Pematangsiantar-Museum Simalungun adalah bangunan spesifik Simalungun
menyimpan berbagai benda-benda dan barang-barang purbakala peninggalan
kerajaan-kerajaan di Simalungun. Berbagai koleksi yang ada di Museum
Simalungun yang terletak di Pusat Kota Pematangsiantar, kini lusuh dan
kusam dan terancam hancur dimakan rayap.
Pada tanggal 5 Januari 2014 lalu, penulis mengunjungi Museum Kebanggaan Simalungun tersebut. Di pintu gerbang Museum itu, penulis dikejutkan dengan kondisi pagar sebelah kiri depan museum roboh akibat selokan tergerus air. Kemudian melangkah ke belakang Museum itu tampak bangunan yang terbengkalai sudah belasan tahun.
Staf honorer Museum Simalungun, Lili br Purba Pakapak memandu penulis untuk melihat dengan kasat mata isi Museum Simalungun. Kurang lebih dari 30 menit, Batakpos mengamati koleksi-koleksi yang ada dalam museum, baik di lantai dasar dan lantai satu.
Isi dari Museum Simalungun itu diantaranya peralatan rumah tangga seperti : Parborason (tempat menyimpan beras), Pingga Pasu (piring nasi untuk raja), Tatabu (tempat menyimpan air), abal-abal (tempat menyimpan garam).
Peralatan pertanian seperti : wewean (alat memintal tali), hudali (cangkul), tajak (alat membajak tanah), agadi (alat menyadap nira), peralatan perinakan seperti bubu (penangkap ikan dari bamboo), taduhan (tempat menyimpan ikan), hirang-hirang (jaringan penampung ikan), hail (kail).
Tidak hanya disitu, penulis juga melihat kasat mata alat-alat kesenian seperti Ogung, Mong-mong, Heseh, Gondrang, Sarunei, Sordam, Arbab, Husapi dan alat-alat perhiasan seperti Suhul Gading (keris), raut (pisau kecil), Gotong (kopiah laki-laki), bajut (tas wanita), Bulang (tudung wanita), Suri-suri (selendang wanita), Gondit (ikat pinggang wanita), Doramani (perhiasan kepala pria).
Secara kasat mata, koleksi-koleksi Museum Simalungun tersebut kurang terawat dengan baik. Ragam koleksi hanya diletakkan pada dalam lemari biasa yang bisa dihinggapi serangga dan debu.
Banyak peninggalan sejarah itu dibiarkan lapuk dan using tanpa adaya upaya pengawetan dan perawatan yang maksimal. Sepertinya Pemerintah Kabupaten Simalungun kurang peduli dengan keberadaan Museum Simalungun tersebut. Perawatan dan pemeliharaan hanya dilimpahkan kepada Yayasan Museum Simalungun yang diketuai Drs Djomen Purba Pakapak.
Pandangan juga tertuju kepada rangka bangunan yang terbengkalai di belakang museum tersebut. Bangunan yang diperuntukkan gedung pertunjukan Adat, Budaya, Seni Simalungun serta ruang serga guna itu sudah terbengkalai pembangunannya selama 20 tahun.
Guna melanjutkan pembangunan yang terbengkalai itu, Yayasan Museum Simalungun telah membuat proposal pembangunan dengan anggaran Rp 1.185.000.000. Proposal itu ditanda tangani oleh Ketua Djomen Purba dan Sekretaris Tuahman Saragih. Namun hingga kini hasil dari proposal itu belum diketahui pasti.
Menurut Staf honorer Museum Simalungun, Lili br Purba Pakapak, keberadaan Museum Simalungun memang memprihatinkan. Selain biaya operasional dan perawatan minim, kunjungan ke Museum Simalungun dari 2005 hingga 2014 sangat minim.
Dari data yang terpajang di papan di Ruang Staf Museum Simalungun, jumlah kunjungan dari tahun 2005 hingga 2010 hanya 156 orang setiap bulannya. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah kunjungan pada tahun 1972 hingga 2001 yang mencapai 4600 orang setiap bulannya.
Menurut Lili, tiga pegawai staf Museum Simalungun hanya diupah Rp 500.000 per bulan. Mereka meminta Pemkab Simalungun mengalokasikan anggaran untuk staf Museum Simalungun sesuai dengan standar.
“Kita hanya diupah minim. Hanya dengan isme kita terhadap Simalungun, hingga kini kami bertahan menjadi staf Museum Simalungun ini. Kita berharap ada perhatian Bupati Simalungun,”kata Lili br Purba didampingi Trieselda br Purba Tua, staf lainnya. Asenk lee saragih (Berita Terbuang Sayang)
Pada tanggal 5 Januari 2014 lalu, penulis mengunjungi Museum Kebanggaan Simalungun tersebut. Di pintu gerbang Museum itu, penulis dikejutkan dengan kondisi pagar sebelah kiri depan museum roboh akibat selokan tergerus air. Kemudian melangkah ke belakang Museum itu tampak bangunan yang terbengkalai sudah belasan tahun.
Staf honorer Museum Simalungun, Lili br Purba Pakapak memandu penulis untuk melihat dengan kasat mata isi Museum Simalungun. Kurang lebih dari 30 menit, Batakpos mengamati koleksi-koleksi yang ada dalam museum, baik di lantai dasar dan lantai satu.
Isi dari Museum Simalungun itu diantaranya peralatan rumah tangga seperti : Parborason (tempat menyimpan beras), Pingga Pasu (piring nasi untuk raja), Tatabu (tempat menyimpan air), abal-abal (tempat menyimpan garam).
Peralatan pertanian seperti : wewean (alat memintal tali), hudali (cangkul), tajak (alat membajak tanah), agadi (alat menyadap nira), peralatan perinakan seperti bubu (penangkap ikan dari bamboo), taduhan (tempat menyimpan ikan), hirang-hirang (jaringan penampung ikan), hail (kail).
Tidak hanya disitu, penulis juga melihat kasat mata alat-alat kesenian seperti Ogung, Mong-mong, Heseh, Gondrang, Sarunei, Sordam, Arbab, Husapi dan alat-alat perhiasan seperti Suhul Gading (keris), raut (pisau kecil), Gotong (kopiah laki-laki), bajut (tas wanita), Bulang (tudung wanita), Suri-suri (selendang wanita), Gondit (ikat pinggang wanita), Doramani (perhiasan kepala pria).
Secara kasat mata, koleksi-koleksi Museum Simalungun tersebut kurang terawat dengan baik. Ragam koleksi hanya diletakkan pada dalam lemari biasa yang bisa dihinggapi serangga dan debu.
Banyak peninggalan sejarah itu dibiarkan lapuk dan using tanpa adaya upaya pengawetan dan perawatan yang maksimal. Sepertinya Pemerintah Kabupaten Simalungun kurang peduli dengan keberadaan Museum Simalungun tersebut. Perawatan dan pemeliharaan hanya dilimpahkan kepada Yayasan Museum Simalungun yang diketuai Drs Djomen Purba Pakapak.
Pandangan juga tertuju kepada rangka bangunan yang terbengkalai di belakang museum tersebut. Bangunan yang diperuntukkan gedung pertunjukan Adat, Budaya, Seni Simalungun serta ruang serga guna itu sudah terbengkalai pembangunannya selama 20 tahun.
Guna melanjutkan pembangunan yang terbengkalai itu, Yayasan Museum Simalungun telah membuat proposal pembangunan dengan anggaran Rp 1.185.000.000. Proposal itu ditanda tangani oleh Ketua Djomen Purba dan Sekretaris Tuahman Saragih. Namun hingga kini hasil dari proposal itu belum diketahui pasti.
Menurut Staf honorer Museum Simalungun, Lili br Purba Pakapak, keberadaan Museum Simalungun memang memprihatinkan. Selain biaya operasional dan perawatan minim, kunjungan ke Museum Simalungun dari 2005 hingga 2014 sangat minim.
Dari data yang terpajang di papan di Ruang Staf Museum Simalungun, jumlah kunjungan dari tahun 2005 hingga 2010 hanya 156 orang setiap bulannya. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah kunjungan pada tahun 1972 hingga 2001 yang mencapai 4600 orang setiap bulannya.
Menurut Lili, tiga pegawai staf Museum Simalungun hanya diupah Rp 500.000 per bulan. Mereka meminta Pemkab Simalungun mengalokasikan anggaran untuk staf Museum Simalungun sesuai dengan standar.
“Kita hanya diupah minim. Hanya dengan isme kita terhadap Simalungun, hingga kini kami bertahan menjadi staf Museum Simalungun ini. Kita berharap ada perhatian Bupati Simalungun,”kata Lili br Purba didampingi Trieselda br Purba Tua, staf lainnya. Asenk lee saragih (Berita Terbuang Sayang)
Museum Simalungun. Foto-foto Asenk Lee Saragih |
Museum Simalungun |
0 Comments