tuhan kepada bangsa Simalungun melalui berita Injil yang dibawa oleh Misionaris Agus Theis seratus lima belas tahun yang lampau. Foto Pdt Defri Judika Purba STh

Oleh: Pdt Defri Judika Purba STh

Pematangraya-Minggu 02 September 2018, lapangan SMP Negeri 1 Pematang Raya dipenuhi umat GKPS yang datang dari empat wilayah distrik GKPS (I, II, III dan IX). Umat datang berbondong-bondong untuk ikut serta dalam ibadah syukur atas lawatan Tuhan kepada bangsa Simalungun melalui berita Injil yang dibawa oleh Misionaris Agus Theis seratus lima belas tahun yang lampau.

Jemaat ada yang datang dengan menaiki mobil pribadi, pick up, sepeda motor dan berjalan kaki. Jalan raya sepanjang lokasi perayaan penuh sesak dengan berbagai kendaraan jemaat.

Ibadah Raya J-115 Tahun Injil di Simalungun adalah acara puncak dari berbagai rangkaian kegiatan yang dibuat oleh panitia. Sebelum acara puncak telah dilakukan berbagai kegiatan, antara lain: KPI (Kebaktian Penyegaran Iman), yang dilaksanakan di distrik III, Napak Tilas, Karnaval, Donor Darah dan pemeriksaan kesehatan untuk wanita (Pap smeer). Semua rangkaian kegiatan diharapkan menjadi sebuah ingatan bersama akan perayaan J-115 tahun Injil di Simalungun.

Menilik berbagai kegiatan dan acara yang berlangsung ada beberapa catatan sebagai sebuah perenungan dan pengamatan pribadiku untuk pelaksanaan J-115 ini.

1.Apresiasi yang setinggi-tingginya pertama saya sampaikan kepada seluruh jemaat yang hadir. Kehadiran jemaat yang tumpah ruah di lokasi acara ibadah raya J-115 tahun Injil di Simalungun benar-benar sebuah hal yang luar biasa. 

Keluarbiasaan jemaat yang hadir sebenarnya sudah dimulai dari keberangkatan mereka dari rumah. Untuk jemaat yang datang dari wilayah GKPS Distrik III misalnya Haranggaol, Saran Padang, Sidikalang, Tongging- Mariah Dolok dll.

Mereka berangkat tentu dengan sebuah optimisme dan semangat yang luar biasa. Jarak perjalanan menuju tempat acara yang lumayan jauh tentu membuat mereka harus berangkat pagi sekali. Dinginnya cuaca, jarak yang lumayan jauh tidak mereka pedulikan dengan satu tujuan berkumpul dengan orang percaya lainnya. 

Walau ketika sampai di tempat acara J-115 tahun, rasa sukacita dan optimisme kurang disambut dengan baik apa boleh dikata, mereka sudah sampai di tempat, tidak mungkin pulang lagi.

2. Apakah yang dimaksud “kurang disambut dengan baik” dalam kalimat di atas? Ketika jemaat sudah tiba di lokasi perayaan J-115 tahun ternyata tempat pelaksanaan acara tidak ramah menyambut mereka.

Tempat untuk menyandarkan tubuh yang sudah capek sepanjang perjalanan tidak lagi tersedia. Sebelum mereka sampai ternyata sudah banyak jemaat yang berdiri tidak kebagian tempat duduk lagi. 

Seorang inang yang kebetulan membawa anak kecil tentu saja gelisah dengan situasi ini. Membayangkan sepanjang acara dia menggendong anaknya tentu saja adalah pekerjaan yang melelahkan. 

Belum lagi sepasang lansia yang berharap ini adalah Jubileum terakhir yang bisa dia ikuti, berharap akan kebagian tempat duduk, ternyata harus memilih duduk di atas rumput. Ini adalah pilihan yang lebih baik daripada berdiri berdesak-desakan. 

Tempat pelaksanaan acara benar-benar tidak ramah untuk jemaat yang sudah lansia dan yang memiliki anak kecil. Walau demikian kondisinya, toh jemaat yang hadir rela untuk duduk beralas rumput, berdiri berdesak-desakan bahkan berjalan hilir mudik sepanjang acara hanya untuk bisa mengikuti rangkaian ibadah. 

Saya yang melihat mereka dari atas panggung, hanya bisa terdiam merasa bersalah. Tidak sepantasnya mereka dibuat seperti itu. Walau kami berencana memberikan tempat duduk kami kepada mereka, itu juga tidak menyelesaikan masalah, karena tempat duduk kami pun terbatas, tidak cukup untuk mereka. 

Karena itu sekali lagi apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh jemaat yang telah hadir pada perayaan J-115 tahun wilayah I di Pematangraya.

3.Kehadiran jemaat yang membludak pada perayaan ibadah J-115 tahun, menurut saya janganlah “dirohanikan” sebagai cara untuk menutupi kekurang siapan panitia dalam melaksanakan acara ini. 

(Ketersediaan kursi, konsumsi, dan tertib acara). Ada berbagai pendapat yang menyatakan bahwa “ Tuhan bekerja luar biasa dengan mendatangkan dan menggerakkan jemaat untuk hadir” ; “Allah berkuasa dengan membuat cuaca tidak terlalu panas (horlom). 

Kalau melihat data statistik, jumlah jemaat yang hadir itu sebenarnya tidak terlalu banyak. Jumlah jemaat menurut data statistik di distrik I-III & IX adalah: 131.533 Jiwa. Andai jemaat yang hadir pada perayaan Jubileum ada 20.000 jiwa, maka persentase jemaat yang hadir hanya sekitar 15 % saja.

Padahal semua gereja di distrik I-III dan IX menurut surat edaran panitia “ipasada do parmingguan ni “ atau dalam bahasa yang lebih lugas: ditutup. Walau memang kondisi di lapangan tidak semua gereja tutup (alasan surat tidak sampai dll); toh juga kehadiran jemaat tidaklah terlalu banyak menurut jumlah statistik. 

Karena itu kalau ada yang beranggapan jumlah jemaat yang datang sudah membludak itu sebenarnya kurang tepat menurut data. Masih lebih banyak jemaat GKPS yang tidak ikut berjubileum pada saat itu. 

Karena itu, tindakan merohanikan yang terjadi dikaitkan dengan kuasa Tuhan, sah-sah saja dan memang sebagai orang yang percaya kita harus berpikir seperti itu. Tapi katakanlah itu kepada jemaat yang sudah jauh-jauh datang dari Huta Saing, Perdagangan, Sidikalang, Bah Pasussang, Tinggi Saribu yang sepanjang acara harus berdiri terus. 

Katakanlah itu juga kepada jemaat yang berdesak-desakan untuk mengantri makanan walau ujungnya tidak kebagian. Katakanlah itu juga kepada jemaat yang duduk di belakang yang tidak mengetahui apa yang terjadi (sound system payah, layar tidak ada). Apakah kita tega berkata seperti itu, padahal itu karena kita kurang siap dalam menyiapkan segala sesuatu? Apakah hal yang sama kita lakukan, ketika kita berada pada posisi mereka?

4. Walau demikian apresiasi yang tulus juga saya sampaikan secara pribadi kepada seluruh panitia yang telah bekerja dengan sepenuh hati, sekuat tenaga memberikan apa yang mereka miliki untuk kesuksesan acara ini. 

Menjadi panitia untuk event besar seperti ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi pembentukan panitia juga terkesan lambat dan terburu-buru (panitia dibentuk hanya sekitar dua bulan saja sebelum acara). 

Ini tentu menjadi hal yang begitu serius yang menyangkut tentang persiapan semua kegiatan dan program. Padahal kegiatan ini sudah direncanakan masuk pada program se- GKPS pada tahun 2018. 

Program ini sudah diketuk palu oleh MG dan Pimpus satu tahun sebelum acara berlangsung. Keterlambatan pembentukan panitia ini langsung berimbas pada semua kegiatan yang berlangsung. (Acara KPI tidak maksimal, donor darah dan pap smeer tidak banyak orang yang datang). Dukungan untuk pelaksanaan acara ini tidak terlalu maksimal baik dari jemaat dan sebahagian full timer.

5.Dukungan yang kurang maksimal pertama datang dari sebahagian full timer (saya salah satunya). Kenapa? Karena kurang dilibatkan dalam kepanitiaan. Dilibatkan pun hanya sebatas pada persiapan dana yang dikumpulkan dari jemaat-jemaat. 

Panitia yang dibentuk terkesan hanya itu-itu saja. Sudah menjadi panitia pada perayaan Jambore sekolah minggu dua bulan sebelum J-115 tahun, menjadi panitia juga pada acara perayaan J-115 tahun Injil di Simalungun.

Kondisi ini tentu saja berimbas pada semangat memeriahkan J-115 tahun. Rapat-rapat yang diselenggarakan oleh panitia sangat sedikit yang datang padahal ini acara akbar, termasuk dari Full Timer. 

Alasan yang paling banyak adalah surat tidak sampai dll. Tetapi hal yang lebih utama adalah kurang dilibatkannya berbagai kepengurusan dalam perayaan J-115 Tahun ini membuat segala persiapan menjadi terkendala. 

Sungguh miris sebenarnya para Full timer (secara khusus Pdt Resort), peranannya hanya sebagai pengedar stiker, kipas, pengumpul gih-gih dari jemaat. Surat undangan panitia yang mengundang full timer hanya sebatas untuk menyampaikan jumlah jemaat yang hadir dan menyetorkan gih-gih dan hasil penjualan stiker, pembatas Alkitab dan Stiker. 

Lain dari situ tidak ada. Sungguh disayangkan dalam acara selevel Jubileum sa- GKPS, ada praeses di tengah-tengah acara dan di dengar semua jemaat yang hadir, meminta agar resort secara khusus pendeta resort yang belum menyetor dana segera menyetorkannya. 

Haloooooo....ini adalah Jubileum tingkat distrik, acara olob-olob tingkat resort pun tidak ada seperti itu. Masalah persiapan panitia –dana- itu adalah urusan dapur panitia, tidak usahlah sampai semua orang yang hadir menjadi tahu. Kalau ada yang kurang, mari selesaikan di ruang tertutup jangan di ruang publik, sehingga menjadi beban.

6. Konsep tata ibadah menurut saya pribadi “biasa saja” padahal ini sudah level Jubileum. Secara tekhnis tata letaknya kurang rapi, huruf-hurufnya terlalu kecil dan ada yang kabur (lansia susah untuk membacanya), banyak halaman yang padat sementara yang lain kosong tidak berisi. 

Sampul dihias dengan gambar “mikki-mikki” yang secara bahasa simbol kurang menarik bahkan terkesan tidak benar. Ada seorang anak kecil membuka Alkitab dan di belakangnya ada orang tua yang tersenyum. 

Pesan yang disampaikan kalau saya pribadi menafsir adalah kebahagiaan keluarga kristen (baca: GKPS) yang hidupnya selalu bercermin dan belajar tentang Firman Tuhan. Masalahnya menurutku adalah: anak kecil yang membuka Alkitab itu adalah seorang pendeta (dilihat dari pakaiannya). 

Pertanyaannya: apakah sudah ada anak kecil yang menjadi seorang Pendeta di GKPS ini? Bukankah lebih baik sampul ibadah dihias dengan gambar yang hidup - wajah Pimpus GKPS misalnya atau para pendahulu yang merintis PI di Simalungun – daripada gambar mikki-mikki yang tidak benar itu? 

