SIMALUNGUN- Banyak
perusahaan di Pematangsiantar-Simalungun, khususnya kawasan Danau Toba,
yang menyalahi analisa dampak lingkungan (Amdal) dengan melakukan
ekploitasi di luar ketentuan perizinan. Kondisi ini pun harus diawasi
betul, terutama oleh masyarakat dan pemerintah, karena masyarakat juga
yang akan jadi korban kerusakan lingkungan tersebut.
Hal tersebut disampaikan Ketua
Generation of Action (GOA) Siantar-Simalungun Lamhot Sitorus, Senin
(2/6), menanggapi pencemaran yang kian banyak terjadi. Lamhot juga
menjelaskan, dari beberapa perusahaan tersebut, belum tentu sistem
pelaporannya dilakukan secara terus-menerus. “Hal ini belum sepenuhnya
berlangsung baik. Kadang dilaporkan, kadang tidak oleh pihak perusahaan
itu sendiri,” ujar Lamhot.
Selain itu, sambung Lamhot, dokumen
Usaha Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL)
juga harus diperhatikan keabsahannya. Pasalnya, UKL/UPL adalah salah
satu instrumen pengelolaan lingkungan yang menjadi persyaratan perizinan
bagi pemrakarsa yang akan melaksanakan suatu usaha/kegiatan di berbagai
sektor.
“Dokumen UKL/UPL dibuat pada fase perencanaan proyek sebagai
kelengkapan dalam memperoleh perizinan untuk proyek-proyek yang dampak
lingkungannya dapat diatasi dengan skala pengendaliannya kecil dan tidak
kompleks. Ini harus benar-benar diperhatikan. Apalagi di kawasan Danau
Toba, yang merupakan kebanggaan masyarakat Sumatera Utara,” katanya.
Sebab, kata Lamhot, dalam dokumen AMDAL,
perusahaan atau pemrakarsa kegiatan diwajibkan menandatangani surat
pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan yang sudah diprediksi akan
terjadi. Namun, kenyatannya, tidak seperti yang diharapkan. Masih
banyak pencemaran-pencemaran yang terjadi yang sangat beresiko akan
kelangsungan hidup biota danau, bahkan masyarakat sekitar.
Karena itu, sambung Lamhot, keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL yang akan dilakukan oleh suatu usaha atau kegiatan sangat penting sesuai PP 27/1999. Tujuannya, untuk melindungi kepentingan masyarakat itu sendiri.
Menurut Lamhot, peraturan tersebut
memberikan hak kepada masyarakat untuk ikut terlibat dan mendapat
keterbukaan informasi dalam pengambilan keputusan atas rencana usaha
atau kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan.
“UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, boleh jadi merupakan harapan baru bagi masyarakat untuk mendapat jaminan lingkungan hidup yang baik sesuai amanat UUD 45 pasal 28. Berdasarkan UU tersebut, setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan wajib disertai AMDAL,” jelas Lamhot.
“Karenanya, jika sebelumnya sering
terdengar berita terjadinya kerusakan lingkungan oleh suatu perusahaan
karena AMDAL asal-asalan, mulai sekarang mari kita berperan dalam
memantau pelaksanaan AMDAL tersebut. Lihatlah apakah penyusunnya
memiliki kompetensi dan tersertifikasi di bidang itu? Apakah perusahaan
penyusun AMDAL teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan
apakah komisi penilainya memiliki lisensi untuk meluluskan AMDAL itu?”
tegas Lamhot.
Lamhot juga mengingatkan, meskipun
perusahaan yang akan menyusun AMDAL diwajibkan mengumumkan rencana AMDAL
tersebut melalui media masa, masyarakat harus tetap membuka mata dan
telinga jangan sampai ada perusahaan yang akan berdiri di sekitar lolos
dari peran serta masyarakat dalam penyusunan AMDAL.
Katanya,
undang-undang lingkungan hidup kali ini dengan jelas menyebutkan bahwa
pelanggar-pelanggar lingkungan dapat dikenakan sanksi pidana. Selain
perusahaan yang akan membangun proyek, pihak-pihak terkait seperti para
penyusun AMDAL pun dapat dikenakan sanksi jika terbukti memanipulasi
atau melakukan sesuatu yang melebihi wewenangnya dalam menetapkan
rencana pengendalian lingkungan.
“Masyarakat yang berhak terlibat dalam
penyusunan AMDAL berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah
masyarakat yang berkepentingan, masyarakat yang terpengaruh atas segala
bentuk keputusan dalam proses AMDAL, seperti kedekatan jarak tinggal
dengan rencana usaha atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor
pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan faktor
pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya.
Lamhot menyampaikan, dari semua
undang-undang yang dibuat adalah untuk mengurangi banyaknya masalah
AMDAL yang terjadi dan disebabkan oleh perusahaan-perusahaan yang berada
di sekitar Danau Toba dan sekitarnya. Masalah AMDAL juga dapat
disebabkan oleh kurang pedulinya penduduk yang tinggal di sekitar Danau
Toba.
“Jadi, yang membuat kerusakan di Danau Toba adalah
perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah aliran atau berlokasi di
daerah Danau Toba. Ini harus jadi perhatian serius sebelum pencemaran
yang makin parah justru akan mengancam kelangsungan hidup kita,” ujarnya
mengakhiri.(MSC)
0 Comments