Menuju SD Soping dari Hutaimbaru |
Muridnya menunggu kedatangannya setiap pagi. |
Sarimah br Manihuruk tida di SD Soping |
Guru Sekolah Dasar Serbabisa dari Pinggir Danau Toba Simalungun
BERITASIMALUNGUN.COM, Hutaimbaru-Perawakan wajah asli dengan mekup seadanya serta berpenampilan sederhana, begitu tampak pada keseharian Sarimah br Manihuruk. Mengabdi sebagai seorang guru sekolah dasar di daerah pinggir Danau Toba, perempuan kelahiran 2 September 1960 ini dituntut sebagai guru serba bisa.
Betapa tidak, dirinya di SD 096118 Ujung Saribu, Soping, Kecamatan Pamatang Silimakuta, Kabupaten Simalungun harus rela mengajar 48 anak didik yang terdiri dari kelas satu hingga kelas enam. Sejak diangkat jadi guru pada 1 Desember 1980, Sarimah br Manihuruk tetap setiap hingga kini mengabdi di SD Soping.
Ironis memang. Guru di SD 096118 Ujung Saribu, Soping selama 5 tahun hanya dua orang. Setaahun terakhir ini tambah satu menjadi tiga. Selain Sarimah br Manihuruk, guru serbabisa satu lagi yakni Bungainim br Sinaga. Keduanya harus berjibaku untuk mengajarkan delapan mata pelajaran kepada 48 anak didik dari kelas 1 hingga kelas 6.
“Hati saya miris melihat kondisi sekolah kami ini. Sudah empat tahun kami hanya berdua mengajar. Tidak ada guru yang mau tinggal di Desa Soping tersebut. Kami setiap hari harus menempuh perjalanan 10 km dari Desa Hutaimbaru untuk mencerdaskan anak bangsa di desa pesisir danau ini. Perhatian pemerintah hingga kini belum ada,”ujar Sarimah kepada BS di Desa Hutaimbaru baru-baru ini.
Sarimah mengaku kewalahan untuk mendidik 48 murid di SD Soping tersebut. Dengan berbekal ilmu pendidikan dari lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Pematang Raya, tahun 1979, dirinya berusaha untuk mengetahui kurikulum 8 mata pelajaran. Bahkan penerapan Kurikulum 2013 di SD itu masih gagap.
“Saya kadang meneteskan air mata saat memberikan pelajaran kepada anak didik. Saya prihatin dengan masa depan 48 anak didik ini. Dengan berbekal dua guru, bagaimana kualitas anak didik ini kelak. Hal ini sudah dilaporkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun, namun belum ada tanggapan,”kata ibu dari 4 orang anak ini.
Persoalan dunia pendidikan di pesisir Danau Toba di Simalungun, sudah diujung nadir. Perhatian dinas terkait terhadap masa depan anak-anak di desa pinggir danau tersebut sudah lama terabaikan.
“Saya sudah sering dipaksa jadi kepala sekolah di SD Soping, namun saya tolak. Saya cumin tamat SPG, bagaimana pula saya kepala sekolah sementara guru hanya ada dua orang. Hal ini yang membuat saya sedih. Agar tidak berdosa makan uang rakyat, saya tetap konsisten dalam pengabdian sebagai guru delapan mata pelajaran dari kelas satu hingga kelas enam,”ujar istri dari Angkus Girsang ini.
Menurut Sarimah, warga Desa Soping juga kurang peduli terhadap kekurangan guru di SD Soping. Kondisi guru yang sudah berjalan lima tahun ini, hanya ada dua orang guru. Hal tidak dipersoalkan warga Soping.
“Warga Soping hanya bisa melapor kalau kita ngak masuk. Kalau soal kekurangan guru ini tidak mereka tanggapi. Orang tua murid hanya menyerahkan pendidikan anaknya kepada dua orang guru,”katanya.
Sekolah Pinggir Danau Simalungun Merena
Sementara itu, kondisi tragis dan ironis juga dihadapi SD Inpres 091383 Desa Hutaimbaru, Kelurahan Bangun Mariah, Kecamatan Pematang Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa Hutaimbaru bisa ditempuh dari dua arah yakni dari Desa Haranggaol dan Desa Tongging dengan tranportasi kapal kayu mesin.
Jarak tempuh perjalanan normal dari ibukota Kabupaten Simalungun, Pematang Raya ke Desa Hutaimbaru memakan waktu kurang lebih 3 jam. Letak desa ini percis di pinggir Danau Toba. Jumlah penduduk sekitar 50 kepala keluarga (KK) dan jumlah anak didik SD sekitar 30 orang.
Kini bangunan SD Inpres 091383 Hutaimbaru kondisinya memprihatinkan. Kini SD Inpres Hutaimbaru tinggal kenangan. Bangunan yang dulunya megah dan permanen, kini tinggal kerangka. Bahkan tiga gedung utama sebagai ruangan kelas hancur tanpa isi. Seluruh bangku, meja dan arsip buku-buku lenyap tak tahu rimbanya.
Ironis memang. Disaat pemerintah gencar meningkatkan mutu pendidikan, namun dunia pendidikan di desa pesisir Danau Toba justru merana. Program pemerintah meningkatkan mutu pendidikan wajib belajar sembilan tahun di tingkat perkotaan boleh saja dibilang maju.
Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga digalakkan guna memberantas buta aksara. Namun pembangunan pendidikan di pedesaan kerap terabaikan karena kurang perhatian pemerintah setempat.
SD Inpres 091383 Desa Hutaimbaru, salah satu contoh merananya dunia pendidikan ditingkat pedesaan. SD ini luput dari perhatian pemerintah. SD Inpres Hutaimbaru tahun 1965-1990, berkembang pesat, dan menjadi pioner sekolah dasar di pesisir Danau Toba Kabupaten Simalungun.
Bangunan SD Hutaimbaru dibangun tahun 1965 oleh St Efraim Manihuruk/ RP br Haloho. Bahkan St Efraim Manihuruk sebagai guru pertama di SD Hutaimbaru dan kemudian ada guru Jasalmon Sinaga.
Memasuki tahun 1991, SD Hutaimbaru justru tutup dengan alasan guru tak ada yang betah tinggal di Desa Hutaimbaru. Sepuluh tahun sudah sekolah kebanggan masyarakat Hutaimbaru itu tutup. Padahal kini ada sekitar 30 anak didik wajib belajar di desa tersebut.
Tahun 1965 hingga tahun 1990an, SD Hutaimbaru merupakan sekolah SD utama untuk empat desa tetangga. Seperti Desa Soping, Soping Sabah, Nagori Purba dan Hutaimbaru sendiri.
“Sekolah SD Hutaimbaru tahun 1990 ada sebanyak 7 guru sekolah. Namun kini sekolah kebanggan warga Desa Hutaimbaru itu tinggal kenangan. Alasan guru tidak betah, membuat pemerintah menutup sekolah ini,”kata Tuahman Purba, tokoh masyarakat setempat.
Menurut Tuahman Purba yang juga menjabat Pengantar Jemaat GKPS Hutaimbaru ini, tutupnya sekolah SDN Hutaimbaru 11 tahun lalu, karena tidak ada guru. Penempatan guru yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Simalungun hanya bisa bertahan sekitar tiga bulan.
“Alasan para guru karena jaraknya jauh dari ibukota Kecamatan, Saribudolok. Kemudian tempat mengajar tergolong desa terisolir. Banyak guru yang sudah ditempatkan di desa ini pindah. Mereka melakukan segala cara yang penting pindah dari desa ini,”katanya.
Tokoh masyarakat dan juga Perutusan Sinody Bolon GKPS Resort Tongging selama 15 tahun, St Berlin Manihuruk menambahkan, ada sekitar 30 anak wajib belajar SD di desa tersebut. Kini anak didik itu harus berjalan kaki sepanjang lima kilo meter lebih untuk menempuh sekolah SD desa tetangga yakni Soping dan SD Nagori Purba.
“Orang tua murid sudah berulang kali mengajukan permohonan untuk membuka kembali SDN Hutaimbaru. Namun alasan dari pihak kecamatan, muridnya terlampau sedikit dan guru tidak ada yang mau berdomisili di desa ini. Ini yang menjadi persoalan. Bahkan warga desa berencana untuk meratakan bangunan dengan tanah untuk dijadikan areal pesta,”katanya.
Disebutkan, sudah ada dua SD di pesisir Danau Toba Kabupaten Simalungun yang tutup. Selain SD Hutaimbaru kemudian SD Inpres Desa Baluhut, Kecamatan Pematang Silimahuta, Simalungun. (asenk lee saragih)
Betapa tidak, dirinya di SD 096118 Ujung Saribu, Soping, Kecamatan Pamatang Silimakuta, Kabupaten Simalungun harus rela mengajar 48 anak didik yang terdiri dari kelas satu hingga kelas enam. Sejak diangkat jadi guru pada 1 Desember 1980, Sarimah br Manihuruk tetap setiap hingga kini mengabdi di SD Soping.
Ironis memang. Guru di SD 096118 Ujung Saribu, Soping selama 5 tahun hanya dua orang. Setaahun terakhir ini tambah satu menjadi tiga. Selain Sarimah br Manihuruk, guru serbabisa satu lagi yakni Bungainim br Sinaga. Keduanya harus berjibaku untuk mengajarkan delapan mata pelajaran kepada 48 anak didik dari kelas 1 hingga kelas 6.
“Hati saya miris melihat kondisi sekolah kami ini. Sudah empat tahun kami hanya berdua mengajar. Tidak ada guru yang mau tinggal di Desa Soping tersebut. Kami setiap hari harus menempuh perjalanan 10 km dari Desa Hutaimbaru untuk mencerdaskan anak bangsa di desa pesisir danau ini. Perhatian pemerintah hingga kini belum ada,”ujar Sarimah kepada BS di Desa Hutaimbaru baru-baru ini.
Sarimah mengaku kewalahan untuk mendidik 48 murid di SD Soping tersebut. Dengan berbekal ilmu pendidikan dari lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Pematang Raya, tahun 1979, dirinya berusaha untuk mengetahui kurikulum 8 mata pelajaran. Bahkan penerapan Kurikulum 2013 di SD itu masih gagap.
“Saya kadang meneteskan air mata saat memberikan pelajaran kepada anak didik. Saya prihatin dengan masa depan 48 anak didik ini. Dengan berbekal dua guru, bagaimana kualitas anak didik ini kelak. Hal ini sudah dilaporkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun, namun belum ada tanggapan,”kata ibu dari 4 orang anak ini.
Persoalan dunia pendidikan di pesisir Danau Toba di Simalungun, sudah diujung nadir. Perhatian dinas terkait terhadap masa depan anak-anak di desa pinggir danau tersebut sudah lama terabaikan.
“Saya sudah sering dipaksa jadi kepala sekolah di SD Soping, namun saya tolak. Saya cumin tamat SPG, bagaimana pula saya kepala sekolah sementara guru hanya ada dua orang. Hal ini yang membuat saya sedih. Agar tidak berdosa makan uang rakyat, saya tetap konsisten dalam pengabdian sebagai guru delapan mata pelajaran dari kelas satu hingga kelas enam,”ujar istri dari Angkus Girsang ini.
Menurut Sarimah, warga Desa Soping juga kurang peduli terhadap kekurangan guru di SD Soping. Kondisi guru yang sudah berjalan lima tahun ini, hanya ada dua orang guru. Hal tidak dipersoalkan warga Soping.
“Warga Soping hanya bisa melapor kalau kita ngak masuk. Kalau soal kekurangan guru ini tidak mereka tanggapi. Orang tua murid hanya menyerahkan pendidikan anaknya kepada dua orang guru,”katanya.
Sekolah Pinggir Danau Simalungun Merena
Sementara itu, kondisi tragis dan ironis juga dihadapi SD Inpres 091383 Desa Hutaimbaru, Kelurahan Bangun Mariah, Kecamatan Pematang Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa Hutaimbaru bisa ditempuh dari dua arah yakni dari Desa Haranggaol dan Desa Tongging dengan tranportasi kapal kayu mesin.
Jarak tempuh perjalanan normal dari ibukota Kabupaten Simalungun, Pematang Raya ke Desa Hutaimbaru memakan waktu kurang lebih 3 jam. Letak desa ini percis di pinggir Danau Toba. Jumlah penduduk sekitar 50 kepala keluarga (KK) dan jumlah anak didik SD sekitar 30 orang.
Kini bangunan SD Inpres 091383 Hutaimbaru kondisinya memprihatinkan. Kini SD Inpres Hutaimbaru tinggal kenangan. Bangunan yang dulunya megah dan permanen, kini tinggal kerangka. Bahkan tiga gedung utama sebagai ruangan kelas hancur tanpa isi. Seluruh bangku, meja dan arsip buku-buku lenyap tak tahu rimbanya.
Ironis memang. Disaat pemerintah gencar meningkatkan mutu pendidikan, namun dunia pendidikan di desa pesisir Danau Toba justru merana. Program pemerintah meningkatkan mutu pendidikan wajib belajar sembilan tahun di tingkat perkotaan boleh saja dibilang maju.
Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga digalakkan guna memberantas buta aksara. Namun pembangunan pendidikan di pedesaan kerap terabaikan karena kurang perhatian pemerintah setempat.
SD Inpres 091383 Desa Hutaimbaru, salah satu contoh merananya dunia pendidikan ditingkat pedesaan. SD ini luput dari perhatian pemerintah. SD Inpres Hutaimbaru tahun 1965-1990, berkembang pesat, dan menjadi pioner sekolah dasar di pesisir Danau Toba Kabupaten Simalungun.
Bangunan SD Hutaimbaru dibangun tahun 1965 oleh St Efraim Manihuruk/ RP br Haloho. Bahkan St Efraim Manihuruk sebagai guru pertama di SD Hutaimbaru dan kemudian ada guru Jasalmon Sinaga.
Memasuki tahun 1991, SD Hutaimbaru justru tutup dengan alasan guru tak ada yang betah tinggal di Desa Hutaimbaru. Sepuluh tahun sudah sekolah kebanggan masyarakat Hutaimbaru itu tutup. Padahal kini ada sekitar 30 anak didik wajib belajar di desa tersebut.
Tahun 1965 hingga tahun 1990an, SD Hutaimbaru merupakan sekolah SD utama untuk empat desa tetangga. Seperti Desa Soping, Soping Sabah, Nagori Purba dan Hutaimbaru sendiri.
“Sekolah SD Hutaimbaru tahun 1990 ada sebanyak 7 guru sekolah. Namun kini sekolah kebanggan warga Desa Hutaimbaru itu tinggal kenangan. Alasan guru tidak betah, membuat pemerintah menutup sekolah ini,”kata Tuahman Purba, tokoh masyarakat setempat.
Menurut Tuahman Purba yang juga menjabat Pengantar Jemaat GKPS Hutaimbaru ini, tutupnya sekolah SDN Hutaimbaru 11 tahun lalu, karena tidak ada guru. Penempatan guru yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Simalungun hanya bisa bertahan sekitar tiga bulan.
“Alasan para guru karena jaraknya jauh dari ibukota Kecamatan, Saribudolok. Kemudian tempat mengajar tergolong desa terisolir. Banyak guru yang sudah ditempatkan di desa ini pindah. Mereka melakukan segala cara yang penting pindah dari desa ini,”katanya.
Tokoh masyarakat dan juga Perutusan Sinody Bolon GKPS Resort Tongging selama 15 tahun, St Berlin Manihuruk menambahkan, ada sekitar 30 anak wajib belajar SD di desa tersebut. Kini anak didik itu harus berjalan kaki sepanjang lima kilo meter lebih untuk menempuh sekolah SD desa tetangga yakni Soping dan SD Nagori Purba.
“Orang tua murid sudah berulang kali mengajukan permohonan untuk membuka kembali SDN Hutaimbaru. Namun alasan dari pihak kecamatan, muridnya terlampau sedikit dan guru tidak ada yang mau berdomisili di desa ini. Ini yang menjadi persoalan. Bahkan warga desa berencana untuk meratakan bangunan dengan tanah untuk dijadikan areal pesta,”katanya.
Disebutkan, sudah ada dua SD di pesisir Danau Toba Kabupaten Simalungun yang tutup. Selain SD Hutaimbaru kemudian SD Inpres Desa Baluhut, Kecamatan Pematang Silimahuta, Simalungun. (asenk lee saragih)
0 Comments