Narasi ibadah belum memunculkan secara kuat pesan Jubileum. Walau ada ruji-ruji tentang Jubileum, tetapi itu tidak tertulis di kertas acara, hanya dibaca oleh satu orang saja (Sekjen). Jemaat hanya mampu menerima dengan indera pendengaran tidak bisa dengan indra penglihatan, sehingga penghayatan tentang ruji-ruji Jubileum menjadi berkurang. 

Saya salah satunya. Saya tidak tahu apa yang disampaikan karena terlalu panjang dan terkesan hanya membaca saja, tidak ada jemaat yang terlibat. Narasi ibadah kurang kaya dengan ibadah inkultratif budaya simalungun dan paparan tentang kuasa Injil di tanah Simalungun padahal –sekali lagi- ini adalah Ibadah Jubileum dimana kreatifitas dan penghayatan theologia GKPS hendaknya dimunculkan dengan kuat. 

Dengan mengikuti narasi ibadah, kita bisa melihat bagaimana sejarah GKPS dalam identitas penghayatan panggilanNya sebagai gereja yang telah menerima kuasa pembebasan Injil seratus lima belas tahun yang lampau.

7.GKPS itu besar, itu adalah kesimpulan saya secara pribadi setelah mengikuti J-115 Tahun Injil di Simalungun. Kebesaran disini menyangkut segala potensi dan karunia yang telah Tuhan titipkan kepada kita semua. 

Kebesaran disini menyangkut tentang pemeliharaan dan perlindungan-Nya kepada umatNya sehingga kita masih utuh dan bangga “mar-GKPS”. Karena itu marilah kita jaga kebesaran nama GKPS dengan tujuan segala aktifitas pelayanan kita semata-mata hanya membuat nama-Nya saja yang besar. Panggung J-115 Tahun Injil di Simalungun adalah panggung kebesaran kuasa Tuhan. 

Tidak boleh seorang pun anak manusia memakai panggung itu untuk kebesaran dirinya sendiri, baik para agamawan terlebih politikus. Panggung J-115 tahun adalah panggung dimana suara dan lawatan Tuhan diperdengarkan.

Sehingga menyentak kesadaran kita akan tugas dan tanggung jawab kita sebagai umat yang telah dibebaskan untuk pergi membebaskan orang-orang yang masih terkurung dipenjara. Melawat orang yang sakit, memberi pakaian kepada orang yang tidak berpakaian.

Memberi makan kepada orang yang lapar dan memberi minum kepada orang yang masih haus dan memberitakan tahun rahmat Tuhan sudah datang kepada orang yang miskin. Jubileum adalah berita pembebasan termasuk pembebasan dari segala motivasi, niat dan ikhtiar dalam kehidupan yang belum seturut dengan rencana-Nya.

8.Tak ada gading yang tak retak, demikianlah peribahasa yang memiliki pesan bahwa tidak ada yang sempurna dalam kehidupan, termasuk juga tulisan ini. Tulisan ini hanya berisi refleksi dan perenungan pribadiku saja sebagai seorang pelayan di pohon anggurNya. 

Dan tentu saja hasil refleksiku ini lahir dari keterbatasan untuk melihat sebuah situasi secara utuh (Holistik). Tulisan ini lahir semata-mata hanya sebagai wujud kecintaan ku tentang GKPS ini dimana saya telah memperoleh banyak berkat rohani dan jasmani. 

Tulisan ini semata-mata hanya sebagai kerinduan saya secara pribadi agar ke depannya kita benar-benar mempersiapkan segala sesuatu dengan matang dan benar. 

Melibatkan segala potensi yang ada, melihat semua orang sebagai subjek bukan objek dan berdoa kiranya melalui semangat Jubileum ini, menandakan bahwa GKPS masih ada dan akan tetap ada karena ada Allah sebagai sumber pembaharu yang akan memperbaharui segala akal budi kita untuk bisa tetap seturut dengan panggilanNya. Salam Jubileum GKPS. Bahapal Raya, 06 September 2018. (*)

Video Karya Teguh Sinaga
 

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments