Thomas
Koten ; Direktur Social Development Center
SUARA
KARYA, 25 Februari 2014
Setiap kali menjelang
pemilu, media massa cetak dan elektronik selalu dihiasi iklan-iklan politik.
Media massa relatif tidak pikir panjang menerima semua iklan yang disodorkan
para kandidat, karena dianggap sebagai rezeki musiman bagi perusahaan dan
pengelola media massa.
Salahkah itu? Tentu tidak.
Memang, salah satu fakta bahwa media massa adalah perusahaan. Sebagai sebuah
perusahaan, media massa tentu akan selalu berorientasi profit ekonomi. Semua
perusahaan media selalu bersaing untuk meraih profit ekonomi
sebanyak-banyaknya demi tetap lestari atau tetap eksisnya perusahaan media
massa. Persaingan itu dapat dilihat dari perang tarif iklan politik. Dan,
sengitnya persaingan itu mengingat jumlah media begitu banyak saat ini.
Di samping persaingan
antara media massa, tentu juga terjadi persaingan yang sangat ketat di antara
parpol dan para kontestannya atau antarpara kandidat yang menjadikan media
sebagai wadah pembangunan dan pembentukkan citra penaikan popularitas. Dan,
karena begitu ketatnya persaingan di antara berbagai kepentingan, maka
mencuatlah apa yang disebut konflik kepentingan. Muaranya adalah menyembulnya
persoalan lain yang bertalian dengan etika media yang memiliki misi moralnya.
Adalah sejauh mana media memerankan dirinya sebagi sosok etis yang
menjalankan misi moralnya dalam ikut serta memberikan pendidikan politik
rakyat.
Keberadaan media massa
cetak dan elektronik kini harus direnungkan bahwa kehadirannya selain sebagai
sebuah perusahaan yang berorientasi profit ekonomi, juga memiliki idealisme
sosial yang luhur. Dengan demikian, media massa di satu sisi memiliki saham
dengan orientasi profit ekonomi atau bisnis, tetapi di sisi lain memiliki tim
redaksi yang terdiri dari para jurnalis, kaum terpelajar profesional dengan
orientasi etis-idealis.
Implikasinya, lahirlah apa
yang disebut dengan konflik kepentingan, antara para pemegang saham dengan
kepentingan para jurnalis di mana kerap berjalan dengan deontologi bisnis
yang bercorak kapitalis, mengatur profesi jurnalis. Dalam hal ini, kaum
jurnalis dipaksa untuk menempatkan publik tidak lebih sebagai target market.
Karena itu, seringkali pula mencuat konflik antara kepentingan manajemen
perusahaan yang berorientasi bisnis dan kepentingan profesionalisme
redaksional yang berjuang mengembangkan idealisme media massa yang berdimensi
sosial nan luhur.
Pada saat-saat menjelang
pemilu, satu hal yang tidak terbantahkan adalah mencuatnya konflik
kepentingan antara kepentingan politik dari para kontestan yang merupakan
pihak pemasang iklan, yang tentu menyatu dengan kepentingan bisnis di satu
pihak. Di pihak lain, kepentingan redaksional berusaha memberikan pendidikan
rakyat sambil mempertahankan idealisme media lewat tanggung jawab moral
pemberitaan.
Dalam kaitan dengan iklan
politik dan kepentingan politik para kandidat ini, umumnya kepentingan
idealisme media dibuat tidak berdaya oleh kepentingan ekonomi yang bercorak
kapitalistik, sehingga media relatif tidak bisa 'ngotot' untuk memperbaiki
sistem pemilu yang cenderung mengarah kepada politik uang yang membahayakan
demokrasi atau kepentingan-kepentingan politik yang berpihak pada kepentingan
bangsa. Memang, semakin banyak kandidat yang menghamburkan uang untuk
beriklan di media massa cetak dan elektronik, semakin besar pula setoran yang
akan dikejarnya. Dalam situasi ini, media massa dipaksa mengalah dengan
pihak-pihak pemasang iklan politik. Menolak iklan di masa-masa menjelang
pemilu atau kampanye sebagai reziki misiman, memang menjadi sesuatu yang
'terlalu mewah' bagi media alias sangat mustahil.
Benturan kepentingan itu,
tentu akan berhadapan lagi dengan kepentingan publik media yang sering
melahirkan destabilisasi keseimbangan hubungan antara perusahaan media dengan
karya intelektual. Pertama, kepentingan para pembaca atau pemirsa yang secara
kolektif, institusi atau organisasi yang di satu sisi bersiteguh menginginkan
media yang bebas mengeksplorasi dan mengelaborasi apa saja, serta berani dan
kritis, tetapi di sisi lain sering juga menunjukkan sikap yang tidak toleran,
jika informasi yang dipublikasikan mengganggu mereka.
Kedua, kepentingan pasar
yang mencakupi seluruh komponen dalam masyarakat. Pasarlah yang akhirnya
menjadi penentu karakter bagi keberlanjutan interaksi antara media dengan
masyarakatnya. Masyarakat hendaknya jangan diposisikan sebagai konsumen
belaka yang pasif atau tong sampah yang dapat menampung apa saja yang dibuang
ke sana. Jika masyarakat ditempatkan sebagai konsumen belaka, yang diarahkan
untuk melihat media hanya dari sisi bisnis, dan bukan sebagai publik-kaum
terdidik, maka apa yang dinamakan sebagai misi jurnalis untuk mencerdaskan
dan memberikan pencerahan bagi masyarakat akan tinggal sebagai memori masa
silam yang terlalu manis.
Benturan antara
kepentingan, yakni perusahaan pengelola media, idealisme media yang
bersenyawa dengan para pekerja media nan idealis yang tidak lain adalah kaum
intelektual dan dengan para pembaca yang terdiri dari masyarakat sosial,
itulah yang kerap membuat rumitnya mengelola dan mengembangkan media di era
mutakhir saat ini. Eksistensi dan kualitas media ditentukan oleh sejauh mana
media hadir dan sanggup keluar dari problema kepentingan tersebut, yang
dikentalkan menjadi kepentingan ekonomi, politik, publik dan idealisme media.
Dengan tetap menjaga etika
dan idealismenya, media harus tidak henti-hentinya menunjukkan adanya
kekuatan redaksional yang bisa melawan subordinasi media oleh komitmen
politik dan kepentingan bisnis perusahaan pengelola media. Media harus secara
profesional memperhatikan kepentingan pembaca, pemirsa atau masyarakat umum
agar dalam perjalanannya tetap mendapatkan legitimasi publik sebagai penjamin
tetap eksis dan lestarinya media. ●
0 Comments