Oleh:
Ridho Hamdan Purba dan Stevan Ivana Manihuruk**
Ada pengalaman menarik yang kami dapatkan ketika dalam satu
minggu terakhir, setiap malamnya kami mendatangi beberapa rumah di kota Jambi
untuk sosialisasi kegiatan RPL Pemuda se-GKPS sekaligus menawarkan kalender RPL
sebagai “sarana” meminta dukungan bantuan dana. Sejak awal kami sudah
menyepakati untuk prioritas mendatangi keluarga-keluarga yang bergereja di luar
GKPS, namun sebenarnya mereka masih memiliki garis keturunan (marga)
Simalungun.
Pengalaman yang sangat menyenangkan
tentu saja karena hingga kini belum ada satu keluarga pun yang menolak
kehadiran kami. Strateginya, kami memang tidak langsung menawarkan kalender
apalagi menunjukkan proposal permintaan bantuan dana, tapi terlebih dahulu
mengajak mereka ngobrol tentang
berbagai hal. Setelah ada kesempatan, baru kami jelaskan kedatangan kami. Puji
Tuhan, (lagi-lagi) keingintahuan mereka tentang kegiatan RPL ternyata cukup
besar. Terlebih lagi saat kami sodorkan kalender yang memang di rancang secara
khusus yang berisi foto-foto kegiatan Pemuda GKPS khususnya yang ada di Distrik
VI plus Pemuda GKPS Bandung, ditambah lagi beberapa foto yang menggambarkan
adat, ciri khas dan keunikan Simalungun. Alhasil hampir semua membayar harga
kalender tersebut diatas harga minimal yang sudah ditetapkan Panitia. Sekali
lagi, Syukur bagi Tuhan.
Selain pengalaman menyenangkan
tersebut, yang tidak kalah menarik yang bisa kami dapatkan dari mereka adalah
saat ngobrol panjang lebar tentang Simalungun, tentang GKPS. Terus terang
sebelumnya pun, sudah ada pertanyaan besar yang mengganjal dalam hati, dan
sudah tersirat dalam tulisan di edisi sebelumnya. Mengapa kecenderungan warga
Simalungun/GKPS (termasuk pemuda) yang akhirnya pindah ke gereja lain semakin
sering terjadi?. Apa penyebabnya?.
Benar, semua gereja itu sama-sama memiliki tujuan mewartakan
kebenaran Firman Tuhan. Lalu, kalau semua sama, mengapa harus pindah?. Apalagi,
bukankah GKPS merupakan Gereja yang unik, satu-satunya gereja yang menonjolkan
etnik ke-Simalungunan. Ditambah lagi, mengutip pernyataan budayawan Simalungun,
Dr. Sortaman Saragih, satu-satunya organisasi yang diharapkan masih bisa
menjadi benteng terakhir yang menjaga keunikan tradisi dan adat istiadat Simalungun,
hanyalah GKPS. Kalau demikian apa jadinya jika semakin banyak orang Simalungun
yang meninggalkan GKPS, entah dengan alasan apa pun. Mungkinkah suatu waktu
nanti ketika GKPS masih berdiri, namun ahap
Simalungun, yang seharusnya merupakan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki
oleh Gereja lain justru akan hilang dengan sendirinya?. Kalau sampai itu yang
terjadi, lalu apa dan dimana keunikan GKPS?.
Jati diri Simalungun
Dari hasil perbincangan kami dengan
beberapa keluarga tadi, kami bisa simpulkan, pada umumnya alasan mereka
meninggalkan GKPS adalah karena faktor sakit hati atau kecewa terhadap GKPS.
Ada yang mengatakan, GKPS belum bisa merangkul seluruh warganya dan terkesan
hanya fokus pada orang-orang tertentu. Kritik lainnya, penghargaan gereja hanya
ditujukan kepada segelintir orang-orang “beken” yang di setiap pesta gereja
selalu bisa tampil ke depan dan menjadi penyumbang dana jutaan hingga puluhan
juta rupiah. Sementara yang hanya mampu memberi puluhan atau ratusan ribu
rupiah menjadi kurang dianggap. Ini adalah alasan khas para orang tua. Lalu,
bagaimana dengan pemuda?.
Melalui diskusi dan permenungan, kami
mencoba menganalisa beberapa alasan yang kemungkinan menjadi faktor pendorong
pemuda Simalungun masih kurang aktif berkarya bagi GKPS dan bahkan yang akhirnya
memutuskan meninggalkan GKPS. Akhirnya kami sampai pada pemahaman bahwa yang
paling dasar tentunya berasal dari dalam diri pemuda itu sendiri, sejauh
manakah pemahaman sekaligus kencintaannya terhadap Simalungun. Masih kuatkah
kebanggaan dan komitmennya untuk menjaga dan mengembangkan ahap ke-Simalungunan?.
Sementara itu, beberapa alasan lain
misalnya. Pertama, Gereja kesukuan
(termasuk GKPS) dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi jaman yang modern
dan serba canggih saat ini. Alasan klasik pun dimunculkan, bahwa tata ibadah di
GKPS sudah ketinggalan jaman, terlalu kaku, tidak bersemangat, dan alasan
lainnya. Ketidakmengertian akan bahasa Simalungun juga sering dijadikan alasan. Kedua, beberapa pemuda beranggapan bahwa mengikuti kegiatan-kegiatan
seksi pemuda GKPS hanya membuang-buang waktu saja, tidak berkualitas, tidak
memiliki dampak yang berarti bagi pertumbuhan iman, kualitas hidup, karakter
dan cara berpikir pemuda untuk merancang masa depan mereka, Mereka juga protes
karena menganggap kegiatan pemuda hanya bersifat rutinitas belaka yang menghabiskan
waktu tenaga dan materi saja. Kegiatan seksi pemuda GKPS juga dianggap lebih
terarah ke kegiatan ngumpul-ngumpul, happy-happy,
pesta-pesta, jalan-jalan dan sharing-sharing
yang tidak jelas arah dan tujuannya sehingga hanya mengganggu konsentrasi
pemuda untuk sekolah, kuliah atau bekerja.
Ketiga, ada pula pemuda yang merasa kecewa melihat kondisi
kepengurusan seksi Pemuda yang amburadul, tidak bertanggungjawab. Tak dapat
dimungkiri, ini ada benarnya juga. Di beberapa Gereja GKPS, pengurus seksi
pemudanya justru menjadi orang-orang yang harus diurusi. Mereka tidak secara
bersungguh-sungguh berupaya mempertanggungjawabkan tugas dan tanggungjawabnya
selaku pengurus seksi pemuda GKPS. Mereka tidak mampu menjadi teladan sekaligus
motor penggerak berjalannya kegiatan Seksi Pemuda GKPS. Keempat, beberapa pemuda kecewa
dengan kepengurusan gereja yang terkesan meng-anak tirikan pemuda. Suara dan
pendapat pemuda kurang di dengar oleh pimpinan/kepengurusan gereja yang memang lebih
di dominasi oleh orang tua. Acapkali pemuda hanya dijadikan sebagai pelengkap
dalam kegiatan-kegiatan misalnya untuk mencuci piring, menjaga keamanan,
petugas parkir, dll. Untuk memikirkan
konsep, masukan, ide-ide untuk kemajuan gereja, pemuda sering tidak
dilibatkan.
Kelima, sistem yang ada di seksi pemuda dan juga gereja GKPS
dianggap sudah demikian bobroknya, terlalu bergantung dengan orang tua atau
orang-orang tertentu. Sistem yang ada juga dianggap sangat anti perubahan, anti
terobosan/gagasan-gagasan baru. Belum lagi kemungkinan terjadinya benturan
karakter antara pemuda melalui cara berpikir, berbicara, dan bertindak yang
mungkin saja karena tidak dikelola dengan baik dan secara tuntas, akhirnya
menimbulkan pengelompokan-pengelompokan di kalangan pemuda itu sendiri.
Keenam, persepsi keliru beberapa pemuda yang menganggap bahwa tolak
ukur pertumbuhan iman sebuah gereja hanya dilihat dari jumlah kuantitas jemaat
yang hadir beribadah, kemewahan dan kenyamanan tempat beribadah, tata ibadah
dengan iringan musik yang full power,
kesaksian-kesaksian mengenai mujizat yang terjadi, seperti misalnya mengusir roh-roh
jahat, menyembuhkan penyakit seperti tumor, kanker, buta, tuli, pening-pening, pegal-pegal
dan lain-lain. Alhasil ketika gereja-gereja kesukuan (termasuk GKPS) belum
mampu memenuhi indikator-indikator diatas kemudian menjadi alasan yang membuat
pemuda GKPS lebih memilih bertumbuh dan bersekutu di gereja lain daripada di gereja
dan rumahnya sendiri yaitu GKPS.
Pada umumnya, keenam alasan tersebut diatas yang sering
menjadi penyebab seorang pemuda GKPS pada suatu ketika akhirnya memutuskan
untuk meninggalkan GKPS. Kalau kita mencermati alasan-alasan diatas, sebenarnya
tidak boleh kita nafikan begitu saja. Mari merenung, bukankah beberapa hal
diatas sebenarnya memang riil terjadi di kepemudaan khususnya?. Namun, benar
atau tidaknya alasan tersebut, kami berpandangan tetap saja hal tersebut tidak
boleh dijadikan alasan pembenaran untuk meninggalkan GKPS.
Meninggalkan GKPS karena menganggap gereja ini masih
memiliki banyak kekurangan lalu membandingkannya dengan kondisi dan gereja lain
di masa kini, bukankah itu sama saja dengan tindakan seorang pengecut yang
melarikan diri dari sebuah masalah?. Logika sederhananya, karena GKPS adalah
gereja sekaligus rumah kita, apakah pantas hanya karena kita tau rumah kita ini
sudah mulai kotor, dan sudah bocor sana-sini, lalu kita seenaknya ingin pindah
ke rumah orang lain yang mungkin masih bersih dan juga baru?. Bukankah sudah
seharusnya tugas kita sendirilah memperbaiki rumah kita ini agar membuat kita
yang empunya rumah semakin betah dan nyaman untuk tinggal di dalamnya?.
Bukankah sangat tidak nyambung kita
berharap dan menunggu orang lain lah yang datang untuk memperbaiki rumah kita
sendiri?.
Harus diingat bahwa GKPS merupakan harta warisan yang
sangat berharga yang diberikan oleh nenek moyang kita terdahulu. Tugas generasi
selanjutnya (termasuk pemuda saat ini) untuk terus menjaga dan melestarikannya.
Jangan pernah menganggap GKPS hanyalah milik para pendeta, penginjil, para pengantar
jemaat. GKPS adalah milik kita bersama, warga Simalungun, maka tidak ada
pilihan lain, kita pula lah yang harus bersama-sama untuk menjaga nya. Kita
masih menantikan kebangkitan GKPS melalui "tangan-tangan" pelayanannya
di tengah-tengah dunia ini. Mari membangun GKPS dalam arti membangun mental,
karakter, dan iman setiap warganya. Hanya dengan demikianlah jati diri Simalungun
tidak akan pernah hilang apalagi tergerus oleh kemajuan jaman sekaligus. Inilah
yang menjadi tugas bersama karena GKPS adalah Gereja Kita sekaligus juga Rumah
Kita.
*Tulisan ini dibuat sebagai pembuka wacana
menjelang pelaksanaan RPL Pemuda se-GKPS tahun 2012 di
Jambi.
**Penulis pertama adalah
Ketua Umum RPL Pemuda se- GKPS tahun
2012, penulis kedua adalah CO Sie Sekretariat RPL Pemuda se-GKPS tahun 2012.
1 Comments
berani mengkritik, harus berani juga memberikan solusi serta berkorban untuk perbaikan GKPS. Terus lah mengkritik demi kebaikan GKPS kedepan...horasma.
ReplyDelete