Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Catatan 118 Tahun Injil di Simalungun, Memulihkan Kemurnian Misi Pelayanan Gereja di Simalungun



Oleh : Radesman Saragih, SSos

 Pengantar

Pekabaran Injil di Simalungun genap 118 tahun 2 September 2021. Setelah satu abad lebih Pekabaran Injil di Simalungun, perkembangan kehidupan religi, sosial budaya dan pembangunan di daerah maupun masyarakat Simalungun tergolong cukup pesat. Namun belakangan ini, misi Pekabaran Injil di Simalungun telah banyak berubah. 
 
Pola-pola Pekabaran Injil di Simalungun tak lagi semurni seperti masa – masa awal Injil ditaburkan di Simalungun. Untuk mengupas kecenderungan perubahan misi Pekabaran Injil di Simalungun tersebut, Redaksi medialintassumatera.com (Matra) menurunkan dua tulisan mengenai perkembangan Pekabaran Injil di Simalungun. Selamat membaca.**** 

Pekabaran Injil yang dimulai 2 September 1903 telah membawa banyak kemajuan bagi warga masyarakat dan daerah Simalungun. Pekabaran Injil telah mampu membebaskan warga Simalungun dari belenggu animisme, kebodohan dan keterbelakangan. Besarnya pengaruh PI di Simalungun tercermin dari peningkatan jumlah warga Simalungun yang menganut Kristen, khususnya menjadi warga Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Selain itu warga masyarakat Simalungun juga semakin jarang yang terbelakang di bidang pendidikan.

Berdasarkan data Susukkara (Almanak) GKPS 2021, total jumlah warga GKPS di seluruh Indonesia saat ini mencapai 224.649 jiwa atau 60.307 kepala keluarga (KK). Warga jemaat GKPS tersebut tergabung dalam 638 jemaat, 148 resort dan 11 distrik. Sedangkan jumlah fulltimer aktif di GKPS saat ini mencapai 420 orang. Fulltimer tersebut terdiri dari pendeta 302 orang, penginjil 78 orang dan vikaris 40 orang. Mereka dibantu sekitar 8.532 sintua (penatua), 6.462 syamas (diaken) dan ribuan pengurus seksi/sektor. Warga Simalungun yang tergabung dalam naungan GKPS tidak hanya berada di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, tetapi juga sudah menyebar ke berbagai wilayah di Sumatera Utara, Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. 

Pesatnya perkembangan PI di tanah Simalungun juga bisa dilihat dari semakin banyaknya gereja dari berbagai denominasi di wilayah Simalungun (Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun). Baik itu gereja denominasi Katolik, Pentakosta, Huria Batak Kristen Protestan (HKBP), Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Gereja Methodist Indonesia (GMI), Gerja Batak Karo Protestan (GBKP) dan gereja lainnya. Warga Simalungun sendiri banyak juga yang tergabung di Gereja Katolik dan GMI.

Sesuai dengan data Biro Pusat Statistik Kabupaten Simalungun jumlah gereja di Kabupaten Simalungun hingga tahun ini sudah mencapai 1.246 gereja, terdiri dari 1.047 gereja Protestan dan 197 gereja Katolik. Sedangkan di Kota Pematangsiantar, jumlah gereja mencapai 288 unit, terdiri dari 189 gereja Protestan dan 29 gereja Katolik.

Sedangkan jumlah umat Kristen di Kabupaten Simalungun mencapai  379.900 jiwa, terdiri dari 308.840 jiwa warga Protestan (termasuk GKPS) dan 71.160 jiwa warga Katolik. Sedangkan jumlah umat Katolik di Kota Pematangsiantar mencapai 129.624 jiwa, terdiri dari Protestan sekitar 113.259 jiwa dan Katolik sekitar 16.365 jiwa.

Pendekatan Humanisme

Pesatnya perkembangan PI di Simalungun tidak terlepas dari kejelian para misionaris asal Jerman melakukan pendekatan-pendekatan terhadap warga masyarakat Simalungun. Pada masa awal PI di era penjajahan ratusan tahun silam ketika warga masyarakat Simalungun masih banyak yang menganut animisme, kehadiran para misionaris banyak mendapat  penolakan.

Menghadapi situasi tersebut, para misionaris pun mengabarkan Injil dengan humanis (rasa kemanusiaan dan kepedulian). Pendekatan humanis tersebut mengutamakan peningkatan pengetahuan, pelayanan kesehatan dan perbaikan ekonomi. Setelah itu para misionaris mengabarkan Injil dan mendapat sambutan warga Simalungun.

Misionaris pertama di Simalungun, Pdt Agust Theis yang pertama kali menjejakkan kaki di Pematangraya, Simalungun, 2 September 1903 melakukan pendekatan humanis dan kebutuhan sosial dengan baik selama mengemban misi PI.

Pendakatan humanis yang diusung Pdt Agus Theis (Rheinische Missionsgesellschaft/RMG) diwujudkan dalam bentuk perhatian terhadap masalah kesehatan dan ketertinggalan pendidikan (pengetahuan) yang dihadapi warga Simalungun. Ketika memulai mengajar baca, tulis dan hitung (calistung) anak - anak sekolah di Pematangraya (1904), Pdt August Theis juga menyediakan obat-obatan untuk orang sakit. Pelayanan tersebut membuat Pdt August Theis lebih cepat diterima warga masyarakat dan Pekabaran Injil yang dilakukannya mendapat respon warga Simalungun. (Pdt Jahenos Saragih, MTh, GKPS dari Mana Mau Ke Mana, 2003).  

Gerakan humanis di bidang kesehatan yang sejak awal digagas Pdt Agust Theis mencapai puncak dengan didirikannya Rumah Sakit (RS) Bethesda GKPS di Seribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun, 15 September 1953. Hingga masa Orde Baru, kiprah RS Bethesda Seribudolok dalam memperhatikan dan meningkatkan kesehatan warga Simalungun dan sekitarnya sangat baik.

Selain warga yang mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik di RS Bethesda Seribudolok, pihak RS Bethesda juga intensif melakukan pelayanan kesehatan ke desa-desa terpencil, termasuk desa-desa pesisir Danau Toba wilayah Simalungun yang hanya bisa dijangkau menggunakan kapal motor dan sampan.

Di era 1970 – 1980 -an misalnya, RS Bethesda Seribudolok sendiri memiliki kapal khusus yang digunakan melakukan pelayanan kesehatan ke desa-desa pesisir Danau Toba di Kecamatan Purba (saat itu) dan Kecamatan Silimakuta. Pelayanan kesehatan yang dilakukan ke desa-desa dengan pola jemput bola tersebut umumnya bersifat preventif (pencegahan penyakit) dan promotif (peningkatan kualitas kesehatan).

Pelayanan kesehatan preventif dilakukan melalui vaksinasi, pemberian vitamin, termasuk obat cacing. Sedangkan pelayanan kesehatan promotif dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan warga, edukasi mengenai gizi keluarga dan pencegahan penyakit.

Sementara itu Pdt Agust Theis dan para misionaris asal Jerman di Simalungun juga memprioitaskan pelayanan pendidikan di tengah misi PI yang diembannya. Pengembangan pendidikan tersebut ditandai dengan pembelajaran terhadap anak-anak dan warga (namaposo) Simalungun. Pembelajaran tersebut diawali tahun 1904 dengan mengajarkan baca, tulis hitung terhadap anak-anak di Pematangraya.

Kemudian para misionaris di Simalungun periode yang sama, seperti Pdt GK Simon yang bertugas di Pematang Bandar, Pdt Guillaume (Purbasaribu), Pdt Wisen Bruch (Parapat), Pdt Samuel Panggabean (Tigaras), Pdt E Muller (Pematangsiantar) juga membuka sekolah-sekolah untuk meningkatkan pengetahuan (sumber daya manusia) warga Simalungun. Melalui pembelajaran tersebut para naposo Simalungun pun bisa menjadi ujung tombak PI di daerahnya sendiri.

Pelayanan pendidikan dalam misi PI di Simalungun terus berkembang. Medio 1915, para misionaris  di Simalungun menirikan “Komite na Rah Marpodah” (Komite Penasehat). Komite ini menyediakan buku-buku bacaan rohani dan umum yang digunakan di gereja dan sekolah-sekolah. Komite ini pun menerbitkan bulletin bulanan sebagai wadah komunikasi dan pencerdasan “Sinalsal”.

Pada kurun waktu yang sama berdiri juga kursus Kongsi Sintua (Kelompok Penatua) di Pematangraya dan Kongsi Laita (ayo kita pergi) di Sondi Raya (1931). Selanjutnya terbentuk juga Parguru Saksi Kristus (PSK) yang secara khusus mempelajari materi theologia. Para lulusan PSK yang mengikuti pendidikan sekitar 10 bulan menjadi pelayan pemberitaan Injil ke desa-desa di Simalungun. PSK pun menerbikan surat kabar bulanan “Pangarah” sebagai pengganti “Sinalsal”. (Hal 4). Berkat intensitas pendidikan tersebut, tahun 1952 sudah ada 114 guru yang dibina GKPS menjadi pengajar di sekolah-sekolah.

Pendirian Yayasan Pendidikan

Puncak misi pendidikan secara umum yang dipelopori para penginjil di Simalungun tersebut ditandai dengan berdirinya Badan Pendidikan GKPS di Sondiraya, Simalungun 6 September 1964 yang selanjutnya menjadi Yayasan Pendidikan GKPS. Setelah berdirinya yayasan tersebut, GKPS mendirikan sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerah-daerah terpencil masa itu. Salah satu di antaranay pendirian SMP GKPS di Desa Haranggaol, Kecamatan Purba. 

Kemudian pendekatan kebutuhan sosial juga diwujudkan Pdt Agust Thais dengan peningkatan pengelolaan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan warga Simalungun. Para penginjil partikelir (tanpa bayaran) pada zaman dahulu juga dibekali keterampilan bercocok tanam dan beternak agar mereka memiliki sumber penghasilan keluarga di tempat pelayanan.

Keterampilan para penginjil partikelir di bidang usaha pertanian, peternakan, perikanan dan pertukangan juga menjadi contoh bagi warga masyarakat Simalungun meningkatkan sumber pendapatan dan gizi keluarga.

Sebagai puncak pengembangan misi pembangun kesejahteraan sosial tersebut GKPS pun membentuk lembaga khusus memperhatikan pembangunan masyarakat, yakni Pusat Pelatihan Pertanian (PSP) di Pematangsiantar. PLP yang kemudian berganti nama menjadi Pelpem (Pelayanan Pembangunan) didirikan 15 Januari 1965.

