Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Catatan Terbuka Kurpan Sinaga "Penguasa di Tanah Simalungun Harus Orang Simalungun"

Kurpan Sinaga
BERITASIMALUNGUN.COM, Jakarta-"ATAS NAMA KEMERDEKAAN. PENGUASA DI TANAH SIMALUNGUN HARUS ORANG SIMALUNGUN. SUATU LANGKAH REVOLUSI MENTAL," demikian peryataan Kurpan Sinaga pada tulisan yang diposting di media jejaring sosial.


Hari ini (Minggu 17 Agustus 2014) kita memperingai kemerdekaan Indonesia ke 69 tahun. Sudah lumayan panjang. Kemerdekaan dari penjajahan Belanda telah kita dapatkan dan telah kita jalankan. Sudah banyak yang kita rasakan tetapi harus juga kita sepakat bahwa masih banyak yang harus diperbaiki. Tdk boleh kita katakan sudah beres semua.

Kita menolak penjajahan karena penjajahan itu adalah praktek eksploitasi, dominasi dan subordinasi dalam bentuk apa pun dari suatu pihak terhadap pihak manapun tanpa terkecuali. Tolok ukurnya adalah kesetaraan, persamaan hak dan keadilan. 

Kita tidak mau ekonomi kita dihisap. Kita juga tidak rela dipimpin orang kulit putih dan mancung hidungnya. Kok orang dari sana memerintah-perintah kita? Koreksi dari penjajahan lahirlah sebuah negara bernama Indonesia.

Kalau namanya megisi kemerdekaan dan bersikap belum semua sudah beres maka kita harus sepakat melihat berbagai permasalahan yang bila ada berupa eksploitasi dan dominasi harus dikoreksi. Tetapi untuk menyimpulkan suatu praktek dominasi dan eksploitasi atau ketidakadilan diantara kiat tentu bukanlah hal mudah. 

Karena akan langsung bertentangan dengan kepentingan subjektif masing-masing. Apalagi untuk sesuatu yang sudah berjalan lama. Yang terganggu kepentingannya akan resiten bahkan melawan. Oleh karena itu eksploitasi, dominasi satu pihak terhadp pihak lain dan ketidakadilan diantara sesama kita hanaya bisa dilihat dengan sikap sportif yang tinggi, kejujuran dan keberanian. 

Meninggalkan pola pikir lama yang susah melihat kepentingan pihak lain dan kepentingan jangka panjang kalau mengganggu kepentingannya terlepas itu salah atau benar. Dengan kata lain harus ada cara pandang baru seperti yang dikatakan Jokowi - Presiden Terpilih kita "revolusi mental". Mudah-mudahan revolusi mental inibisa kita terapkan memandang suku bangsa Simalungun dengan segala kelebihan dan ironisnya, dilihat dari tolok ukur kemerdekaan.

Simalungun yang merupakan nama konfederasi kerajaan marompat (berempat) dilanjutkan dalam formasi marpitu (ber-tujuh) adalah kerajaan yang berkuasa di Sumatera Timur yang berpusat di daerah yang saat ini Kabupaten Simalungun, ditengah-tengahnya ada Kota Pematangsiantar. 

Kerajaan-kerajaan itu sepakat sisada ahap sisada parmaluan (satu jiwa dan satu perjuangan) tidak saling mengganggu. Kini nama konfederasi itu lebih dipahami sebagai nama suku Simalungun. Bila dilihat dari kaca mata kemerdekaan yang menolak eksploitasi, dominasi dan subordinasi maka daerah ini sangat ironis, keadaannya saat ini lebih buruk dibanding zaman kolonial. Simalungun saat ini telah menjadi kekeliruan dan penyimpangan dari kemerdekaan. Sebelum kita diteriaki oleh orang Belanda sana marilah kita koreksi sesegera mungkin.

Kesuburan tanah Simalungun namapaknya telah menjadi kekayaan yang menjadi kutukan. Simalungun telah menjadi sasaran pembukaan perkebunan pasca politik etis negeri Belanda awal abad 20 yang ingin memacu keajuan tanah jajahan. 

Tercatat tahun 1905 adalah awal dari masuknya pemerintah kolonial ke Smalungun dengan langkah menjalin hubungan dengan kerjajaan-kerajaan Simalungun. Korte ver Klaring (perjanjian pendek) pernyataan tundukpun ditanda tangani raja. 

Resmilah Simalungun menjalin hubungan dengan pemerintah Belanda - belum mengenal Jakarta. Hubungan baik dengan kerajaan ini membuahkan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda atau Eropah dan Amerika. Perusahaan membuka perkebunan dengan sistem bagi hasil yang ditungakan dalam akte van kosesi. Kerajaan menerima sekian persen dari hasil perkebuan, ibarat negara ini menerima bagi hasil dengan perusaahaan asing seperti pertambangan dll saat ini.

Untuk pembukaan perkebunan ini didatangkanlah buruh-buruh kebon dari Jawa secara besar-besaran. Walau tidak dikehendaki raja tetapi demi penyediaan pangan melalui persawahan disekitar perkebunan keran hadirnya pencari kerja dari Toba pun harus dibuka raja. 

Begitulah kisah terjadinya Simalungun saat ini tersingkir ke daerah dataran tinggi, secara jumlah didominasi orang asing. Terbanyak orang Jawa, kemudin Toba. Banyak menyebut Simalungun urutan ketiga namun selisih angka yang jauh dibawah.

Malang bagi Simalungun, proklamasi kemerdekaan telah menjadi ibarat lonceng ajal bagi raja-raja Simalungun dan keluarga maupun pengikutnya. Dalam sebuah konspirasi revolusi sosial raja-raja Simalungun dipotongi. Berjalan dalam suatu operasi terkendali tanggal 3 Maret 1946 diamana BHL (Barisan Harimo Liar) pimpinan Tuan Saragiras sebagai eksekutor. 

Sontak, raja yang menjadi panutan bahkan dipandang sebagai "Tuhan" saat itu sekejap sirna dalam keadaan tersembelih sadis dihadapanya. Wajar kalau masyarakat Simalungun trauma yang sangat dalam dan sedikit banyaknya mempengaruhi mental yang terwariskan. SDM terbaik yang terbentuk di lingkungan istana habis atau kucar-kacir. Istana yang merupakan pusat peradaban hangus. 

Praktis, kerajaan yang sebelumnya tampil utuh sebagai negara langsung hilang. Harta di jarah, tanah diduduki. Saksi bisu adalah hamparan tanah yang luas saat ini di Kab Simalungun dan Kota Siantar yang dimiliki non Simalungun bukan kerena pemberian raja atau dibeli. Suatu catatan sejarah kelam republik.

Di sisi lain perkebunan yang sangat likuid sejak zaman kolonial setelah kemerdekaan jatuh ke tangan Jakarta (pusat) atas nama penyatuan yang dikendalikan dari Jakarta. Kalau dahulu daerah (kerajaan) mendapat bagi hasil setelah ditangan republik tak sepeserpun untuk daerah. 

Gagalnya PRRI membuat perkebunan di zaman Bung Karno utuh ditangan pusat. Penguasa tuggal orde baru yang represif pada suara-suara daerah mebuat keadilan perkebunan ini tidak mungkin disuarakan. 

Orde baru tumbang, otonomi daerah berjalan, bagi hasil kekayaan daerah (tambang) berjalan namun hingga kini perkebunan masih utuh ditangan Jakarta tanpa sedikitpun ada hasil yang disisakan untuk daerah. Semuanya utuk dikendalikan Jakarta dalam badan BUMN. PTPN IV yang merupakan BUMN Perkebunan terbesar di Indonesia lebih dari setengah kebun produktifnya di Kab. 

Simalungun. Begitu juga PTPN III memiliki unit usaha yang signifikan di Kab. Simalungun. Anehnya PTPN inipun ikut-ikutan menyingkirkan (tdk ada keberpihakan dalam penerimaan pegawai atau pejabat). Tahn 2003, dari 40 manajer PTPN 4 cuma tiga orang orang Simalungun. Suku dari dirutnya saat itu 21 orang. Orang Simalungun karyawan PTPN 4 juga tidak lebih dari 5 persen. Sungguh praktek eksploitasi dan ketidakadilan.

Dalam tragedi pembunuhan raja-raja diatas dan eksploitasi perkebunan membuat suku Simalungun kolaps. Kalau zaman kerajaan orang pendatang harus mengikut kehendak raja, Simalungun disegani dan dihornati didaerahnya, setelah revolusi sosial berubah 180 derajat. 

Cerita para orang tua hingga tahun 60-an masih ada rasa takut orang berbahasa Simalungun di Pematangsiantar. Dalam keadaan seperti ini jalas suku Simalungun tidak dapat mempertahankan eksistensi diri. 

Terlihat, kalau semua suku di Indonesia ini eksis di daerahnya, kepala daerahnya tidak pernah diluar orang suku itu (kecuali DKI Jakarta yang oleh status ibu kota negara yg mengharuskan non Betawi datang ke Jakarta, dan oleh karena itu juga Betawi sangat diuntungkan dari nilai ekonomi daerahnya yang sangat tinggi). 

Kalau di Simalungun tidak. Walau tidak ada yang dapat membantah Kota Pematangsiantar dan Kab. Simalungun adalah tanah suku Simalungun tetapi kedudukan kepala daerah di dua daerah otonom ini tetaplah bebas diperebutkan non Simalungun hingga saat ini. Kenyataan menunjukkan kepala daerah di Siantar dan Simalungun lebih sering dipegang non Simaungun. Apalagi kesempata di provinsi atau pusat. Maka tidak heran penelitian William R Lidle - Indonesianis Amerika tahun 60-an pun menyebut suku Simalungun krisis represntasi.

Potret Simalungun saat ini yang marjinal diperburuk dengan sistem pemilu one man one vote. Simalungun yang terdominasi secara jumlah oleh pendatang membuat kesempatan menjadi kepala daerah makin sulit didapatkan. 

Sudah realita politik saat ini dalam persaingan pemilihan para calon membangun jalur-jalur soaial yang bisa menguntungkannya. Dalam kedaan termarjinalkan dan tidak adanya langkah pengendalian jelas keberadaan suku bansa Simalungun mengarah punah. Ya, hilang dari muka bumi.

Perlu Kearifan

Dalam keadaan tersisihkan ini sudah saatnya menjadi perhatian kita semua, baik pihak pemerintah terlebih masyarakat non Simalungun ditempat. Tentu kita tidak sudi kalau ada suku bangsa kita yang merosot apalagi hilang. 

Kekayaan kita dalah pluralisme dalam eksistensi suku-suku bangsa yang ada. UUD 1945 juga mengamanatkan perlindungan pada suku-suku bangsa melalui budaya atau ekonomi daerah. Kita adalah masyarakat peradaban baru yang koreksidari penjajahan yang anti eksploitasi, dominasi dan subordinasi dalam kesetraan dan keadilan. William R Lidle telah memaparkan fakta ilmiah bagi kita akan suatu keterancaman suku bangsa Simalungun.

Keadaan Simalungun saat ini bukanlah keinginan atau kesalahannya. Semua ini tercipta atas situasi aktivitas kolonial, situasi liar yang tidak terkendali oleh pemimpin pusat, sistem ekonomi yang terpusat sampai sistem politik yang menghilangkan musyawarah. 

Semuanya terkumulasi sempurna yang tidak memungkinkan Simalungun bergerak sekedar bertahan tetapi makin hari makin terdegradasi seiring aktivitas non Simaungun yang dominan dan pengelompokan masyarakat setempat dalam identitas suku yang akan makin nyata dalam membangun kekuatan politik praktis pilkada.

Satu langkah mencegah krisis representasi tersebut adalah memastikan kepala daerah di tanah Simalungun adalah orang Simalungun. Dengan resiko krisis representasi yang makin parah maka kepala daerah orang Simalungun di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun menjadi keharusan. 

Ini adalah konsekwensi kemerdekaan Indonesia yang menolak eksploitasi, dominasi dan subordinasi dalam kesetaraan dan keadilan. Untuk itu dibutuhkan kearifan para pemimpin negara maupun masyarakat daera. Ini membutuhkan cara pandang baru, sebaru "revolusimental" nya Jokowi.

Kearifan masyarakat daerah adalah dengan merelakan kursi kepala daerah tersebut menjadi hak orang Simalungun. Caranya, semua calon adalah org Simalungun. Ini bisa dicapai dgn kesepakatan bersama antara Simalungun dan non Simalungun di Siantar-Simalungun. Dimulai dengan seruan pihak Simalungun kepada semua supaya kedudukan itu disepakati utk Simalungun. Ini semata-mata demi rasa solider dan menghormati Simalungun ditanahnya. 

Tanpa dibatasi dengan UU tetapi kesepakatan tidak tertulis supaya non Simalungun dalam pilkada hanya punya hak pilih. Hak dipilihnya dapat digunakan di tanah leluhurnya atau daerah lain yang memungkinkan. Jadi tidak ada kontes antara Simalungun dgn non Simalungun sehingga pengelompokan suku tidak menguat. 

Mudah-mudqahan mendorong situasi kondusif memperkecil pergesekan antar suku. Dgn kesepakatan itu saja harkat Simalungun sdh langsung terangkat, berharga dan disegani dikampungnya krn sbg penguasa tetap. Simalungun terpilih bukan karena lebih unggul dari non Simalungun tapi karena kedudukan itu adalah milik Simalungun. Saya percaya hal ini pada umumnya dimaklumi masyarakat secara keseluruhan kecuali yang punya harapan untuk merebut kedudukan tersebut.

Bila dipandang perlu ditempuh dengan mengajukan RUU keistimewaan atau kekhususan Simalungun, seperti yang berjalan di beberapa daerah seperti Aceh. Selain menyangkut kepala daerah, terkait dengan perekonomian adalah bijak mana kala pemerintah pusat melepas perkebunan PTPN ke daerah tempat perkenuan tersebut. Yogya, Papua. Hal ini membutuhkan kearifan. Merdeka....!Jakarta 17 Agustus 2014. Kurpan Sinaga.(Lee)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments