• Putra-putri Tartondui
“Paksakan, paksakan terus berbasa Simalungun, biar dia terbiasa,” demikian Edy Taralamsyah berpesan saat saya berkomunikasi via telepon dengan Faisal Saragih anak kandungnya. Rupanya Edy ingin putranya mengingat identitas dan budayanya.
Inilah salah satu contoh tragedi atau krisis identitas yang banyak terjadi pada generasi kedua. Bagi almarhum Taralamsyah ini tentu tragedi sejati. Ambisinya dan peluh yang dia pernah tekankan serta teteskan lenyap hanya di dirinya. Kebanggaannya yang begitu dalam pada budaya dan seni Simalungun hanya berakhir di eranya saja, tak menurun ke putra-putrinya dari sisi semangat untuk melanjutkan, apalagi ke cucunya.
Edy pun sadar, dia tidak bisa memaksakan kehendak, tentang identitas yang baru muncul padanya sendiri, kepada anaknya, Faisal. “Aku memang lahir di Banda Aceh tetapi bukan itu alasan untuk pernah menjadi lupa pada identitas saya,” kata Edy, yang berbahasa Simalungun pun dia akui tidak fasih hanya bisa memahami sedikit jika ada yang bertutur dalam bahasa Simalungun kepadanya.
“Kami semua telah 'mago' karena menikah dengan pasangan Melayu dan lainnya. Hanya saya yang menikah dengan putri Simalungun. Akan tetapi saya pun pernah tak berminat hingga istri mengingatkan saya pada identitas saya,” kata Edy.
Lebih parah lagi adek saya. “Sekarang kan saya sudah mulai menyukai musik Simalungun. Jika adek saya datang dan kebetulan mendengar melodi Simalungun yang saya putar, dia langsung marah dan meminta agar dimatikan saja. Untuk apa kau putar lagu Simalungun itu?”
Edy pun tidak bisa berkata apa walau dia tak mundur untuk mengasah memori lama tentang Simalungun, yang pernah setengah mati digeluti ayah mereka.
Taralamsyah memang pernah kecewa pada puak Simalungun. Namun demikian tak satu kalimat pun terucap agar putra-putrinya melupakan saja Simalungun. Lalu kenapa?
“Bapak sama sekali tidak pernah mengutarakan kejengkelan atau kekecewaan tentang puak Simalungun. Akan tetapi kita anak-anaknya secara tak sadar telah terbentuk oleh keadaan. Walau bapak ngak bercerita kita tahu bagaimana bapak telah tersingkir sendiri karena bakat dan profesinya,” kata Edy.
Ada orang-orang baik dan banyak juga yang pernah menolong Taralamsyah. Ini tidak dilupakan keluarga. Akan tetapi plus minus cenderung ke minus dalam relasi dengan Simalungun, apa lagi terkait apresiasi dengan status Taralamsyah sebagai Begawan musik Simalungun. Kehebatannya tak memberi banyak hal, ya jasa dan peruntungan ekonomi.
Ketika masih muda kita sedih dan prihatin. Ingin menolong ayah secara ekonomi tetapi tidak bisa.
Ayah sungguh tak mampu dan hidup miskin. Ini tragedi lain pada statusnya sebagawan dengan bukti. Contoh, ketika ada acara rekaman Lokananta, piringan hitam direkam dengan berisikan musik Simalungun, Toba dan Karo.
“Saya masih ingat Bapak jadi ketua tim Lokananta yang juga turut digarap oleh Nahum Situmorang dan Jaga Depari. Saya ingat saat itu rumah kami di Medan menjadi ajang pertemuan tiga Begawan musik Batak dari tiga sub-etnis. Bapak mengomandoi proyek. Saya melihat sendiri respek dari dua sejawatnya itu.”
Dengan kata lain Taralamsyah bukan orang sembarangan karena Jaga Depari dan Nahum Situmorang saja menjadikannya sebagai pemimpin proyek lokananta. Akan tetapi semuanya tidak terlihat dari segi apresiasi dan ekonomi, beda dengan Jaga Depari. Dan tentu beda dengan Nahum Situmorang, yang pada dekade 1970-an pernah dikenang lewat pesta besar-besaran dengan kehadiran para artis nasional, termasuk Hetty Koes Endang.
Waktu memang tidak pernah berpihak secara ekonomi pada Taralamsyah. Di hari tuanya, untung anak-anak sudah mulai mampu membantu. “Jangan harapkan bapak mau meminta bantuan. Dia menjalani saja semuanya, ya melodinya, keindahannya sekaligus kepiluannya.”
Kita saja anak-anak paham dan sadar bahwa orangtua tidak bisa dibiarkan merana tanpa bantuan. “Akhirnya saat saya merantau ke Jakarta dan mulai bisa berpenghasilan, kita baru bisa membantu bapak.”
Anak-anaknya juga sebenarnya pintar dan suka musik serta bisa memainkan aneka instrumen. Namun itu sebatas suka memainkan saja tetapi tidak lagi terpikir untuk mencari penghidupan dari musik. Musik hanya sekadar hobi tetapi warisan bakat yang luar biasa dari sang ayah tidak diasah demi penajaman indentitas Simalungun, setidaknya lewat musik dengan kualitas prima.
Hilanglah generasi sebagai pakar musik seiring dengan kepergian Taralamsyah untuk selamanya.
Untung almarhum istri saya menyadarkan keluarga tentang kebesaran bakat seni Bapak. Jika tidak saya pun mungkin tidak lagi sudi mengingat itu semua dan mungkin lebih baik kukubur semua masa lalu nan pahit itu.
Namun istri saya konstan mendesak dan mengingatkan betapa musik karya bapak itu luar biasa dan merupakan asset Simalungun dan juga asset bangsa.
Seberapa parahnya derita Taralamsyah sehingga putra-putrinya tartondui? Edy mengingat banyak hal. Akan tetapi memori paling pahit adalah saat pertemuan di Jakarta.
Taralamsyah yang dipanggil ke Jakarta oleh DR Cosmas Batubara, saat itu menjabat Menteri Perumahan Rakyat, pulang kembali ke Jambi. Ini karena kesenian Jambi melejit di tingkat nasional berkat sentuhan Taralamsyah.
Rencana awal agar Taralamsyah menggeluti seni budaya Simalungun dengan markas di Jakarta, terpental.
Taralamsyah ditelikung orang lain dengan rumor bahwa Taralamsyah menuntut banyak hal. “Bapak saya hanya meminta disediakan tempat tinggal biasa dan nafkah demi dapur ngebul saja,” kata Edy.
Taralamsyah ditelikung muridnya sendiri, yang kemudian dipakai untuk mendalami seni budaya Simalungun di Jakarta.
Adakah muridnya itu berhasil mengangkat status dan harkat seni budaya Simalungun di tingkat nasional?
Tidak! Tidak ada bekasnya. Hal yang ada, setelah semakin banyak perantau Simalungun sukses, barulah mereka bertanya-tanya, mengapa dan ada apa dengan budaya Simalungun yang melempem?
Akhir kata, Simalungun kini seperti, “dilou dilou di ari na torang tumang.” Simalungun kehilangan ikon, yang kini hanya memiliki Sarudin Saragih, yang juga telah kehilangan aura Taralamsyah. Tak ada begawan sekaliber Taralamsyah walau anak-anak jenius Simalungun bermunculan. Tak ada penerus yang minat pada musik tetapi minat memburu kuliah di ITB, UI, USU tetapi tidak untuk Sastra Daerah.
Generasi baru serasa tak mau terulang pada dirinya tragedi Taralamsyah.
Dosa kolektif Simalungun kah ini semua?
Anjungan budaya Simalungun pun di TMII di sore hari Sabtu (22/2) dipakai untuk acara latihan tari Jawa.
Oh Simaloengoen…
Simon Saragih. FT FB IST |
“Paksakan, paksakan terus berbasa Simalungun, biar dia terbiasa,” demikian Edy Taralamsyah berpesan saat saya berkomunikasi via telepon dengan Faisal Saragih anak kandungnya. Rupanya Edy ingin putranya mengingat identitas dan budayanya.
Inilah salah satu contoh tragedi atau krisis identitas yang banyak terjadi pada generasi kedua. Bagi almarhum Taralamsyah ini tentu tragedi sejati. Ambisinya dan peluh yang dia pernah tekankan serta teteskan lenyap hanya di dirinya. Kebanggaannya yang begitu dalam pada budaya dan seni Simalungun hanya berakhir di eranya saja, tak menurun ke putra-putrinya dari sisi semangat untuk melanjutkan, apalagi ke cucunya.
Edy pun sadar, dia tidak bisa memaksakan kehendak, tentang identitas yang baru muncul padanya sendiri, kepada anaknya, Faisal. “Aku memang lahir di Banda Aceh tetapi bukan itu alasan untuk pernah menjadi lupa pada identitas saya,” kata Edy, yang berbahasa Simalungun pun dia akui tidak fasih hanya bisa memahami sedikit jika ada yang bertutur dalam bahasa Simalungun kepadanya.
“Kami semua telah 'mago' karena menikah dengan pasangan Melayu dan lainnya. Hanya saya yang menikah dengan putri Simalungun. Akan tetapi saya pun pernah tak berminat hingga istri mengingatkan saya pada identitas saya,” kata Edy.
Lebih parah lagi adek saya. “Sekarang kan saya sudah mulai menyukai musik Simalungun. Jika adek saya datang dan kebetulan mendengar melodi Simalungun yang saya putar, dia langsung marah dan meminta agar dimatikan saja. Untuk apa kau putar lagu Simalungun itu?”
Edy pun tidak bisa berkata apa walau dia tak mundur untuk mengasah memori lama tentang Simalungun, yang pernah setengah mati digeluti ayah mereka.
Taralamsyah memang pernah kecewa pada puak Simalungun. Namun demikian tak satu kalimat pun terucap agar putra-putrinya melupakan saja Simalungun. Lalu kenapa?
“Bapak sama sekali tidak pernah mengutarakan kejengkelan atau kekecewaan tentang puak Simalungun. Akan tetapi kita anak-anaknya secara tak sadar telah terbentuk oleh keadaan. Walau bapak ngak bercerita kita tahu bagaimana bapak telah tersingkir sendiri karena bakat dan profesinya,” kata Edy.
Ada orang-orang baik dan banyak juga yang pernah menolong Taralamsyah. Ini tidak dilupakan keluarga. Akan tetapi plus minus cenderung ke minus dalam relasi dengan Simalungun, apa lagi terkait apresiasi dengan status Taralamsyah sebagai Begawan musik Simalungun. Kehebatannya tak memberi banyak hal, ya jasa dan peruntungan ekonomi.
Ketika masih muda kita sedih dan prihatin. Ingin menolong ayah secara ekonomi tetapi tidak bisa.
Ayah sungguh tak mampu dan hidup miskin. Ini tragedi lain pada statusnya sebagawan dengan bukti. Contoh, ketika ada acara rekaman Lokananta, piringan hitam direkam dengan berisikan musik Simalungun, Toba dan Karo.
“Saya masih ingat Bapak jadi ketua tim Lokananta yang juga turut digarap oleh Nahum Situmorang dan Jaga Depari. Saya ingat saat itu rumah kami di Medan menjadi ajang pertemuan tiga Begawan musik Batak dari tiga sub-etnis. Bapak mengomandoi proyek. Saya melihat sendiri respek dari dua sejawatnya itu.”
Dengan kata lain Taralamsyah bukan orang sembarangan karena Jaga Depari dan Nahum Situmorang saja menjadikannya sebagai pemimpin proyek lokananta. Akan tetapi semuanya tidak terlihat dari segi apresiasi dan ekonomi, beda dengan Jaga Depari. Dan tentu beda dengan Nahum Situmorang, yang pada dekade 1970-an pernah dikenang lewat pesta besar-besaran dengan kehadiran para artis nasional, termasuk Hetty Koes Endang.
Waktu memang tidak pernah berpihak secara ekonomi pada Taralamsyah. Di hari tuanya, untung anak-anak sudah mulai mampu membantu. “Jangan harapkan bapak mau meminta bantuan. Dia menjalani saja semuanya, ya melodinya, keindahannya sekaligus kepiluannya.”
Kita saja anak-anak paham dan sadar bahwa orangtua tidak bisa dibiarkan merana tanpa bantuan. “Akhirnya saat saya merantau ke Jakarta dan mulai bisa berpenghasilan, kita baru bisa membantu bapak.”
Anak-anaknya juga sebenarnya pintar dan suka musik serta bisa memainkan aneka instrumen. Namun itu sebatas suka memainkan saja tetapi tidak lagi terpikir untuk mencari penghidupan dari musik. Musik hanya sekadar hobi tetapi warisan bakat yang luar biasa dari sang ayah tidak diasah demi penajaman indentitas Simalungun, setidaknya lewat musik dengan kualitas prima.
Hilanglah generasi sebagai pakar musik seiring dengan kepergian Taralamsyah untuk selamanya.
Untung almarhum istri saya menyadarkan keluarga tentang kebesaran bakat seni Bapak. Jika tidak saya pun mungkin tidak lagi sudi mengingat itu semua dan mungkin lebih baik kukubur semua masa lalu nan pahit itu.
Namun istri saya konstan mendesak dan mengingatkan betapa musik karya bapak itu luar biasa dan merupakan asset Simalungun dan juga asset bangsa.
Seberapa parahnya derita Taralamsyah sehingga putra-putrinya tartondui? Edy mengingat banyak hal. Akan tetapi memori paling pahit adalah saat pertemuan di Jakarta.
Taralamsyah yang dipanggil ke Jakarta oleh DR Cosmas Batubara, saat itu menjabat Menteri Perumahan Rakyat, pulang kembali ke Jambi. Ini karena kesenian Jambi melejit di tingkat nasional berkat sentuhan Taralamsyah.
Rencana awal agar Taralamsyah menggeluti seni budaya Simalungun dengan markas di Jakarta, terpental.
Taralamsyah ditelikung orang lain dengan rumor bahwa Taralamsyah menuntut banyak hal. “Bapak saya hanya meminta disediakan tempat tinggal biasa dan nafkah demi dapur ngebul saja,” kata Edy.
Taralamsyah ditelikung muridnya sendiri, yang kemudian dipakai untuk mendalami seni budaya Simalungun di Jakarta.
Adakah muridnya itu berhasil mengangkat status dan harkat seni budaya Simalungun di tingkat nasional?
Tidak! Tidak ada bekasnya. Hal yang ada, setelah semakin banyak perantau Simalungun sukses, barulah mereka bertanya-tanya, mengapa dan ada apa dengan budaya Simalungun yang melempem?
Akhir kata, Simalungun kini seperti, “dilou dilou di ari na torang tumang.” Simalungun kehilangan ikon, yang kini hanya memiliki Sarudin Saragih, yang juga telah kehilangan aura Taralamsyah. Tak ada begawan sekaliber Taralamsyah walau anak-anak jenius Simalungun bermunculan. Tak ada penerus yang minat pada musik tetapi minat memburu kuliah di ITB, UI, USU tetapi tidak untuk Sastra Daerah.
Generasi baru serasa tak mau terulang pada dirinya tragedi Taralamsyah.
Dosa kolektif Simalungun kah ini semua?
Anjungan budaya Simalungun pun di TMII di sore hari Sabtu (22/2) dipakai untuk acara latihan tari Jawa.
Oh Simaloengoen…
- Simon Saragih Lang pale heran siam da... Komponis Amadeus Wolfgang Mozard juga bernasib tragis, bahkan jauh lebih tragis...
- Sultan Saragih II Membuka mata...gambaran kematian seni tradisi simalungun, hal yg sama hampir terjadi pada banyak sisi kehidupan seniman tradisi simalungun, perlu tanggung jawab sosial bersama kepada mereka yg telah dititipkan semangat dan intuisi bangsa...
- Purba Simalungun aiiih roh lungunni....
semoga boi hita marsitogu-toguan, khusus ni manganju generasi kedua nidokan. ra ma au dihut bani generasi kedua ai... - Sultan Saragih II Apa benar Anjungan Sumut khususnya Rumah Bolon Simalungun sekarang dipakai u latihan tari jawa ? Wow...
- Purba Simalungun Sedo Jawa tapi Melayu do lawei... hehehe - parbarendeng ta ai ge... (biasa do ai simbalog)
Ai halani hita belum ada sanggar seni yg bisa intens menggunakanya... - dari pada lang adong na mamake... ipangindo sidea hubani pengelola ase ipinjam.... na...ipinjam.... naha bahenon.
Porini adong ma sanggar seni Simalungun na boi itens rutin latihan ijai, pengelola anjungan juga senang dan sangat mendukung.... mundur secara teratur do holi sanggar Melayu ai. - Sultan Saragih II Memang harus ada lembaga khusus yg menghimpun pengetahuan n "taste" tradisi simalungun lalu menjembatani atau menghubungkan generasi "na magou" dengan tanah asal, penting dan perlu...
- Jaberkat Purba kelihatannnya ada kekecewaan keluarga makkela Taralamsyah ini pada Simalungun.
Anjungan TMII, pe ongga do ipakei Simalungun untuk latihan manortor, tahun 80an. Sonari kan lang adong be na ra mangajari manortor tortor Simalungun ?
Bani acara pesta2, panortor ni ai halak Simalungun, tapi lang tortor Simalungun be. - Simon Saragih Anehnya ya, saat bertutur Bang Edy Taralamsyah Saragih Garingging ini tidak memperlihatkan mimik marah atau dendam. Bang Edy bicara datar saja. Mimiknya pun datar saja.
Apa dia telah ingin menghapus memori pahit? Mungkin saja. Sampai saya peluk Bang Edy ini seraya berkata, "Mulak ma tondui mu ai da Bang."
Bang Edy pun tersenyum sumringah disaksikan Rossa Annie Osderia Sinaga, John E Saragih, dan lainnya.
Keluarga ini menerima terbuka ide-ide kita "Jambar ni Loja".
Maka, jangan biarkan kesekian kalinya semua itu tak terwujud lagi. - Jaberkat Purba Anggo domma adong isurahon, ulang be sundat, borit pangahap lo.
selamat marhobas ma nasiam... - Rossa Annie Osderia Sinaga Jaberkat Purba: bahatpe porlu hasoman marhorja, bere ham ma dirimu tene... rup hita marhobas
- Frans Purba Sedikit saya ingin nimbrung...saya sedikit miris membaca topic diatas dgn judul "dosa kolective Simalungun " dan ditutup dgn ejekan -Anjungan Budaya Simalungun di TMII dipakai latihan tari Jawa pd waktu tertentu...... seolah2 segala hal menjadi malapetaka.Secara umum harus dimengerti pd sejarah simalungun yg sejak jaman permulaan perkebunan di Sumatera timur -maka simalungun menjadi pelengkap penderita yg sempurna dgn tekanan sejarah yg demikian berat...Tanah2 yg luas dan subur itu menjadi primadonna bagi penjajah...emigrasi toba dan efek dominasi budaya tak perduli dgn keaslian timur landen....penjajahan jepang yg sadis....revolusi sosial yg membumi hanguskan simalungun...RIS dan NST yg sangat menganak tirikan simalungun...tekanan demikian besar hampir selama 200 tahun ...dianggap menjadi dosa kolective simalungun...?
- Simon Saragih Frans Purba, diskusi do hita on tene... He he he.. Manang semacam dialektika menuju tesa baru.
Dosa kolektif Simalungun? Ada tanda "?" ijai.. he he heh. Bukan tanda "!", artina dahkam,lang kesimpulan tapi a question do ge dahkam..
Saya miris memang dan bahkan berkata, "Aih, nange!" Ini ekspresi pribadi semata. Salah tak salah, pas tak tepat, itulah ekspresi pribadi saya Lae, he he.
Budayawan seperti alm Taralamsyah tak "bertanda" di tengah generasi Simalungun pasca kemerdekaan, yang sebenarnya 'belum berbuat". Ada dua menteri, ada beberapa jenderal, ada Wali Kota. Lebih dari cukup, untuk menjadi motor penjunjung identitasnya. What 've they done? Enriched without social responsibility? Ingin aku dibantah kuat soal ini, terutama oleh elite Simalungun yang jaya pasca kemerdekaan ini...
Menarik, jika saya bisa tahu...
Ini tentunya juga menjadi swa-kritik bagi saya.. - Simon Saragih Ketika ada rapat "Jambar ni Loja" pada 22 Desember 2014 lalu, ada pesan canda di BBM Group Ehamsi Jabodetabek dari Bang Edy Taralamsyah Saragih Garingging. "Pada dimana? Saya sudah ada di lokasi di anjungan Simalungun, tak kulihat ada apa-apa, yang ada anak-anak latihan tari Jawa di Anjungan Simalungun TMII."
Lalu aku tiba kemudian, langsung naik tangga. Kemudian benar, aku lihat liukan indah ritmis dengan melodi Jawa di diri dua penarik cilik Jawa. Aku suka tari se-Nusantara dengan modifikasi yang memukau saya. Lalu menerawang pemikiran, "Dimana penarik cilik Simalungun?" Ini bukan berarti saya tak suka penarik cilik Jawa itu. Aku suka sekali.
Dimana milik saya? - Simon Saragih Derita 200 tahun Simalungun?
Yahudi, yang hanya 11 juta, menurut tulisan-tulisan Yahudi itu sendiri, ribuan tahun terkena "pogrom". Lepas dari politik zionist yang saya pun tidak suka, ada yang bertahan dengan ribuan tahun "pogrom". "Kami Yahudi". He he he...
Mereka tak semata-mata mengeluhkan eksternalitas yang tak kondusif itu. Mereka memiliki satu keyakinan dan dignity, "Kami Yahudi". Ini contoh saja, tentang sebuah kelompok dengan kemampuan menunjukkan identity he hehe
Ingin mendengar, "Kami Simalungun". - Simon Saragih Kesimpulan di diri saya adalah: Sejarah adalah sejarah yang juga dialami secara lebih parah oleh Korea dan China, yang merasa telah "ditindas Jepang". Ada peristiwa Nanking, dan jugunyanfu. Kita mengalami rodi dan semacamnya.
Tuhan maka Kasih, Tuhan tetap membiarkan Simalungun, bibit Simalungun ada. Bibit itu, bagaimana agar berkembang dan ber-dignity...
Ai ma LAwei.. he he he - Sultan Saragih II Dosa kolektif simalungun kah ini semua ?
Menurut penafsiran ku, dosa adalah perbuatan salah dihadapan tuhan sedangkan kolektif berarti dilakukan bersama sama.
Dari uraian tulisan di atas, maksud sebenarnya hendak memperlihatkan kegagalan sebuah generasi dalam menyusun kesadaran sebuah bangsa, membangun strategi bersama dan saling menopang kelemahan elemen pembentuknya.
"Jiwa bangsa simalungun", yaitu karakter dan sifat khasnya sudah dititipkan Tuhan. Ada salah satu generasi yg memiliki andil dalam memperlihatkan ekspresi bangsa tsb, salah satunya Bapa Taralamsyah. Tapi terabaikan, tdk ditopang.
Kesadaran sebuah bangsa dan saling menopang sesama pembentuk elemen bangsa, tidak menjadi tujuan utama sehingga menghasilkan simalungun na magou (hilang), kandas. Ini lah apresiasiku tentang makna dosa kolektif, sebuah pengakuan bahwa ada kesalahan diantara kita, mengabaikan pelaku elemen bangsa itu terengah engah, pusing sendiri kemudian runtuh dengan sendirinya. - Simon Saragih Lepas dari pertanyaan Lawei Frans Purba, saya punya pengamatan sendiri tentang elite-elite Simalungun pasca-Kemerdekaan.
Elite-elite ini membiarkan dirinya seperti terputus dari akarnya dan asyik sendiri menikmati singgasana dan keharuman namanya. Ini beda dengan Gebu Minang, dimana elitenya melihat ke asalnya.
Ada beberapa elite Simalungun yang ingat bawah, tidak gila hormat, tidak chauvinistis, tidak snob. Ingin kita elite Simalungun seperti ini semakin banyak.
Mengapa sasaran saya adalah elite? Karena merekalah yang punya pengaruh besar, yang seharusnya sadar untuk mengemban puaknya.
Kasus atau tragedi alm Taralamsyah adalah satu contoh saja, yang kebetulan menonjol habis-habisan.
Opini saya ini, jika memang terjadi, untuk kita perbaiki ke depan. - Setia Dermawan Purba Tahun 1991, tepatnya bulan Juni saya berkunjung ke rumah Tulang Taralamsyah Saragih di Jambi. Saya memperkenalkan diri, dan langsung disambutnya : gak usah kau mau jadi seniman Simalungun.Saya pun terkejut mendengar sambutannya kepada saya. Apa yang harus kujawab ? Hal inilah yg ingin saya tuliskan nanti. Ada sekitar 3 jam sayancarai beliau, kekecewaannya terlihat dari jawabannya, itu juga membuat dirinya merantau ke Jambi. Saya pikir, kita tak perlu banyak berharap, mari kita berbuat walau sedikit demi sedikit.Tahun 2012 yg lalu,saya dengan beberapa orang generasi muda yg disponsori EHAMSI Jabotabek mengadakan diskusi budaya di Balei Bolon Simalungun di TMII. Banyak halfyg didiskusikan. Saran saya pada waktu itu agar dimanfaatkan balai inimenjadi tempat lathan budaya Simalungun. Ternyata gak ada dimanfaatkan. Kita banyak berbicara tentang budaya Simalungun, tapi sedar bicara saja, tapi tidak melaksanakannya. Sekali lagi, walaupun kecil, mari kita berbuat.Seperti yg dimulai Lae Simon membuat buku Taralamsyah Saragih, mari kita dukung. Tahun lalu saya berbuat sedikit untuk kebudayaan Simalungun, antara lain sebagai pembicara pada komprensi Folklore se Asia di Yogya pd bulan Juni dg makalah : huda-huda/toping-toping Simalungun. Bulan September membawa seniman Simalungun ke Festival Danau Toba. Bulan September membawa Tim kesenian mengikuti pagelaran musik gereja bernuansa Simalungun di Tarutung. Bulan Desember bersama IMASUSU membuat pagelaran budaya dan tribute to Sarudin Saragih. Walaupun sedikit, mari kita berbuat
- Mantab.....Semoga Bukunya Podas Salosei
0 Comments