Info Terkini

10/recent/ticker-posts

"Seng Pot Au Be Tano na i Sinaman Ai"

Lagunim. Foto Simon Saragih
SENANDUNG NENEK BERUSIA 93 TAHUN


"Dikatakan pada saya, jika memang masih mau, ada kemungkinan tanah milik bapak saya di Sinaman dimiliki lagi. Akan tetapi huhatahon, seng pot au be tano na i SInaman ai, sukkup ma na dop in," demikian penuturan Lagunim Purba Sidadolok, kelahiran 1921 atau berusia 93 tahun.

Dia adalah putri kandung Tuan Sinaman yang wafat pada 1944, raja Simalungun terakhir yang dimakamkan dan meninggalnya dengan cara tenang sebelum era revolusi sosial. Maksud hati sebenarnya menemui Sintua AW Saragih tetapi sedang berada di Balige.

Seorang ibu di rumah St AW Saragih lalu membawa saya ke rumah Lagunim, satu blok di belakang rumah AW Saragih. Ternyata Lagunim adalah Inanggian kandung dari AW Saragih. "Eta ham ma botou hu rumah ni Oppung, bana pe ibotoh do kisah revolusi sosial ai."

Di atas pintu rumah seperti biasa rumah-rumah orang Simalungun dan Batak lainnya, tertera tuisan J SIjabat dan L Purba. Ya, Lagunim adalah istri dari almarhum SIjabat yang sudah turun temurun tinggal di Sinaman dengan bahasa Simalungun yang kental ala Sinaman, seperti dikatakan Lagunim.

Dia pun bercerita tentang kisah revolusi sosial yang memang turut menelan nyawa Jamok SIdadolog, adek kandungnya, yang juga pejabat terakhir Partuanan SInaman, yang masuk wilayah Kerajaan Pane.
Mengapa Jamok Sidadolog "dihabisi"?

Kisahnya, suatu hari kelompok Saragih Ras mengundang Jamok ke sebuah tempat dengan alasan ada sebuah pertemuan penting. Jamok pun mengikut. Akan tetapi panggilan itu adalah sebuah tipu muslihat yang kemudian menjadi awal dari sebuah akhir.

SIngkat kata, Jamok pun dibunuh dan jenazahnya di buang di sebuah jembatan. "Kami tahu lokasi jembatan itu dan ingin melihat jenazahnya untuk terakhir kali. Namun semua kami anggota keluarga memilih untuk tidak melihat dan bertahan saja di rumah," kata Lagunim.

"Bagaimana kami bisa melihatnya sedangkan kami sudah sangat ketakutan. Kami dengar ucapan-ucapan bahwa ganupan sahutu-sahutu ni raja ikkon do iboishon," demikian Lagunim, ibu dari tujuh putra dan putri.
Sahutu-sahutu yang dia maksud adalah semua anggota keluarga Partuanan Sinaman. "Saya sendiri pun memang hidup dalam ketakutan. Karena depresi di saat revolusi itu, saya menjadi sakit. Saya berobat ke Raya Bayu," kata Lagunim.

Mantri Kesehatan di Raya Bayu, yang zaman dulu sangat terkenal sebagai satu-satunya pusat layanan kesehatan dengan alat-alat ala kadarnya, memberi pesan pada Lagunim. "Jangan terlalu banyak memendam kekhawatiran, pikirkanlah hidup seolah-olah hidup itu hanya untuk hari saja dan jangan didera ketakutan," kata Lagunim mengenang kembali ucapan mantri kesehatan itu.

"Ya memang, mantri itu benar sebab saya kira saya sakit karena didera ketakutan," lanjut Lagunim.
Takut akan sesuatu yang tidak jelas tetapi juga takut pada sesuatu yang jelas, yakni kematian saudaranya yang jelas dan menjadi penyebab ketakutan merebak luar biasa dan sehari-hari menghantui. "Melihat tetangga pun kami sudah seperti ketakutan. Saya melihat nasib saya sendiri yang begitu memerihkan saat itu. Tadinya tetangga berubah menjadi hal yang jauh dari menyenangkan."

Akan tetapi Tuhan dia rasakan Maha Baik dan dia pun berangsur sehat dan segar serta bisa melanjutkan kehidupan. Akhirnya Lagunim pun berpindah ke Pematang Siantar bersama seorang suami yang dulu adalah seorang anggota Kepolisian RI. Hingga kini dia masih menerima uang pensiunan dari profesi almarhum suaminya.

Namun demikian dia bertanya-tanya mengapa lah Jamok harus dibunuh? Alasan partuanon kejam? Tidak ada kekejaman yang dijalankan bapak saya dan juga saudara saya. "Memang benar ketika masih berkuasa, bapak kami sering memanggil warga biasa datang untuk menggarap lahan pertanian kami."

"Para warga datang untuk menggarap lahan milik kami untuk keperluan kami. Akan tetapi sering kali kok warga tidak lengkap datang. Misalnya, hari ini dipanggil enam orang tetapi tidak selalu datang lengkap enam orang, kadang empat orang, dua orang dan kadang semuanya berhalangan. Akan tetapi tidak pernah ada sanksi dari bapak saya."

"Soal kemakmuran dan keistimewaan yang kami miliki? Apa keistimewaan kami? Orang berumah tembok biasa, kami juga sama. Orang makan menu biasa, kami juga."

"Sebenarnya tidak ada alasan kan dan tidak ada dasar untuk semua itu apalagi keimanan saat itu sudah mulai ada dengan masuknya agama," kata Lagunim.

Lalu apa penyebabnya? "Mungkin semua itu dasarnya adalah karena para partuanon memang mendapatkan blastings (pajak) yang dipungut dari rakyat. Mungkin mereka melihat keakraban Belanda dengan para ningrat," kata Lagunim.

"Saya memang ingat bagaimana Belanda itu menyapa kami ramah," kata Lagunim. "Sis, peace," demikian sering aku disapa Belanda. "Aku menjawab, Meneer, peace."

Dan memang relasi Belanda dengan kerajaan berlangsung baik. Semakin banyak blasting semakin baguslah pula keuangan. "Karena dulu itu Simalungun memang sepi, dan jarang penghuni, maka setiap kedatangan para pendatang selalu disambut, karena semakin banyak penduduk semakin banyak pula blasting," kata Lagunim.

Karena itu setiap kedatangan orang Toba saat itu selalu disambut. "Mereka datang menawarkan jasa untuk menggarap lahan-lahan, ya kami saat itu melihatnya sebagai hal yang menguntungkan. Alani ro do halak Toba ase mariah Simalungun," ujar Lagunim.

Lagi pula kedatangan warga Toba itu didasari dengan niat mencari nafkah dan permohonan agar diberikan kesempatan kerja. "Inang, adong sihorjahonon?" demikian terdengar setiap kali imigran datang.
"Mereka juga bertanya bagian mana lahan yang bisa mereka kerjakan, dan lahan-lahan pun memang diberikan untuk digarap. Karena bercampurlah kita dengan Toba maka ada sedikit perkembangan ekonomi," kata Lagunim.

Bagaimana dengan persepsi bahwa Toba telah menginvasi Simalungun? "Ai mase sonai? Parroh nasida pe dear do, hormat do janah jadi salih do Simalungun bahatan sanggah ai."

Jadi tidak ada persepsi negatif dengan kehadiran Toba dan suku lainnya? "Bagaimana itu menjadi persoalan karena semuanya berlangsung baik baik saja. Bagi saya, hal yang menjadi persoalan adalah sikap "late" di kita SImalungun. Ai raja-raja Simalungun pe marsiporangan do. Manurut au, ai hita do mambahen masalah banta sandiri."

"Ai ise gatni Saragih Ras? Ai lang Saragih Turnip par Tiga Ras do ia? Ai wilayah ni ise gatni Tiga Ras, ai lang wilayah ni Kerajaan Panei do?"

Lagunim memberi keterangan yang dia dapatkan dari seseorang yang langsung dia dengar dan diduga kuat turut menjadi penyebab berbaliknya Saragih Ras menyerang para raja. "Dulu Tiga Ras itu memang wilayah partuanan di bawah kerajaan Pane dengan kekuasaan lokal berada di tangan Saragih Turnip. Akan tetapi entah karena apa, mandat kekuasaan partuanon di Tiga Ras diberikan kepada Saragih Sitio. Menurut saya, inilah juga bagian dari pangkal dari persoalan," kata Lagunim. "Ai parahan do isu revolusi sosial i Simalungun. Ai i Toba idia adong?"

Sama seperti kematian adek saya, Jamok, saya tidak heran sebenarnya jika itu juga merupakan bagian dari dendam pribadi warga setempat atau sedesa saya. Kebetulan adek saya pernah menceraikan salah seorang istrinya. Kemudian orang yang turut mengeksekusi adek saya adalah keluarga mantan eda saya itu, atau keluarga dari mantan istri adek saya.

"Menurut saya, hal-hal yang menjadi urusan pribadi, saat revolusi sosial pun turut menjadi hal yang memengaruhi pilihan tentang siapa yang harus diekekusi."

"Karena itulah saya sungguh tidak tertarik dengan kepemilikan kembali lahan-lahan. Huahakku be ai ganupan. Ma i Siantar on au sonang. Lang marosuh be au mardingat-dingat ai ganupan."
Sekarang ada semacam seruan agar ada rekonsiliasi sosial atas kisruh masa lalu. "Ah, lang pala. Unang be ibuka-buka namasik-masik. Na sae ai, sae ma ai. Anggo ibuka-ibuka, itu sama saja dengan membuka luka lama, lupakanlah dan maafkanlah."

"Saya kebetulan adalah orang yang lebih suka memberi maaf. Misalnya jika ada yang menyindir saya karena kebetulan tidak suka sama saya, saya bisa duluan menyapa agar keadaan membaik. Kau lah dulu kutanya. Memberi maaf itu menyenangkan atau tidak? Bagi saya memberi maaf itu menyenangkan karena dengan demikian saya bisa tidur tenang. Rugi au anggo dendam au."

Selebihnya dan logika di balik peristiwa revolusi sosial itu tetap sulit dia mengerti. Walau dia sudah memaafkan dan ingin melupakan, lagunim berkata, "Ai kan lang porlu nean sisonai ai, na koyok (pemenggalan) ai ."

Lagunim lebih melihat itu semua, juga didasarkan pada ketidaksukaan akan hubungan dengan Belanda dan para ningrat. "Namun andaikan pun misalnya ada tuduhan atau kecurigaan atau sikap iri karena para ningrat pernah dekat dengan para raja, mengapa harus kerajaan diakhiri dengan cara seperti itu?"

"Kalau menurut saya, masalah memang ada pada sifat-sifat kita Simalungun. Ada sedikit hal di diri kita yang tidak baik, seperti late."

Akan tetapi sudahlah. "Domma ai gatni zamanna, ai sonari on sondia pe ma lambin roh majuna do tongon zaman on, lambin ro majunan do Simalungun."

Akan tetapi kata Lagunim, "Memang baru sekaranglah keadaan benar-benar aman. Di zaman saya, ais...tembakan-tembakan adalah hal rutin. Peperangan di antara kerajaan adalah hal rutin."
Dia juga menyaksikan langsung Saragih Ras dengan dua kudanya, dengan rombongan tentaranya yang nomaden dan beristirahat dimana saja dan sering dengan mengambil begitu saja menu atau makanan dari rumah-rumah rakyat.

"Saya pun misalnya, menyaksikan langsung Puang Bolon Raja Purba Tuan Mogang, ikut mengungsi berpindah-pindah. Saya mendengar langsung saran agar Puang Bolon menetap saja di rumah salah satu anggota partuanon."

Namun saya mendengar jawaban Puang Bolon. "Anggo dohot hanima kin au tading, jadi dohot kin hanima sasaran ni gerombolan jadi lang pala au rup pakon hanima." (Simon Saragih)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments