Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Pangdam ( Pangulu Damak )

Pangdam ( Pangulu Damak ). (Foto FB Jack Manro)

Pamatangraya, BS-
Mantan Pangdam yang satu ini, memang tidak sampai berpangkat jendral, walau relasinya tidak sedikit yang jendral. Ia juga tidak memiiiki pasukan penjaga untuk keamanan di rumahnya. Tapi popularitas dan sepak terjangnya, tidak kalah popuier dengan Pangdam yang sesungguhnya. Banyak cerita gaib dan berbau mistik, yang mengitari riwayat kehidupannya. 

Adalah Tambah Tuah Saragih, atau lebih akrab dipanggil Oppung memang tergolong tokoh Simalungun yang langka. Namanya justru berkibar di luar tempat kelahirannya. Simak penuturan (sebagian) pengalaman hidupnya kepada Suara Insani.

Di Sumatera Utara, pernah muncul guyon: ada dua Pangdam yang masing–masing mempunyai markas berbeda. Yang satu di Kodam Bukit Barisan Medan, yang satunya di Dusun Damak, Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. 

Tapi harap dicermati. Pangdam yang bermarkas di Dusun Damak ini hanyalah sebutan populer bagi orang sipil yang bernama Tambah Tuah Saragih (74). Panghulu artinya kepala desa, sedang Damak adalah nama dari sebuah dusun yang menjadi bagian dari Desa Sondi Raya, tempat kelahiran dan kediamannya. 

Tambah Tuah Saragih memang kepala desa Sondi Raya periode 1946 – 1976. Sebagai mantan panghulu, kepopulerannya kerap dihubungkan dengan cerita-cerita mistik berbau gaib yang selalu jadi bahan pembicaraan hangat di masyarakat. 

Coba anda bayangkan. Ia misalnya pernah digunjingkan mampu menggetarkan markas polisi Si­malungun karena marah melihat perilaku polisi yang asal main tangkap warganya. Yang lebih dahsyat barangkali ketika beredar cerita bahwa ia mampu menarik mobil yang jatuh ke jurang hanya dengan menggunakan seutas tali benang !

Silakan Anda percaya atau tidak. Kepada Suara Insani sendiri, Oppung, begitu panggilan akrabnya, menuturkan pengalamannya membantu menarik traktor seberat 12 ton yang terjerembab di lumpur. Alat derek sudah dicoba berkali-kali menarik, tapi gagal. 

Bupati Simalungun waktu itu, Rajamin Purba, akhirnya datang minta bantuan kepadanya. Harap diketahui. Ketika itu, akan ada rombongan menteri yang hendak melewati jalan tersebut. Jadi soal mesin traktor yang terjerembab, jelas bukan pemandangan yang pantas disuguhkan untuk tamu yang terhormat. Si Oppung, waktu itu hanya men­jawab: “Besok pukul sebelas sudah bisa dipindah traktor itu” .

“Aku sendiri heran, kenapa waktu itu aku bisa men­jamin demikian”, ujar Oppung sambil mengenang pe­ristiwa itu. Jadi apa yang dilakukan oleh si Oppung pada malam hari sebelum ia ‘action’ ? “Aku berdoa khusuk. Aku bilang, jangan bikin malu aku Tuhan, sebab aku sudah janji sama bupati”.

Esok paginya, dihadapan ban­yak orang kampung dan tentara, Oppung pun turun lokasi. Sebelum ‘mendemonstrasikan’ kekuatannya, ia pun berdoa. Dan ajaib, selesai berdoa, ketika kakinya menjejak ke tanah berlumpur, pundaknya ditempelkan di traktor dan tangannya menolak traktor itu, maka perlahan traktor itu mulai bergeser. Sorak-sorai pun bergemuruh dari orang-orang yang menonton.

Peristiwa itu sempat diabadikan oleh seorang wartawan harian lokal melalui jepretan kamerariya. Hanya sayang hasil jepretan itu kosong sama sekali ketika dicetak. Sekali lagi, Anda boleh percaya, boleh tidak.

Yang pasti, setiap ada pergantian pejabat baru di Simalungun, mulai dari tingkat camat, komandan korem, walikota sampai bupati, si Oppung biasanya jadi sibuk menerima mereka. Lho, apa pasalnya? Ternyata sebagai tokoh Simalungun yang langka, si Oppung masih suka dimintai ‘restu’ oleh mereka. Tak heran jika rumahnya di dusun Damak pun berpenampilan seperti rumah pe­jabat di kota. Maklum, tamunya juga bukan sembarangan tamu.

Ia juga laris didatangi oleh orang-orang yang sakit. “Semua yang sakit, punya masalah keluarga, masalah kerja, motornya sering terlanggar, korban perampokan, semuanya aku bantu”, ujarnya. Pun mereka yang sakit karena diganggu mahluk yang tidak kelihatan.

Pernah misalnya ada seorang pekerja sosial wanita dari Jerman tinggal di Saribudolok. Ketika pindah ke Aceh karena ikut suaminya, yang juga orang Jerman harus, mengajar di sana. la kerap terbangun malam hari. Mendapat mimpi buruk dan merasa didatangi mahluk halus. Ke­jadian tersebut terjadi berulang-ulang. 

Akibatnya fisik perempuan itu terganggu; sakit-sakitan. Ketika dibawa ke Oppung, si bule hanya disarankan agar tidak men­dekati daerah tertentu di Aceh yang selama ini kerap dikunjunginya. Rupanya ‘resep’ tersebut manjur. Mimpi buruk, tak lagi kerap mendatangi si bule. Maka ketika si bule ini pulang kampung, sebuah jam tangan dan mesin kalkulator dihadiahkan kepada si Oppung.

Ketika ditanya apa rahasinya sehingga bisa menyembuhkan berbagai macatn penyakit, dengan enteng ia menjawab. “Perkara sembuh atau tidak penyakit itu, tergantung rejeki orang tersebut. Kalau Tuhan mengatakan sembuh, maka sembuh orang itu,” jawabnya. Bagaimana soal obatnya? “Obat apapun kalau memang sudah rejekinya orang tersebut, bisa untuk menyembuhkan. 

Contoh, ada orang yang tidak bisa jalan, datang ke sini. Kebetulan karena ada rejekinya, maka daun sirih saja sudah jadi obatnya”, katanya. la menolak kalau dikatakan sebagai orang sakti. Padahal, ia pernah digossipkan tak mempan oleh terjangan peluru kalau sudah mengenakan pakaian serba hitam.

Oppung memang sebuah figur yang unik. Ketika masih menjabat sebagai kepala desa, ia juga tidak segan- segan untuk melabrak atasannya yang paling atas, yakni bupati.”Aku berani karena untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi”, ujarnya. Terkesan, ia memang seperti tak pernah kenal rasa takut.

Ketika Bupati Simalungun dijabat oleh T.P.R. Sinaga, la misalnya pernah menyenggaknya karena air irigasi tidak mengairi sawah warganya. “Ngamuk aku di kantor Camat sama bupati, juga sama ketua DPRD. Aku katakan kamu wakil rakyat jangan hanyamakan gaji saja, tapi tidak memperjuangkan rakyat”, tuturnya dengan intonasi suara yang kalem.

la juga punya pengalaman lain yang tidak kalah menarik pula. Pernah sungai bagian hulu dikampungnya diambil batu-batu cadasnya oleh sebuah penusahaan swasta. Setiap hari tidak kurang 6 buah truk hilir mudik mengangkut batu-batu cadas tersebut. 

Sudah tentu aspal jalan kampungnya banyak yang bocor. Berlubang-lubang dan rusak parah. “Aku kemudian datangi bupati, minta bantuan untuk menyetop usaha pengambilan batu itu, kalau tidak aku akan selesaikan dengan caraku sendiri”, ceritanya.

Malam harinya, dengan cara bergerilya ia memasang patok di tengah jalan sehingga truk truk tersebut tidak bisa lewat. Keesokan harinya berdatangan orang-orang berseragam hijau dan coklat. Mereka mencari warga desa yang memasang palang itu. Tambah Tuah Saragih pun maju. Mereka bilang supaya ia tidak ter­lalu bersikap keras.

“Aku bilang sama mereka, mati pun di sini aku tidak apa­-apa karena aku berbuat semua ini demi rakyat”, ceritanya. Hanya dua hari ke­mudian truk-truk itu pun berhenti meng­gali batu cadas.

Apa sebenarnya rahasia dibalik keberanian dan kisah-kisah tak masuk akalnya tersebut? “Berani dan jujur. Yesus kan mati karena jujur”, ujarnya mengemukakan prinsip hidupnya. “Saya tidak sakti. Saya tidak takut terhadap apapun dan siapapun karena yang saya lakukan benar dan untuk rakyat”, ujarnya mantap. 

La1u ia memberi contoh. Pernah datang seorang dokter yang stress akibat jabatannya tidak naik sebagai kepala sebuah jawatan, padahal ia sudah tergolong senior. Yang diangkat justru dokter yang lebih yunior. Si dokter meminta kepada Oppung untuk membunuh dokter saingannya. 

“Aku ben­tak dokter itu, tapi ia ngotot dan minta maaf. Katanya kalau tidak dibunuh, ya, dibikin tidak bisa jalan selama 3 tahun”, tuturnya. Apa yang dilakukan Oppung menghadapi orang seperti itu? “Kutampar orang itu dan kusuruh pergi”, ujarnya. Apa yang dituturkan Oppung, memperlihatkan bahwa prinsip untuk membela yang benar memang benar benar ia pegang.

Riwayat masa kecil Oppung itu sendiri, tergolong penuh perjuangan. Ia bertutur, tahun 1930-an ketika jaman penjajahan Belanda, ia berdagang apa saja. Mulai dari babi, anjing, petai, tuak dan hasil bumi yang lain. Usianya ketika itu menginjak 18 tahunan. Ia harus me­nempuh perjalanan kaki 2 hari pulang balik ke desa lain untuk membeli barang tersebut. 

“Jaman dulu kalau me­nempuh perjalanan masih harus jalan kaki, lewat hutan lebat. Pacetnya masih sebesar jempol kaki, kalau digigitpedihnya bukan main”, tuturnya. Ia juga kenyang ikut kerja rodi ketika Jepang masuk menjajah Indonesia.

Sekarang di usianya yang hampir menginjak angka 80 tahun, ia banyak menghabiskan waktunya di kam­pung. “Sekarang saya sudah tua, mengangkat kayu pun sudah tidak bisa”, tuturnya dengan suara lirih. 

Di Kam­pungnya, selain bersawah, ia juga memelihara 29 ekor kerbau, mengoperasikan truk barang dan memelihara kuda. Kerbaunya dibiarkan lepas begitu saja. Si Oppung dikarunia 6 orang anak, 5 perempuan dan l laki-laki. Dan semuanya sudah berkeluarga. (***)

Tulisan ini dimuat di Majalah Tiga Bulanan Suara Insani No. 10, April-Juni 1996, yang diterbitkan Yayasan Bina Insani Pematangsiantar.

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments