Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Mengingat Kembali Sarudin Saragih, Penyanyi & Pencipta Lagu Simalungun

 Oleh Corry Aritonang

Bagi masyarakat Simalungun, nama Sarudin Saragih  sudah tidak asing lagi. Baik sebagai penyanyi, maupun sebagai pencipta lagu. Lebih dari 28 album sudah dihasilkannya.

Rata-rata di setiap album, 6 di antaranya adalah lagu ciptaannya. Bayangkan, berapa ratus lagu yang telah disumbangkannya untuk memperkaya khasanah permusikan Simalungun ?

Bersama dua rekannya yang lain Kaman Tondang dan Benyamin Girsang, mereka sepakat membentuk satu grup bernama Trio Spansel.

Artinya 3 putra Simalungun yang berasal dari Pantai Selatan, tepatnya dari kampung Bage Kecamatan Silima Kuta. Tahun 1975 sekitar bulan Oktober, Trio ini berhasil menembus dunia rekaman.

Waktu itu masih dalam bentuk pita kaset. Tidak seperti masa sekarang, rekaman lagu-lagu Simalungun pada masa itu hanya beberapa, masih bisa dihitung dengan jari. Jelas, tidak banyak pilihan lain. Trio Spansel memang boleh dikatakan cukup berjaya di masa itu.

Sebagai putra sulung dari Esten William Saragih Simarmata (+) dan Rontinim br. Purba (+), Sarudin diberi kepercayaan untuk mengasuh lima orang adik-adiknya. Suasana kehidupan di kampung kurang mendukung untuk mewujudkan cita-cita luhur orangtua sehingga dengan berbagai pertimbangan, Sarudin remaja dianjurkan segera menikah.

Karena tidak ingin mengecewakan orangtuanya, lelaki kelahiran Sibolga 5 Januari 1951 ini resmi menikah saat usianya menginjak tahun ke-25 walau dengan berat hati, terutama di saat karirnya sedang menanjak, ia ingin melewati hari-harinya dengan bebas, tidak terikat dengan segala macam urusan.

Setelah menikah dan tinggal di kota Medan, Sarudin memboyong adik-adiknya dan hidup serumah dengan mereka. Maksudnya untuk lebih memudahkan pengawasan terhadap mereka yang masih tahap belajar. Meskipun berasal dari desa kecil, ia ingin adik-adiknya bisa lebih maju, setidaknya bisa melampaui pendidikan STM seperti dirinya.

Bagi anak-anak muda zaman sekarang ini pasti muncul pertanyaan, kenapa Sarudin memilih pendidikan di jalur teknik, sedangkan bakat yang mengental dalam dirinya adalah menyanyi dan mencipta lagu ? Kenapa tidak masuk ke jurusan musik saja supaya lebih pas ? Alasannya cukup masuk di akal.

Pada masa itu orang beranggapan bahwa laki-laki harus menguasai teknik. Teknik, identik dengan alat-alat berat. Lagipula seusai pendidikan ini bisa langsung bekerja. Sebab umumnya perusahaan lebih sering menawarkan lapangan kerja dari lulusan STM.

Sedangkan pendidikan musik, biasanya hanya untuk kelas-kelas tertentu yang masa depannya sudah terjamin. Musik dianggap hanya kesenangan belaka, menghibur diri tanpa dibebani sumber pemasukan untuk hidup keluarga. Sekolah di bidang musik dianggap buang-buang waktu dan dana.

Selain biaya sekolahnya relatif mahal, harga peralatannya pun tidak dapat dijangkau semua orang. Jangankan membeli alat-alat musik, untuk biaya hidup sehari-hari saja sudah bersyukur bisa terpenuhi. Jadi bagi Sarudin, hobi dan pendidikan biarlah tetap di jalur masing-masing.

Yang jelas, seniman yang sejak tahun 1995 menetap di Tangerang Provinsi Banten ini sudah mengabadikan namanya lewat Trio Spansel sebanyak lima album (1975-1980), Elny Grup sebanyak sembilan album (1981), duet dengan Hotmaria Sitopu dalam Simalungun Jaya sebanyak dua album (1986-1988), Kasimka Group satu album, duet dengan Plorida br. Manik, duet dengan Dewita br. Purba, Sepuluh Karya Terbaik & Solo Millenieum 2001.

Beberapa lagu ciptaannya yang masih bisa disebutnya luar kepala antara lain : Panosalan, Lina, Na Tading Maetek, Bani Rondang ni Bulan Tula, Rokkap do Sukkunon, Anggo Anak Paranak on, Ulang Ham Tarudu, Na Sora Marsikkolah, Rap Hu Tiga Raya, Sirang Padan, Bani Borngin, Sabar Ma Ham, Ulang Urahtu Manggila, Marsapata, Sirang Do Hape Use, Ulang be Pusok Uhurmu, Ise be Hasomanhu, Parborit Pinangindo, Alani Judi, Aha Do Nani, dll.   

Pada umumnya, Sarudin menciptakan lagu berdasarkan pengalaman hidup. Apa yang dirasakan ketika itu, selalu diungkapkan lewat syair-syair lagu. Tidak ada ukuran baginya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencipta satu lagu. Bila sedang mood, 15 menit sudah jadi. Tapi kalau tidak, setahun pun belum tentu ada. Kalau dipaksa sebenarnya bisa juga, namun hasilnya kurang memuaskan.

Seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Artinya seniman yang sudah memiliki beberapa cucu ini telah mewariskan bakat seni kepada 3 dari 6 orang anaknya. Sayang sekali bapak dari Hendrawan Chandra, Herni Chandrana, Abdi Chandra, Ade Chandra, Ernita Chandrana, Sahala Rohma Chandra, tidak menjelaskan sejauh mana bakat nyanyi itu berperan dalam kehidupannya.

“Sebenarnya saya kecewa....”, katanya suatu hari. “Seniman Simalungun kurang mendapat perhatian dari Pemkab Simalungun sendiri. Buktinya, para seniman Simalungun yang di masa mudanya telah banyak berbuat untuk seni Simalungun, tidak ada jaminan hidup di masa depan. Seperti saya misalnya, terpaksa harus ngamen demi mencukupi kehidupan sehari-hari.

Seandainya dulu saya diberi kesempatan menjadi pegawai di lingkungan Pemkab, mungkin saya bisa mengabdikan diri di bidang seni dan budaya. Tapi sudahlah, semua sudah berlalu, saya cuma bisa berharap pemerintah memberi prioritas kepada seniman Simalungun untuk berperan aktif di event-event besar seperti Rondang Bintang, Pesta Danau Toba, dll.

Juga kepada masyarakat etnis Simalungun, berilah dukungan kepada seni & seniman Simalungun. Anggo lang hita pamajuhon Simalungun on, ise bei ? ”   kata suami dari Heppy Sorta br Manurung ini menutup pembicaraan. Semoga. ( Corry Aritonang ) Tulisan ini Pernah dimuat di Majalah SAUHUR  Edisi No.5 Juni - Juli.

Berita Lainnya

There is no other posts in this category.

Post a Comment

0 Comments