BALIGE- Menneg BUMN Dahlan Iskan mengatakan, mereka sedang mencari bibit teh yang cocok untuk iklim yang sudah berubah di kawasan perkebunan Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Bibit yang tersedia saat ini masih untuk luas lahan 450 hektare, masih ada 150 hektare lahan lagi yang harus ditanami.
“Kalau Anda punya bibit teh (yang cocok
untuk iklim di Sidamanik) kita akan beli,” kata Dahlan Iskan, didampingi
Dirut PTPN IV, kepada METRO, Sabtu (14/4). Dia mengatakan, kualitas
daun teh Sidamanik saat ini sudah terlalu tebal. Akibatnya harga jual
rendah.
Selain itu juga produksi teh tak lagi maksimal. Semestinya
satu hektare itu mampu memproduksi dauh teh segar sebanyak 4 ton. “Saat
ini hanya mampu memproduksi dua ton per hektare. Jadi kalau dengan
kondisi seperti ini terus dipertahankan, itu sama saja menyuruh PTPN
bunuh diri,” kata Dahlan.
Menurut Dahlan, di zaman modern ini
tentu ada bibit yang cocok. Dia mengatakan, ada dua jenis bibit teh yang
cocok untuk ditanami di kebun Sidamanik, yaitu bibit teh gambung tujuh
dan gambung sembilan. “Bibit teh jenis gambung tujuh dan gambung
sembilan itu akan kita tanam di kebun Sidamanik. Kalau nanti hasilnya
bagus, bila perlu sawit pun kita ganti. Tapi kita lihat dululah hasilnya
seperti apa. Itu akan bisa kita ketahui setelah teh berumur empat
tahun,” katanya.
Lanjut Dahlan, penanaman bibit teh
gambung tujuh dan gambung sembilan itu akan ditanami di atas lahan
seluas 450 hektare yang sudah direplanting. “Jadi dicoba dulu
dipertahankan dengan cara dicari jenis teh untuk iklim yang berubah
ini,” tukasnya.
Itu jenis teh yang ditemukan di kilang-kilang.
Mudah-mudahan itu cocok, mungkin akhir tahun ini atau awal tahun depan
akan ditanami di lahan teh Sidamabik yang sudah sempat direplanting. Dan
hasilnya akan kita lihat empat tahun lagi. “Baik atau tidak, itu baru
kia tahu selama empat tahun,” katanya.
Nah kalau nanti cocok, kualitasnya
bagus, produksinya mampu empat ton per haktare, maka kebun teh tetap
dipertahankan.
“Jadi tidak tidak seperti daun teh yang saat ini, daun
agak tebal. Mungkin karena cuacanya agak panas ya, sehingga harganya
anjlok. Ia kembali mengatakan,, sekira 100 tahun yang lalu di daerah itu
masih sangat dingin. “Sekarang sudah nggak sama. Karena itu daun teh
yang ada di sana (Sidamanik) sudah tebal-tebal. Akibatnya harganya
rendah sekali. Kemudian produksi per hektare itu hanya mampu 2 ton per
hektare,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, ia mengatakan,
kalau dulu dataran yang berada di atas ketinggian 300 meter di atas
permukaan air laut (dpl) masih dingin.
“Mungkin karena hutannya masih
alami. Kalau sekarang iklim sudah berubah, lahan dengan ketinggian 300
meter di atas permukaan air laut sudah tak cocok lagi,” katanya.
Jadi kata dia, lahan yang dipertahankan itu adalah perkebunan teh yang berada di atas 600 meter di atas permukaan air laut. (dro)(metrosiantar.com)
0 Comments