Pelpem ini menjadi salah satu ujung tombak GKPS meperhatikan berbagai masalah pembangunan di Simalungun. Misalnya pembangunan pertanian, sarana irigasi, sarana air bersih untuk masyarakat dan perhatian pada lingkungan hidup.

Sudah cukup banyak sarana irigasi dan sarana air bersih di Simalungun yang dibangun GKPS. Selain itu Pelpem GKPS juga berjuang di bidang pelestarian lingkungan hidup. Komitmen Pelpem GKPS dalam pelestarian lingkungan tersebutpernah mengantarkan Pelpem GKPS meraih prestasi lingkungan hidup tingkat nasional, tahun 2003. Ketika itu Pelpem GKPS masih dipimpin Aliumri Purba (alumni Sekolah Menengah Atas Negeri Seribudolok 1985).

Pesatnya pengaruh Injil dalam meningkatkan sumber daya manusia juga ditandai dengan tampilnya pemimpin Simalungun, yakni Bupati Simalungun. Sejak era 1985-an, Simalungun sudah dipimpin putra Simalungun sampai sekarang. Kemudian warga Simalungun yang berprestasi di bidang Pendidikan hingga ke tingkat nasional juga sudah muncul, yakni Prof Dr Bungaran Saragih, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), jawa Barat dan pernah menjadi Menteri Pertanian.

Kemudian Prof Dr Bintan Saragih, sang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selain itu salah satu putra Simalungun juga tampil sebagai pemimpin di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PTPN, SP Sidadolog. Di sektor swasta juga tampil warga Simalungun, yakni keluarga St DJ Sinaga, pemilik usaha percetakan besar di Jakarta, CV Sardo. Hingga saat ini tak terhitung lagi putra-putri Simalungun yang sukses di berbagai bidang berkat kemajuan pembangunan sumber daya manusia.

Berbagai prestasi pembangunan di Simalungun yang dicapai GKPS tersebut tentunya bukan hanya hasil kerja para pengurus GKPS  di bidang pelayanan pendidikan dan pembangunan. GKPS cukup berhasil mengemban misi pembangunan sosial, ekonomi dan kerohanian tersebut berkat dukungan seluruh warga jemaat GKPS mulai dari desa hingga ke kota, baik di wilayah Simalungun, Pematangsiantar hingga di perantauan.

Warga GKPS antusias mendukung program-program PI selama ratusan tahun berkat pendekatan humanis yang secara kontisten dipertahankan. Melalui pendekatan humanis tersebut, para misionaris, pelayan dan pengurus di semua tingkatan GKPS  selama ratusan tahun melakukan PI dengan terlebih dahulu memikirkan dan mencari solusi terhadap masalah kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang dihadapi warga jemaat GKPS dan masyarakat Simalungun secara umum.
ILUSTRASI: Ephorus Pdt Dr Deddy Fajar Purba dan Sekjen GKPS Pdt Dr Paul Ulrich Munthe saat melantik Anggota Majelis Sinode Periode 2020-2020. (Foto Kolase YouTube GKPS Channel)

Kondisi Terkini

Memasuki era millenium atau globalisasi saat ini yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan industrialisai, prinsip-prinsip maupun pola-pola PI di Simalungun yang mengutamakan gerakan humanis tersebut semakin tergerus.

Kemajuan zaman yang membuat umat manusia semakin memikirkan materi membuat pola PI di Simalungun juga terpengaruh. Tanda-tandanya bisa dilihat dari program-program kegiatan gereja, pola-pola pelayanan dan sikap perilaku pelayan di GKPS yang semakin meninggalkan prinsip humanis.

Belakangan ini, program-program GKPS cenderung menonjolkan model-model kapitalis yang mengutamakan materi dan fisik dalam kegiatan PI. Hal itu tercermin dari terus gencarnya pembangunan fisik rumah ibadah (gereja) dan fasilitas lainnya GKPS yang menelan dana ratusan juta hingga hingga puluhan miliar rupiah. Sementara pemberdayaan sumber daya manusia dan ekonomi warga jemaat terkesan terabaikan.

Hal tersebut tercermin dari masih jarangnya jemaat, resort dan distrik di GKPS mengadakan program-program pembinaan sumber daya manusia dan peningkatan usaha ekonomi warga jemaat. Baik di GKPS pedesaan maupun perkotaan.

Selain itu, pembangunan fisik di GKPS yang masih terus meningkat membuat kepengurusan di GKPS banyak dipegang para pelayan yang tergolong memiliki materi. Padahal sebenarnya kemampuan manajerial, kepedulian sosial dan pemahaman theologis belum begitu mumpuni. Demi kecepatan pembangunan fisik gereja, warga jemaat yang memiliki kekuatan material (kapital) banyak mendapat dukungan menjadi pemegang tampuk kepengurusan gereja.  Kecenderungan tersebut juga sering membuat gereja agak “mengkultuskan” para pemilik materi di gereja dan mengabaikan warga jemaat yang kurang berpunya.

