Foto Menteri Negara BUMN RI, Dahlan Iskansaat HPN 9 Feb 2012 di Jambi. Foto Asenk Lee Saragih
PARAPAT- Perkebunan teh Sidamanik di Kecamatan Sidamanik Kabupaten Simalungun tetap dipertahankan. Terutama perkebunan yang berada di atas 800 meter di atas permukaan air laut (DPAL). Demikian disampaikan Menteri Negara BUMN RI, Dahlan Iskan kepada METRO, di Parapat, ketika ditanya soal tentang keberatan warga terhadap rencana PTPN IV melakukan konversi teh di Kecamatan Sidamanik, Jumat (13/4).
Dahlan mengatakan, tidak semuanya dikonversi. Tanah-tanah yang tidak cocok untuk ditanami teh tidak bisa dipaksakan lagi. "Kalau dulu sewaktu di zaman Belanda, saat perkebunan teh dimulai (di Kabupaten Simalungun), tanah yang ketinggiannya berada 800 meter di atas permukaan air laut cuacanya masih dingin sekali. Kalau sekarang sudah tidak terlalu dingin lagi karena perubahan iklim dan seterusnya. Sementara tanaman teh itu butuh cuaca khusus agar kualitasnya tetap bagus. Nah kalau tetap dipaksakan lagi, maka harga jualnya akan turun," katanya.
Ia mengungkapkan, ini sudah terjadi di Jawa Barat, ada kebun teh yang di tengah-tengahnya itu dibangun jalan tol, iklimnya sudah berubah, karena terlalu banyak mobil yang melewati, sehingga tidak layak lagi ditanami teh. "Memang tetap bisa (ditanami), tapi kualitasnya akan menjadi berbeda dan harganya turun sekali. Sehingga nanti tidak ada artinya lagi," ujarnya.
Soal keberatan warga Dahlan mengatakan, tidak masalah. Dia menjelaskan, langkah itu merupakan cara PTPN agar terhindar dari kerugian.
"Nanti kalau BUMN rugi terus dimarahi orang juga. Ini PTPN kok rugi terus?" ujarnya berseloro. Ditanya dari tiga lokasi perkebunan teh milik PTPN IV di Kabupaten Simalungun Unit Sidamanik, Bah Butong dan Tobasari, yang mana lokasinya berada di ketinggian di atas 800 dpl, ia mengatakan tidak hafal satu per satu. "Nanti kita lihat dululah," tepisnya.
Namun ia menegaskan bahwa perkebunan teh yang berada di atas 800 meter di atas permukaan air laut tetap dipertahankan. Terpisah Humas PTPN IV Lidang Panggabean, ketika ditanya tentang aksi penolakan warga Simalungun terhadap rencana konversi teh ke sawit mengatakan, pihaknya tetap menghargai masyarakat. Apalagi katanya, kebun teh itu menyimpan historis dan bagian dari ikon Simalungun, maka mereka memutuskan untuk tetap mempertahankan kebun teh Sidamanik.
Namun ia tidak sependapat dengan dalih yang menyebutkan bahwa konversi teh ke sawit penyebab terjadinya banjir. Menurut dia, banjir itu akibat aksi pembalakan kayu di wilayah Simalungun atas. Dia juga tidak sependapat jika kepala sawit disebut sebagai penyumbang karbondioksida.
Ada kajian ilmiah yang menyebutkan bahwa setiap tanaman yang memiliki daun berwarna hijau akan menghasilkan oksigen. Ditanya apa rencana PTPN IV Unit Sidamanik terhadap kebun teh seluas 600 hektare lebih yang sudah sempat dibongkar, ia mengatakan, akan ditanami bibit teh yang baru.
"Lagian tanaman teh yang dibongkar itu sudah berumur ratusan tahun. Sehingga produksi dauh tehnya kurang segar," ujarnya.
Lalu soal pabrik PTPN IV Unit Sidamanik, yang tak lagi beroperasi, lanjut Lidang, itu dilakukan karena terjadinya penurunan bahan baku daun teh. "Jadi cukup dua pabrik yang dioperasikan, pabrik di PTPN IV Unit Bah Butong dan Tobasari," katanya. Untuk diketahui di Simalungun terdapat tiga unit kebun teh, kebun teh Sidamanik, Tobasari, dan Bah Butong. Sementara kebun Marjandi dan Bah Birong Ulu sudah dikonversi jadi kelapa sawit.
Selanjutnya ketika disinggung, kenapa PTPN IV tidak pernah berpikir untuk mengembangkan wisata agro di perkebunan teh, Lidang mengatakan, bahwa perkebunan teh Sidamanik tidak seprospek perkebunan teh PTPN Gunung Mas di Bogor. "Di sana, kenapa ada sampai 1.500-an unit bus pariwisata yang naik puncak, itu karena Jawa sudah sesak ruang.
Sehingga orang perlu mencari suasana baru. Berbeda dengan di Simalungun, coba cari tahu berapa jumlah wisatawan yang datang ke kebun Sidamanik, tentu tidak sebanyak jumlah wisatawan yang dating ke puncak Bogor," katanya mengakhiri. (dro)(metrosiantar.com)
0 Comments