SIANTAR- Tanda-tanda
keributan di Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten
Simalungun sudah mulai terlihat. Kondisi masyarakat di sana semakin
memanas. Sebab kubu Manotar Ambarita sekalu mantan pangulu tetap
melanjutkan penanaman pohon durian dan kopi di lahan berstatus stanvas.
Sementara kubu masyarakat lainnya, tidak rela kalau lahan tersebut ada
aktifitas dari kubu Manotar. Kemudian warga mulai melakkukan perlawanan.
Masyarakat mencabuti pohon yang ditanami Manotar di lahan stanvas
tersebut. “Kubu Manotar menanami pohon durian dan kopi di lahan yang
berstatus stanvas. Seratusan masyarakat yang tidak terima dengan sikap
Manotar, mencabuti pohon-pohon yang ditanami Manotar. Kalau ada
perlawanan, masyarakat memang sudah siap,” ujar Judin Ambarita kepada
METRO, Selasa (5/6).
Judin mengatakan, kubu Manotar dengan
orang-orang suruhannya semakin gesit menanami pohon di lahan stanvas
tersebut, mulai pagi sampai sore. Sedangkan masyarakat mencabuti pohon
yang ditanami Manotar mulai siang sampai sore. “Memang hingga saat ini,
belum ada terjadi bentrok langsung. Tapi kalau melihat kondisi saat ini
yang semakin panas, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi bentrok.
Bahkan sampai pertumpahan darah,” tegasnya.
Masyarakat mengharapkan, ada ketegasan
dari polisi, DPRD dan Pemkab Simalungun, menertibkan aktifitas penanaman
pohon di lahan stanvas. Kalau tidak cepat diantisipasi dan dibuat
tindakan tegas, menurut Judin, peluang terjadi bentrok sangat besar.
“Dengan sikap masyarakat yang tetap
mencabuti tanaman yang ditanami Manotar, kemungkinan Manotar akan marah
dan melakukan perlawanan. Kubu Manotar mempersiapkan kekuatan dan
masyarakat juga melakukan hal yang sama, tinggal menunggu kapan terjadi
bentrok,” katanya. Masyarakat sudah sepaham dan sepakat, tidak ada yang
rela tanah leluhurnya dirampas orang dan dijual kepada pengusaha.
“Tanah itu adalah sumber mata pencarian
masyarakat keturunan Ambarita yang tinggal di Sihaporas. Kami tidak mau
tanah itu dirampas orang, lalu dijual kepada pengusaha. Itu tanah
leluhur kami dan harus kami perjuangkan,” ungkapnya. Terpisah, Herdin
Silalahi Ketua LSM Gesif mengatakan, aparat kepolisian harus bekerja
maksimal mengantisipasi agar tidak terjadi bentrok antara masyarakat
Sihaporas dengan mantan pangulu Sihaporas, Manotar Ambarita.
“Tugas polisi sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat, harus cepat mengantisipasi supaya tidak terjadi
bentrok. Kalau memang sudah ada keputusan lahan berstatus stanvas,
seharusnya tidak ada aktifitas di dalamnya. Pihak Manotar dan masyarakat
yang bersengketa harus sama-sama berdiam tidak mengelola lahan itu
sampai berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Lebih lanjut, kata Herdin, DPRD dan
Pemkab Simalungun yang membuat lokasi sengketa itu berstatus stanvas
juga harus tegas. “DPRD dan Pemkab Simalungun harus tegas. Kalau
dibilang stanvas, harusnya tidak ada aktifitas.
Kalau memang Manotar tidak bisa
dibilangi agar tidak beraktifitas di lahan stanvas itu, DPRD dan Pemkab
Simalungun harus memberikan sanksi,” tegasnya. (metrosiantar.com)
========
SIHAPORAS
Desa atau Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Berjarak kurang lebih 28 kilometer ke barat Kota Pematang Siantar, atau sekitar 5 km dari tepi Danau Toba, Sipolha. Desa Sihaporas dimekarkan awal 2000-an, dari Desa Jorlanghuluan, tak lama setelah Kecamatan Pematang Sidamanik terbentuk, pemekaran Kecamatan Sidamanik.
Kawasan Sihaporas ditemukan dan dinamai oleh Ompu Mamontang Laut, yang meyeberang Danau Toba menggunakan "Solu" atau sampan dari Ambarita ke Ujung Mauli-Sipolha, lalu naik ke puncak Bukit Simaringga, kemudian hamparan lahan nan indah. Saking kagumnya pada laham nan indah itu, Ompu Mamontang Laut berujar, "Horas. Uli nai luat on, jala dekke Siporas (pora-pora) pe balga-balga." Dari kekaguman itulah, kemudian kawasan hutan yang ditemuinya dinamai SIHAPORAS. Ompu Mamongtang Laut bermarga Ambarita Lumbang Pea, marga sulung dari dua Ambarita, satu lagi, Ambarita Lumban Pining.
***
Tahun 1998, sebelum Desa Sihaporas terbentuk, kami beberapa warga Sihaporas menyampaikan aspirasi kepada unsur Muspida Kabupaten Simalungun. Ketika itu, seingat saya hari Rabu, kami bertujuh yakni Sorbatua Siallagan, Mangitua Ambarita, Edy Ambarita, Baren Ambarita, Anggarali Ambarita, Hotlan Ambarita dan saya (Domuara Ambarita).
Di kantor Bupati di Jalan Asahan Pematang Siantar, sebelum ibu kota dipindah ke Pematang Raya, kami ditemui Bupati John Hugo Silalahi, dan Wakil Bupati Hj R Dartatik Damanik. Kemudian di gedung DPRD, kami diterima Ketua DPRD Kabuapten Simalungun H Syahmidun Saragih.
Ada kejadian memperihatinkan sekaligus menggelikan yang sulit saya lupakan. Ketika itu sudah lewat tengah hari, kami belum ada tanda-tanda diterima Bupati. Saya mencari akal agar menarik perhatian Bupati, kemudian membuat skenario, abang saya, Edy Ambarita pura-pura mengamuk dan berontak ditandai suara keras karena rakyat yang hendak menyampaikan aspirasi tidak direspons Bupati.
Betul saja. Bupati segera memeprsilakan kami masuk. Tapi tentu saja, ajudan dan pengawal Bupati sempat marah-marha hampir meringkus Edy Ambarita karena dianggap berbuat onar.
Saat diterima, kami menyampaikan empat aspirasi pokok, saya masih ingat betul. Sebab saya yang merangkum aspirasi warga Sihaproas, saya hanya jadi juru bicara. Aspirasi tersebut adalah (1) pengerasan jalan/pengadaan batu untuk jalan antara perkebunan Indorayon hingga ke Kampung Lumban Ambarita seterunya ke Sihaproas Bolon, dan Aek Batu
(2) Mengalihkan jalan dari Sibeangan dan sebaligus membuat jembatan permanen, karena jemabtan darurat tersebut telah menelan korban jiwa. (Sampai saat itu ada dua korban meninggal di jembatan darurat Sibengan, yang menjadi poros utama penghubung Sihaporas Bolon dan Lumban Ambarita, yakni seorang remaja, Diman Ambarita warga Kampung Aek Batu, kemudian A Erni Ambarita warga Lumban Ambarita Sihaporas. Mereka meninggal dalam waktu berbeda, tetapi oleh penyebab yang sama, sepeda motor jatuh ke jurang sedalam puluhan meter saat menyeberangi jembatan terbuat dari batangan kayu.
(3) Pembangunan Listrik Masuk Desa. Aliran listrik belum ada, sedangkan jumlah penduduk, ekonomi dan kegiatan sosial kemasyarakatan terus tumbuh. Sekolah dan gereja pun sudah berdiri, tapi belum dialiri listrik. Kalau pun ada, swada warga, menggunakan mesin diesel. SD Negeri Sihaporas, dan sarana ibadah berupa gereja, Gereja Katolik Santo Yohanes Sihaporas, dan Gereja HKBP Gunung Pariama Sihaporas
4) Pemekaran Desa Sihaporas dari Desa Jorlanghuluan.
Pemekaran perlu untuk mendekatkan pelayanan aparat desa kepada warga. Sejak selama ini, aspirasi warga tidak tertampung, dan kepala desa jarang sekali berkunjung. Dengan pemekaran desa, diharapkan terpilih putra-putra desa terbaik, yang peduli akan nasib desa dan warganya. Kemudian kepala desa Sihaporas pertama, terpilih Baren Ambarita, abang saya.
Sekitar lima tahun dai penyampian aspirasi itu satu persatu permohonan disetujui. Terima kasih pemerintah Kabupaten Simalungun, terutama John Hugo Silalahi, Dartatik Damanik dan mantan Ketua DPRD Syahmidun Saragih.
***
Tradisi Batak Toba
Desa Sihaporas, berada di pegunungan Bukit Barisan. Posisinya diapit empat kecamatan, 1) Girsang Sipanganbolon (Prapat) di Selatan, Kecamatan Sidamanik di Barat, Kecamatan Jorlang Hataran di Utara, dan Kecamatan Dolok Panribuan di Timur.
Populasi ada di tiga Kampung; Lumban Ambarita Sihaporas, Aek Batu dan Sihaporas Bolon dengan total kepala keluarga kurang lebih 1.000 KK.
Dari tahun 1980-2000-an, Sihaporas tersohor selaku penghasil komoditas ekspor yakni jahe. Banyak pendatang berdatangan sebagai buruh tani ke desa ini saat musim bercocok tanam dan panen jahe. Kini, era jahe berlalu, dan berganti produk kopi.
Selain itu, tanaman palawija darat yakni cabai, tomat, jagung dan sayur-mayur juga tumbuh subur di desa ini.
Sayang, perhatian pemerintah Kabupaten Simalungun dan Pemprov Sumatera Utara masih minim, sehingga potensi dasar masyarakat lokal belum maksimal. Padahal, akses jalan ke transSumatera tidak begitu jauh, kurnag lebih 5 kilometer, salah satu keunggulan Desa Sihaporas.
Ada khasanah warga Sihaporas, mereka umumnya marga Ambarita, yang berasal dari Kecamatan Ambarita Toba Samosir. Setiap keluarga, kalau bukan kepala keluarga yang Ambarita, ya dari ibu rumah tangga. Kalaupun bukan Marba Ambarita, dipastikan masih kerabat, misalnya menantu atau saudara dekat. Warga masih sangat erat sistem kekerabatan yang diatur adat Batak Toba, walau tinggal di Simalungun. Satu dua, mulai timbul pertentangan, karena pengaruh orang luar, seperti perusahaan pulp-kayu dekat Desa Sihaproas, maupun akibat ulah anak perantau yang kembali ke desa.
Hingga kini sudah 13 generasi, sejak Ompu Mamontang Laut menyeberang dari Ambarita ke Ujung Mauli, Sipolha, kemudian ke Sihaporas. Masyarakat setempat masih memegang teguh adat-istiadat dan tradisi Batak Toba, temasuk Ulaon Bolon, untuk ucapan syukur sekaligus mohon pertolongan Tuhan Yang Maha Esa. Ulaon Bolon biasanya diisi 'gondang sabangunan', musik tradisi Batak Toba, yang digelar minimal empat tahun sekali.
Lazimnya Ulaon Bolon dilaksanakan usai panen besar, sekitar Oktober atau November.
Sihaporas potensial, namun masih tertinggal dibandingkan daerah lain yang lebih maju di Sumatera Utara maupun di procinsi lain. Maka, kita dipanggil untuk peduli. Mari kita bangun Bona Pasogit, Bonani pinasa, rasanya menghidupkan kembali seruan mendiang mantan Gubernur Raja Inal Siregar "Marsipature Hutana Be" sangat perlu.
Beta hamu bo, ta pature huta Sihaporas.
Horas
By Domu Damiannus Ambarita
domuambarita@gmail.com
========
SIHAPORAS
Desa atau Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Berjarak kurang lebih 28 kilometer ke barat Kota Pematang Siantar, atau sekitar 5 km dari tepi Danau Toba, Sipolha. Desa Sihaporas dimekarkan awal 2000-an, dari Desa Jorlanghuluan, tak lama setelah Kecamatan Pematang Sidamanik terbentuk, pemekaran Kecamatan Sidamanik.
Kawasan Sihaporas ditemukan dan dinamai oleh Ompu Mamontang Laut, yang meyeberang Danau Toba menggunakan "Solu" atau sampan dari Ambarita ke Ujung Mauli-Sipolha, lalu naik ke puncak Bukit Simaringga, kemudian hamparan lahan nan indah. Saking kagumnya pada laham nan indah itu, Ompu Mamontang Laut berujar, "Horas. Uli nai luat on, jala dekke Siporas (pora-pora) pe balga-balga." Dari kekaguman itulah, kemudian kawasan hutan yang ditemuinya dinamai SIHAPORAS. Ompu Mamongtang Laut bermarga Ambarita Lumbang Pea, marga sulung dari dua Ambarita, satu lagi, Ambarita Lumban Pining.
***
Tahun 1998, sebelum Desa Sihaporas terbentuk, kami beberapa warga Sihaporas menyampaikan aspirasi kepada unsur Muspida Kabupaten Simalungun. Ketika itu, seingat saya hari Rabu, kami bertujuh yakni Sorbatua Siallagan, Mangitua Ambarita, Edy Ambarita, Baren Ambarita, Anggarali Ambarita, Hotlan Ambarita dan saya (Domuara Ambarita).
Di kantor Bupati di Jalan Asahan Pematang Siantar, sebelum ibu kota dipindah ke Pematang Raya, kami ditemui Bupati John Hugo Silalahi, dan Wakil Bupati Hj R Dartatik Damanik. Kemudian di gedung DPRD, kami diterima Ketua DPRD Kabuapten Simalungun H Syahmidun Saragih.
Ada kejadian memperihatinkan sekaligus menggelikan yang sulit saya lupakan. Ketika itu sudah lewat tengah hari, kami belum ada tanda-tanda diterima Bupati. Saya mencari akal agar menarik perhatian Bupati, kemudian membuat skenario, abang saya, Edy Ambarita pura-pura mengamuk dan berontak ditandai suara keras karena rakyat yang hendak menyampaikan aspirasi tidak direspons Bupati.
Betul saja. Bupati segera memeprsilakan kami masuk. Tapi tentu saja, ajudan dan pengawal Bupati sempat marah-marha hampir meringkus Edy Ambarita karena dianggap berbuat onar.
Saat diterima, kami menyampaikan empat aspirasi pokok, saya masih ingat betul. Sebab saya yang merangkum aspirasi warga Sihaproas, saya hanya jadi juru bicara. Aspirasi tersebut adalah (1) pengerasan jalan/pengadaan batu untuk jalan antara perkebunan Indorayon hingga ke Kampung Lumban Ambarita seterunya ke Sihaproas Bolon, dan Aek Batu
(2) Mengalihkan jalan dari Sibeangan dan sebaligus membuat jembatan permanen, karena jemabtan darurat tersebut telah menelan korban jiwa. (Sampai saat itu ada dua korban meninggal di jembatan darurat Sibengan, yang menjadi poros utama penghubung Sihaporas Bolon dan Lumban Ambarita, yakni seorang remaja, Diman Ambarita warga Kampung Aek Batu, kemudian A Erni Ambarita warga Lumban Ambarita Sihaporas. Mereka meninggal dalam waktu berbeda, tetapi oleh penyebab yang sama, sepeda motor jatuh ke jurang sedalam puluhan meter saat menyeberangi jembatan terbuat dari batangan kayu.
(3) Pembangunan Listrik Masuk Desa. Aliran listrik belum ada, sedangkan jumlah penduduk, ekonomi dan kegiatan sosial kemasyarakatan terus tumbuh. Sekolah dan gereja pun sudah berdiri, tapi belum dialiri listrik. Kalau pun ada, swada warga, menggunakan mesin diesel. SD Negeri Sihaporas, dan sarana ibadah berupa gereja, Gereja Katolik Santo Yohanes Sihaporas, dan Gereja HKBP Gunung Pariama Sihaporas
4) Pemekaran Desa Sihaporas dari Desa Jorlanghuluan.
Pemekaran perlu untuk mendekatkan pelayanan aparat desa kepada warga. Sejak selama ini, aspirasi warga tidak tertampung, dan kepala desa jarang sekali berkunjung. Dengan pemekaran desa, diharapkan terpilih putra-putra desa terbaik, yang peduli akan nasib desa dan warganya. Kemudian kepala desa Sihaporas pertama, terpilih Baren Ambarita, abang saya.
Sekitar lima tahun dai penyampian aspirasi itu satu persatu permohonan disetujui. Terima kasih pemerintah Kabupaten Simalungun, terutama John Hugo Silalahi, Dartatik Damanik dan mantan Ketua DPRD Syahmidun Saragih.
***
Tradisi Batak Toba
Desa Sihaporas, berada di pegunungan Bukit Barisan. Posisinya diapit empat kecamatan, 1) Girsang Sipanganbolon (Prapat) di Selatan, Kecamatan Sidamanik di Barat, Kecamatan Jorlang Hataran di Utara, dan Kecamatan Dolok Panribuan di Timur.
Populasi ada di tiga Kampung; Lumban Ambarita Sihaporas, Aek Batu dan Sihaporas Bolon dengan total kepala keluarga kurang lebih 1.000 KK.
Dari tahun 1980-2000-an, Sihaporas tersohor selaku penghasil komoditas ekspor yakni jahe. Banyak pendatang berdatangan sebagai buruh tani ke desa ini saat musim bercocok tanam dan panen jahe. Kini, era jahe berlalu, dan berganti produk kopi.
Selain itu, tanaman palawija darat yakni cabai, tomat, jagung dan sayur-mayur juga tumbuh subur di desa ini.
Sayang, perhatian pemerintah Kabupaten Simalungun dan Pemprov Sumatera Utara masih minim, sehingga potensi dasar masyarakat lokal belum maksimal. Padahal, akses jalan ke transSumatera tidak begitu jauh, kurnag lebih 5 kilometer, salah satu keunggulan Desa Sihaporas.
Ada khasanah warga Sihaporas, mereka umumnya marga Ambarita, yang berasal dari Kecamatan Ambarita Toba Samosir. Setiap keluarga, kalau bukan kepala keluarga yang Ambarita, ya dari ibu rumah tangga. Kalaupun bukan Marba Ambarita, dipastikan masih kerabat, misalnya menantu atau saudara dekat. Warga masih sangat erat sistem kekerabatan yang diatur adat Batak Toba, walau tinggal di Simalungun. Satu dua, mulai timbul pertentangan, karena pengaruh orang luar, seperti perusahaan pulp-kayu dekat Desa Sihaproas, maupun akibat ulah anak perantau yang kembali ke desa.
Hingga kini sudah 13 generasi, sejak Ompu Mamontang Laut menyeberang dari Ambarita ke Ujung Mauli, Sipolha, kemudian ke Sihaporas. Masyarakat setempat masih memegang teguh adat-istiadat dan tradisi Batak Toba, temasuk Ulaon Bolon, untuk ucapan syukur sekaligus mohon pertolongan Tuhan Yang Maha Esa. Ulaon Bolon biasanya diisi 'gondang sabangunan', musik tradisi Batak Toba, yang digelar minimal empat tahun sekali.
Lazimnya Ulaon Bolon dilaksanakan usai panen besar, sekitar Oktober atau November.
Sihaporas potensial, namun masih tertinggal dibandingkan daerah lain yang lebih maju di Sumatera Utara maupun di procinsi lain. Maka, kita dipanggil untuk peduli. Mari kita bangun Bona Pasogit, Bonani pinasa, rasanya menghidupkan kembali seruan mendiang mantan Gubernur Raja Inal Siregar "Marsipature Hutana Be" sangat perlu.
Beta hamu bo, ta pature huta Sihaporas.
Horas
By Domu Damiannus Ambarita
domuambarita@gmail.com
0 Comments