Fenomena atau gejala pelayanan gereja seperti ini membuat pola-pola PI di Simalungun (baca daerah dan masyarakat) kerap menghilangkan roh kebersamaan. Tampilnya kekuatan warga jemaat atau pelayan berkekuatan ekonomi mapan tersebut membuat penonjolan sikap otoriterisme dan feodalis sering mencuat di tengah gereja.

Misalnya sikap para pengurus gereja yang anti kritik (kurang mau menerima pendapat), selalu mendikte alias mengatur para rohaniawan (fulltimer) dan mengabaikan program-program pemberdayaan sumber daya manusia dan ekonomi warga jemaat.

Kondisi pelayanan dan PI yang mengutamakan materi dan bersifat kapitalistik tersebut sudah banyak membuat para pelayan dan warga jemaat biasa menarik diri dari kegiatan-kegiatan pelayanan. Sikap tersebut tercermin dari berkurangnya partisipasi pelayan dan warga jemaat biasa dalam kegiatan persekutuan, kesaksian dan pelayanan di gereja masing-masing. Bahkan tak jarang para pelayan dan warga jemaat yang terabaikan atau bahkan terpinggirkan di GKPS bisa “menyeberang” ke gereja lain yang dinilainya lebih memperhatikan keberadaannya.

Pola-pola pelayanan di GKPS yang bersifat kapitalis juga cenderung meningkat. Pola pelayanan tersebut tercermin dari pelayanan yang mengutamakan peningkatan materi untuk pembangunan fisik gereja. Pelayanan yang mengutamakan peningkatan material dan fisik tersebut membuat pelayanan bersifat humanis seperti kegiatan-kegiatan diakonia sosial  kerap terabaikan.

Selanjutnya gaya pelayanan dan sikap perilaku para pelayan GKPS di era millennium ini juga semakin banyak yang mengarah kepada gaya primordialis. Hal tersebut nampak dari kegiatan-kegiatan periodesasi hingga penunaian tugas-tugas kepengurusan di gereja.

Sudah menjadi rahasia umum di GKPS belakangan ini, bahwa di setiap periodesasi kepemimpinan/kepengurusan sering muncul praktik-praktik politik praktis bergaya kapitalis dan feodalis. Praktik itu tergambar dari seringnya terjadi “kampanye – kampanye” terselubung hingga terbuka dalam pemilihan pengurus dan pemimpin di GKPS.

Terkadang pada periodesasi muncul gerakan persekongkolan menggelar black campaign (kampanye) hitam untuk “menyingkirkan” kader-kader pemimpin dan pengurus berkualitas. Kampanye-kampanye seperti ini kerap pula diiringi dugaan-dugaan money politic (politik uang), nepotisme  dan “suap” menjelang pemilihan hingga pasca pemilihan. Terkadang ambisi-ambisi pribadi dalam pemilihan kepengurusan ini juga mengabaikan kapasitas dan budi pekerti sosok yang akan dipilih.

Perubahan PI di Simalungun bersifat kapitalis juga bisa dilihat dari munculanya gaya-gaya pelayanan yang mementingkan diri sendiri. Hal tersebut ditandai dengan minimnya program-program pelayanan terhadap warga jemaat yang mengalami pergumulan ekonomi, kesehatan dan pendidikan.  

Kalangan rohaniawan di GKPS juga masih banyak yang belum maksimal merancang hingga melaksanaan program-program pemberdayaan ekonomi warga jemaat. Pelayanan-pelayanan yang diberikan banyak terlalu terfokus pada rutinitas peribadahan. Warga jemaat GKPS yang mengalami keterpurukan ekonomi masih banyak yang kurang mendapat petunjuk perbaikan kehidupan ekonomi dari para rohaniawan.

Pola pelayanan seperti ini sering membuat warga jemaat GKPS yang kurang mapan secara ekonomi sering meninggalkan persekutuan, kesaksian dan pelayanan. Mereka fokus bertarung menyelamatkan perekonomian keluarga. Situasi ini sering dimanfaatkan pihak-pihak gereja lain untuk merekrut warga jemaat GKPS yang terabaikan tersebut menjadi warga mereka.

Khusus wilayah perkotaan, tidak jarang warga jemaat GKPS yang kurang stabil secara ekonomi dan kurang dipedulikan. Ketika ekonomi warga jemaat tersebut sulit, sangat jarang ada topangan dari kepengurusan gereja. Fenomena tersebut belakangan ini membuat warga jemaat GKPS di perkotaan pindah gereja atau pulang kampung.

Menilik Kegamangan Gereja Simalungun Hadapi Pandemi Covid-19

Kecenderungan penerapan pola pelayanan bergaya kapitalis, feodalis, primordialis dan hedonis di tengah Pekabaran Injil di Simalungun belakangan ini membuat kalangan rohaniawan kurang mampu melakukan terobosan dalam penanggulangan masalah keuangan jemaat dan GKPS secara umum. Hal tersebut sedikit tergambar dari krisis keuangan yang dialami GKPS di masa pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 – 2021 ini.

Kalangan rohaniawan sepertinya “putus kamus” atau seolah gamang alias bingung meningkatkan pendapatan GKPS akibat keterpurukan ekonomi sebagian besar warga GKPS di tengah pandemi Covid-19. Dengan alasan pandemi Covid-19, para rohaniawan GKPS kurang berani melakukan terobosan menghimpun dana melalui pesta-pesta kuria seperti sebelum pandemi Covid-19.

Padahal semestinya, di tengah kesulitan ekonomi warga jemaat yang berpengaruh pada pendapatan GKPS, di situlah kalangan rohaniawan melakukan terobosan, menjadi “penyelamat” bagi gereja menggalang kebersamaan dan kepedulian menopang keuangan GKPS.  Penggalangan dana pelayanan gereja di tengah pandemi dapat dilakukan dengan memanfaatkan kegiatan-kegiatan berbasis digitalisasi (media social/media digital).

Beberapa rohaniawan dan gereja GKPS di berbagai daerah perkotaan memang masih ada yang berupaya melakukan terobosan menggalang persembahan melalui berbagai cara di tengah pandemi Covid-19. Di antaranya menggelar pentas religi dan hiburan secara virtual (live streaming) untuk menghimpun dana pembangunan gereja maupun pelayanan diakonia gereja. 

Program-program live streaming di tengah pandemi Covid-19 yang dilakukan beberapa gereja perkotaan, perkumpulan budaya Simalungun dan artis Simalungun  cukup mampu menghasilkan pendapatan bagi gereja. Selain itu masih ada rohaniawan GKPS yang berjuang menghimpun dana dari berbagai pihak untuk menyumbangkannya kepada warga jemaat yang berkekurangan atau terdampak Covid-19.

Sedangkan sebagian besar gereja GKPS, baik di tingkat jemaat, resort dan distrik belum sepenuhnya melirik terobosan penggalangan dana dan pelayanan melalui pemanfaatan digitalisasi tersebut. Banyak gereja GKPS di tingkat jemaat, resort dan distrik terkesan pasrah saja menghadapi situasi kesulitan ekonomi dan pelayanan di tengah pandemi Covid-19.
ILUSTRASI: GKPS Hutaimbaru, Resort Tongging Distrik XI. (Foto: Asenk Lee Saragih)

Jemaat Desa Terabaikan

Pekabaran Injil di Simalungun belakangan ini tampaknya juga memunculkan fenomena pengabaian pembinaan sumber daya manusia dan peningkatan ekonomi jemaat GKPS wilayah pedesaan. Potensi-potensi sumber daya manusia, sumber daya alam dan ekonomi jemaat GKPS di wilayah pedesaan atau sentra-sentra pertanian kurang mendapat perhatian dari kepengurusan-kepengurusan GKPS. Padahal jumlah warga jemaat GKPS di wilayah-wilayah pertanian dan perkebunan cukup banyak.

Saat ini sekitar 120.409 jiwa atau 53,60 % dari total 224.649 jiwa warga jemaat GKPS berada wilayah pertanian dan perkebunan. Mereka tersebar di lima distrik wilayah Kabupaten Simalungun dan sekitarnya, yakni Distrik II, III, IX, X dan XI. Jika potensi sumber daya manusia dan ekonomi warga jemaat di sentra-sentra pertanian dan perkebunan tersebut diberdayakan secara optimal, tentunya sumber pendapatan GKPS dari persembahan mereka cukup besar. 

Namun kenyataan selama ini, potensi ekonomi warga jemaaat GKPS di wilayah pedesaan yang mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan sebagai sumber pendapatan tersebut kurang dimanfaatkan. Konsekuensinya, perekonomian jemaat GKPS di pedesaan juga kurang bekembang selama pandemi. Alhasil, kontribusi mereka juga terhadap GKPS melalui penghimpunan persembahan relatif kurang.

Pengamatan penulis di GKPS wilayah desa-desa terpencil di pesisir Danau Toba, Kabupaten Simalungun, kontribusi warga jemaat untuk menopang keuangan GKPS kurang maksimal. Kemudian kehadiran warga jemaat GKPS di desa-desa untuk beribadah di gereja maupun di rumah-rumah umumnya rendah. Kondisi demikian membuat persembahan warga jemaat untuk gereja pun tak bisa terhimpun sebagaimana mestinya.

Rendahnya kehadiran beribadah dan kontribusi melalui persembahan warga jemaat di desa-desa tersebut dipengaruhi kurangnya program-program jemaat setempat dalam memberdayakan warga jemaat. Baik itu pemberdayaan di bidang sumber daya manusia atau pelayanan sosial maupun pemberdayaan ekonomi.  Para pengurus gereja di pedesaan masih banyak yang mengutamakan rutinitas kegiatan – kegiatan ritual.

Hal itu tercermin dari kegiatan jemaat GKPS di daerah pedesaan yang hingga kini masih cenderung terfokus pada peribadahan semata. Sedangkan pemberdayaan sosial melalui penguatan kelompok – kelompok solidaritas sosial masih kurang. Kemudian pembinaan di bidang usaha-usaha ekonomi produktif bagi warga jemaat di desa-desa masih kurang diperhatikan kepengurusan jemaat GKPS pedesaan. Padahal sejatinya, GKPS memiliki misi di bidang pemberdayaan kemandirian ekonomi jemaat. 

Sebenarnya jika jemaat GKPS di wilayah Simalungun memiliki unit-unit usaha ekonomi produktif selama ini, misalnya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pemberdayaan ekonomi jemaat GKPS pedesaan juga bisa dioptimalkan selama pandemi. Melalui UMKM, warga jemaat GKPS pedesaan bisa mendapatkan bantuan stimulan usaha ekonomi produktif dari Pemerintah Pusat. 

Bantuan Pemerintah Pusat untuk UMKM di seluruh Indonesia tahun 2020 mencapai Rp 2,4 juta/unit UMKM. Kemudian bantuan tahun 2021 sebesar Rp 1,2 juta/unit UMKM. Selain itu tahun ini juga masih ada bantuan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk usaha-usaha ekonomi kecil di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif. 

Seandainya setiap GKPS di Simalungun memanfaatkan bantuan tersebut melalui UMKM jemaat, tentunya bantuan tersebut bisa dimanfaatkan mengembangkan usaha dan meningkatkan pendapatan warga jemaat. Peningkatan pendapatan warga jemaat tersebut tentunya secara signifikan juga bermanfaat menopang keuangan GKPS. Tetapi peluang-peluang usaha ekonomi produktif untuk warga jemaat GKPS di pedesaan tersebut kurang dimanfaatkan.

Selama pandemi Covid-19 ini misalnya, GKPS di desa-desa terpencil di pesisir Danau Toba dan daerah pelosok pegunungan masih kurang tersentuh pelayanan GKPS. Vaksinasi misalnya. GKPS sebetulnya memiliki lembaga pelayanan kesehatan, yakni RS Bethesda. RS tersebut bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah melakukan vaksinasi massal ke desa-desa terpencil di Simalungun. Namun peluang tersebut tampaknya kurang dilirik.

Selain itu, sosialisasi mengenai protokol kesehatan (prokes) juga sebenarnya bisa diintensifkan kepengurusan GKPS tingkat resort ke jemaat – jemaat agar warga masyarakat Simalungun patuh protokol kesehatan, yakni 5M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas. Tetapi tanggung jawab sosial tersebut juga kurang direspon.

Pengamatan penulis selama pandemi, belum seluruhnya jemaat GKPS mampu menjadi pionir penanganan Covid-19 di wilayah Simalungun. Hal tersebut tercermin dari masih banyaknya warga Simalungun (termasuk warga GKPS) yang tidak divaksinasi hingga Agustus 2021 dan banyaknya warga Simalungun kurang patuh protokol kesehatan.

Sebelum terjadi gelombang kedua pandemi Covid-19 di Tanah Air tahun ini, warga Simalungun (termasuk jemaat GKPS) juga masih banyak yang melakukan acara-acara pesta yang menimbulkan kerumunan. Kondisi demikian membuat daerah – daerah terpencil di Simalungun juga ada yang terimbas Covid-19.

Orientasi Kota

Selama ini GKPS lebih cenderung memberikan pelayanan optimal di daerah-daerah perkotaan. Kepengurusan GKPS mengutamakan jemaat di perkotaan karena warga jemaat GKPS di perkotaan relatif memiliki kontribusi lebih besar terhadap kegiatan dan kebutuhan ekonomis gereja.

Warga jemaat GKPS perkotaan umumnya memiliki pendapatan yang memadai. Mereka banyak bekerja disektor jasa (swasta), perkebunan kelapa sawit, perdagangan dan pemerintahan. Selain itu sumber daya warga jemaat di wilayah perkotaan selama ini juga lebih memadai. Kekuatan ekonomi yang berpadu dengan kualitas sumber daya manusia tersebut membuat kesadaran warga jemaat perkotaan memberikan kontribusi tenaga, pikiran dan materi untuk pelayanan GKPS cukup signifikan.

Warga jemaat GKPS yang berada di wilayah perkotaan saat ini mencapai 90.813 jiwa atau 40,42 %. Mereka tergabung dalam 264 jemaat atau 41,38 % dari total 638 jemaat di seluruh GKPS. Warga GKPS di perkotaan umumnya berada di wilayah Distrik I, IV, V, VI dan VII. Warga jemaat daerah perkotaan tersebutlah yang menjadi penggerak utama pelayanan dan keuangan jemaat GKPS.

Melihat potensi sumber daya manusia dan ekonomi jemaat di perkotaan tersebut cukup tinggi, GKPS pun seolah mencari cara mudah mengandalkan GKPS perkotaan untuk penopang kekuatan pelayanan dan ekonomi. Bahkan warga jemaat berkekuatan ekonomi memadai di perkotaan menjadi penopang utama pelayanan GKPS. Mereka selalu menjadi penyumbang (donatur utama) kegiatan-kegiatan besar di tengah GKPS, baik itu pesta-pesta dan pembangunan gereja (rumah ibadah).

Bahkan tak jarang, warga jemaat yang memiliki potensi ekonomi besar (pejabat dan pengusaha) di perkotaan menjadi donatur abadi di GKPS. Mereka selalu menjadi andalan memberikan sumbangan untuk pembangunan gereja dan pesta-pesta GKPS. Kondisi tersebut sebenarnya tidak baik. Masalahnya, mengandalkan beberapa sumber penopang dana di tengah gereja bisa membuat warga jemaat lainnya “lepas tangan” atau kurang responsif memberikan sumbangan.

Kemudian sistem donatur abadi yang selama ini terjadi di GKPS juga bisa membuat kelompok-kelompok donator menjadi “penguasa” di tengah gereja. Mereka mendominasi kebijakan – kebijakan pelayanan di tengah gereja karena mereka menjadi penopang utama dana. Padahal sejatinya, konsep-konsep pelayanan mereka kurang sesuai dengan konsep-konsep pelayanan di GKPS yang mengutamakan kebersamaan, kegotong-royongan dan kemandirian jemaat.

Kenyataan selama ini juga menunjukkan, tidak sedikit para “donatur tetap” GKPS harus disanjung-sanjung dan dihormati secara berlebihan. Terkadang donatur tetap tersebut dijadikan menjadi pejabat gereja. Rohaniawan pun sering lebih “takut” kepada pejabat dan donatur abadi di gereja ketimbang takut tidak melaksanakan aturan-aturan gereja. Sebaliknya, seseorang yang memiliki kekuatan ekonomis di gereja harus menjadi pejabat penting terlebih dahulu baru mau memberi kontribusi untuk pembangunan gereja.

Padahal sejatinya, topangan persembahan atau donasi untuk pelayanan dan pembangunan gereja harus dilakukan secara bersama-sama. Kendati jumlah persembahan berbeda sesuai dengan kondisi ekonomi, namun semuanya memberi dengan suka cita, ikhlas dan sukarela demi kemuliaan Tuhan bukan kemegahan pribadi atau kelompok yang menjadikan kepengurusan di gereja sebagai dinasti marga dan kelompok sosial.

Seperti kata St Radiapoh Hasiholan Sinaga, SH (Bupati Simalungun) ketika beribadah di GKPS Jambi Februari 2021, pembangunan gereja jangan mengandalkan seseorang saja yang dianggap memiliki kekuatan ekonomi besar di GKPS. Bila hal tersebut terjadi, warga jemaat yang dijadikan “donator utama” tersebut bisa juga pada akhirnya kewalahan. Untuk membangun gereja atau apapun kegiatan pelayanan di tengah gereja, semua warga jemaat harus berkontribusi secara maksimal.

Hal senada juga diakui Pdt Daniel Saragih, STh. Dalam tulisannya berjudul “Memberi Secara Kristen”, Pdt Daniel Saragih menyebutkan, pemberian persembahan atau donasi kepada gereja bukan hanya rutinitas melalui penyisihan sedikit penghasilan warga jemaat pada setiap kesempatan seperti pesta-pesta gereja.

Pemberian persembahan atau donasi ke gereja hendaknya selalu didasari kasih dan suka cita dengan tujuan menopang dan menguatkan gereja (saudara seiman). Persembahan atau donasi ke gereja bukan juga menjadikan seseorang menjadi donator tetap di gereja. Tetapi yang terpenting bagaimana supaya warga jemaat secara keseluruhan bersikap murah hati, menyisihkan penghasilannya untuk pembangunan jemaat/gereja.

Hilang Subsidi Silang

Sebelum pandemi Covid-19, sistem pelayanan dan penghimpunan kekuatan ekonomi yang dilakukan GKPS tersebut memang cukup mampu menopang keuangan GKPS. Besarnya kontribusi GKPS perkotaan terhadap GKPS menjadi andalan kendati kontribusi GKPS dari pedesaan kurang optimal. Jadi kekuatan sumber daya dan ekonomi warga jemaat menutupi kekurangan kelemahan sumber daya dan ekonomi jemaat pedesaan. Istilahnya GKPS selama ini masih mampu melakukan subsidi silang antara GKPS yang memiliki kekuatan sumber daya dan ekonomi di perkotaan dengan jemaat GKPS di pedesaan.

Namun di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih 1,5 tahun, kekuatan sumber daya dan ekonomi jemaat GKPS perkotaan tidak lagi sepenuhnya diandalkan memberikan kontribusi menopang kegiatan GKPS di tingkat pusat dan pedesaan. Masalahnya, pandemi membuat ekonomi jemaat perkotaan banyak yang terdampak pandemi. Perusahaan-perusahaan besar, menengah dan kecil banyak tutup. Kondisi tersebut membuat warga jemaat banyak yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan.

Besarnya dampak pandemi terhadap perekonomian jemaat GKPS di perkotaan membuat kondisi keuangan jemaat, resort, distrik di perkotaan rapuh. Hal itu berpengaruh juga terhadap kondisi keuangan GKPS di tingkat pusat. Situasi sulit tersebut menyebabkan GKPS pusat dan beberapa GKPS perkotaan pun mengalami defisit. Artinya pengeluaran tidak sebanding lagi dengan pendapatan. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi kemerosotan ekonomi jemaat di perkotaan, melainkan juga dipicu terhentinya kegiatan ibadah tatap muka di gereja dan rumah-rumah.

Seandainya pemberdayaan sumber daya dan ekonomi jemaat GKPS di pedesaan dilakukan seoptimal mungkin selama ini, GKPS masih mampu mengatasi kesulitan sumber daya pelayanan dan keuangan. Dikatakan demikian karena selama pandemi, ketahanan ekonomi daerah-daerah pertanian dan perkebunan lebih kuat dengan daerah-daerah perkotaan.

Nah, menyikapi kondisi keprihatinan yang dihadapi GKPS di tengah pandemi ini, pola-pola Pekabaran Injil (Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan) di seluruh jemaat GKPS harus kembali kepada pola humanis. Pelayanan di GKPS hendaknya kembali berorientasi pada kepedulian sosial, pemberdayaan sumber daya manusia dan ekonomi jemaat.

Seperti diungkapkan Pdt Jas Damanik, STh dalam tulisannya “Pengaruh GKPS di Simalungun serta Arah Kebijaksanaan dan Strategi Pengembangannya”, sejak manjae (memisahkan diri dari) Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), GKPS teurus berupaya membebaskan warga masyarakat Simalungun dari keterbelakangan, kebodohan, penyakit dan kesejahteraan.

Misi itu terus diusung agar GKPS mampu menjadi Gereja yang mandiri dalam segi, pelayanan, termasuk keuangan. Untuk itu GKPS di masa awal berpisah dari HKBP mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari tingkat SD – SLTA. Komitmen GKPS meningkatkan pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan.

Selain itu  GKPS juga mendirikan lembaga pelayanan kesehatan, yakni RS Bethesda Seribudolok. Sedangkan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan pertanian, GKPS mendirikan Lembaga Pelayanan Pembangunan (Pelpem). Sejak 1990 – 2000, program peningkatan pendidikan, kesehatan dan pembangunan ekonomi tersebut juga terus menjadi prioritas GKPS.

Lembaga pendidikan, kesehatan dan pembangunan GKPS tersebut perlu terus diberdayakan untuk meningkatkan kualitas sumberdya manusia dan usaha ekonomi produktif seluruh warga jemaat GKPS, khususnya di pedesaan. Peningkatan ekonomi warga jemaat GKPS, khususnya di daerah pedesaan (Simalungun) dapat dilakukan melalui pembinaan, penyegaran dan pelatihan keterampilan demi peningkatan ekonomi warga jemaat. Peningkatan sumber daya manusia dan ekonomi jemaat tersebut akan mampu menopang pelayanan dan keuangan GKPS di segala tingkatan.

Kalau sumber daya dan ekonomi seluruh warga jemaat GKPS kuat, tentunya ekonomi jemaat secara umum juga akan kuat. Jika kekuatan ekonomi warga jemaat yang kini mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan sebagai sumber utama penghasilan kokoh, tentunya kekuatan ekonomi GKPS di semua tingkatan juga akan kokoh.

Selain itu, perubahan pola PI di Simalungun yang dalam sekian ratus tahun mengedapankan prinsip humanis dan mengarah kepada gaya pelayanan kapitalis – feodalistik tentunya tidak bisa dibiarkan.  Bila para pelayan, pengurus dan rohaniawan di GKPS masih terus mengedepankan sifat-sifat kapitalis – feodalistik, hal tersebut tidak baik dalam perkembangan PI di Simalungun ke depan.

Gaya-gaya pelayanan kapitalis – feodalistik akan membuat jabatan-jabatan pelayanan/kepengurusan di GKPS akan tetap dimanfaatkan menjadi pentas kekuasaan, bukan ladang pelayanan. Keadaan tersebut tidak baik bagi perkembangan GKPS di era milenium ini. Masalahnya kalangan generasi muda Simalungun saat ini yang menjadi penerus PI di GKPS di masa mendatang membutuhkan pola-pola pelayanan bernuansa humanis.

Pola pelayanan humanis dalam PI di Simalungun seperti diterapkan para misionaris di Simalungunn sejak dahulu kala perlu dihidupkan kembali agar sifat-sifat egois, materialis, individualis dan hedonis di kalangan warga dan pelayanan GPKS di masa mendatang bisa dikikis habis. Pembangunan sifat kepedulian, kebersamaan dan kekeluargaan di tengah GKPS perlu dikembangkan agar GKPS bisa terus mengemban misi menjadi gereja yang pembawa berkat dan peduli di masa – masa kini dan masa depan.

Jadi di masa mendatang, pelayanan di GKPS diharapkan tidak lagi mengacu pada paradigma kapitalis yang hanya mengandalkan pelaku-pelaku ekonomi kuat, pejabat dan penguasa pemerintahan sebagai sumber penopang kekuatan ekonomi  gereja. Visi GKPS sebagai pembawai berkat dan peduli harus direalisasikan secara nyata melalui peningkatan ekonomi seluruh jemaat, peningkatan semangat kegotong-royongan dan mengembangkan aksi-aksi sosial.

Untuk itu penguatan sumber daya, solidaritas dan ekonomi jemaat di sentra-sentra produksi pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan harus diintensifkan di seluruh jemaat GKPS pedesaan. Kemandirian ekonomi seluruh jemaat GKPS di pedesaan dipadu dengan kontribusi jemaat GKPS di perkotaan akan mampu menopang kekuatan ekonomi GKPS pusat, distrik, resort dan jemaat. Melalui pola pelayanan seperti itu, tidak ada lagi pemikiran dan pelayanan yang berprinsip subsidi silang antara jemaat ekonomi kuat dan lemah.

Jika semua jemaat GKPS memiliki pondasi iman, pengetahuan, keterampilan, solidaritas dan ekonomi yang kuat, baik di desa maupun di kota, GKPS akan bisa memiliki pondasi pelayanan yang kuat juga. Bila hal tersebut bisa diwujudkan, GKPS akan tetap eksis di tengah berbagai tantangan di masa mendatang. Kemudian PI di Tanah Simalungun dan di kalangan warga masyarakat Simalungun di mana pun berada akan tetap berkelanjutan atau tidak sampai mentok seperti saat pandemi sekarang.***

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments