![]() |
JOKOWI-JK |
[JAKARTA]
Per 20 Oktober 2014, Negara Kesatuan Republik Indonesia secara resmi dipimpin
Joko Widodo sebagai presiden ke-7 setelah Soekarno (1945--1967), Soeharto
(1967--1998), B.J. Habibie (1998--1999), Abdurrahman Wahid (1999--2001),
Megawati Soekarnoputri (2001--2004), dan Susilo Bambang Yudhoyono (2004--2010).
Bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, duet itu merupakan hasil dari Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden RI, 9 Juli lalu, dan bakal bekerja memimpin lebih
dari 240 juta jiwa rakyat Indonesia untuk periode selama lima tahun mendatang.
Satu hal yang amat menarik adalah proses pergantian kepemimpinan dari Yudhoyono
ke Joko Widodo adalah relatif dalam kondisi yang cukup kondusif dan lancar,
tidak seperti pada proses pergantian kepemimpinan sebelumnya.
Sejarah mencatat bahwa pergantian kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto dipicu
oleh pemberontakan Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia
(G30S/PKI) yang berujung pada penolakan pertanggungjawaban Soekarno pada Sidang
Istimewa MPRS pada tahun 1967. Rezim Orde Baru pimpinan Soeharto memberangus
Orde Lama, mengasingkan Soekarno dari kegiatan sosial kemasyarakatan, dan
membatasi pengaruh Soekarno.
Suksesi kepemimpinan dari Soeharto ke Bacharuddin Jusuf Habibie juga dipicu
oleh Gerakan Reformasi yang menuntut pengunduran diri Soeharto yang membuahkan
hasil dengan pernyataan dari Soeharto untuk berhenti dari jabatannya pada
tanggal 21 Mei 1998.
Pergantian kepemimpinan dari B.J. Habibie ke Abdurrahman Wahid juga dipicu oleh
hasil referendum atas Timor Timur yang menolak bergabung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sehingga pertanggungjawaban Habibie ditolak dalam
Sidang Umum MPR 1999.
Begitu pula, alih kekuasaan eksekutif dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati
juga dipicu oleh kasus Buloggate yang berujung pada pemakzulan terhadap
Abdurrahman Wahid oleh MPR.
Pergantian kepemimpinan dari Megawati kepada Yudhoyono meskipun dilakukan
melalui Pemilu Presiden secara langsung yang pertama kali diselenggarakan pada
tahun 2004 dan berlangsung demokratis, berada pada kondisi dari ketegangan
komunikasi politik menahun antara Yudhoyono dan Megawati sehingga membuat
Megawati tidak pernah hadir pada saat pelantikan Yudhoyono pada tanggal 20
Oktober 2004 dan pada tanggal 20 Oktober 2009.
Pemerintahan baru saat ini menjadi momentum bagi Joko Widodo dan Jusuf Kalla
untuk membuktikan janji-janji kampanye dan melakukan perbaikan tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apalagi, seusai Joko Widodo menemui pesaingnya dalam Pilpres 2014, Prabowo
Subianto, di kediaman orang tua Prabowo, Jalan Kertanegara IV Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, Jumat (17/10), kedua negarawan itu menyatakan saling mendukung
untuk keutuhan NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, serta menjaga
demokrasi politik dan ekonomi demi kesejahteraan rakyat.
Nawacita (sembilan program prioritas), Revolusi Mental, pelaksanaan program
dari "warisan" yang disampaikan Soekarno soal Trisakti (berdaulat
dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam sosial
budaya), dan berbagai program prorakyat, serta kebiasaan "blusukan"
dari Joko Widodo tentu saja menjadi beragam agenda yang ditunggu
implementasinya.
Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjanjikan nawacita atau sembilan program yang
menjadi prioritas jalan perubahan menuju Indonesia baru atau Indonesia hebat
yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan
berkepribadian dalam kebudayaan.
Kesembilan program itu adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi
segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui
politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya, dan
pembangunan pertahanan negara trimatra terpadu yang dilandasi kepentingan
nasional, serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Selain itu, membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan
memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada
institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui
reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
Kemudian, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan; menolak negara lemah dengan melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan
terpercaya; meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan
kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program Indonesia Kerja dan
Indonesia Sejahtera dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah
seluas 9 hektare, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang
disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat pada tahun 2019.
Lalu, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia
lainnya; mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik; melakukan revolusi karakter bangsa melalui
kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan
aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek
pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme
dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum
pendidikan Indonesia; dan memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi
sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan
menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Eksekutif-Legislatif Salah satu tantangan yang ada di depan mata adalah
bagaimana membangun hubungan yang baik dan saling bersinergi antara kekuatan
eksekutif di pemerintahan dan kekuatan legislatif di parlemen.
Tantangan ini dapat dimaklumi lantaran kekuatan di parlemen menunjukkan
dominasi dari Koalisi Merah Putih (KMP) atas perolehan kursi di parlemen
dibandingkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang merepresentasikan kepentingan
pemerintahan di parlemen.
Dalam perkembangan terakhir, KMP terdiri atas Partai Golkar, Partai Gerindra,
Partai Demokrat, PAN, dan PKS, sedangkan KIH terdiri atas PDI Perjuangan, PKB,
PPP, NasDem, dan Hanura.
Dari total 560 kursi di DPR RI, PDI Perjuangan meraih 109 kursi, Partai Golkar
91 kursi, Partai Gerindra 73 kursi, Partai Demokrat 61 kursi, PAN 49 kursi, PKB
47 kursi, PKS 40 kursi, PPP 39 kursi, Partai NasDem 35 kursi, dan Partai Hanura
16 kursi.
Dari komposisi itu, terlihat KMP menguasai 314 dari 560 (56,07 persen) kursi
DPR RI, sedangkan KIH meraih 246 dari 560 (43,93 persen) kursi DPR RI. Meskipun
perkembangan terakhir PPP menyeberang ke KIH setelah kadernya tak dicalonkan
dalam Wakil Ketua MPR, komposisi di DPR masih didominasi oleh KMP.
Pimpinan DPR terdiri atas Ketua DPR Setya Novanto (Partai Golkar) dan empat
wakil ketua terdiri atas Fadli Zon (Partai Gerindra), Agus Hermanto (Partai
Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN), dan Fahri Hamzah (PKS), sedangkan pimpinan
MPR terdiri atas Ketua MPR Zulkifli Hasan (PAN), dan empat wakil ketua, yakni
Oesman Sapta (dari DPD), E.E. Mangindaan (Partai Demokrat), Mahyudin (dari
Golkar), dan Hidayat Nurwahid (PKS).
Pada rapat gabungan antara pimpinan MPR RI dan pimpinan fraksi-fraksi plus
kelompok di MPR, Senin (13/10), menyepakati pembagian komposisi tiga badan di
MPR, yakni Badan Sosialisasi diketuai dari Fraksi PDI Perjuangan serta para
wakil dari Fraksi Gerindra, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PAN, dan Fraksi Partai
NasDem. Badan Kajian diketuai dari DPD RI dan para wakil dari Fraksi PKS,
Fraksi PPP, Fraksi Gerindra, Fraksi PDI Perjuangan. Badan Penganggaran diketuai
dari Fraksi Partai Golkar serta para wakilnya dari Fraksi PKB, Fraksi Demokrat,
kelompok DPD RI, dan Fraksi Hanura.
Pengamat politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan
komposisi di parlemen secara politik sangat menguntungkan KMP, jika koalisi itu
solid, semua proses politik di parlemen dapat mereka kendalikan. "Fungsi
pengawasan, anggaran, dan legislasi akan dapat mereka kuasai. Bahkan, proses
politik di MPR pun tidak lepas dari usaha mewujudkan kepentingan politik
Koalisi Merah Putih yang dapat melemahkan pemerintahan Jokowi-JK,"
katanya.
Ketua Fraksi PKS DPR RI Hidayat Nur Wahid yang juga Wakil Ketua MPR RI
mengatakan bahwa terpilihnya pimpinan DPR dari KMP harus ditanggapi bukan sebagai
upaya untuk menjegal pemerintah, melainkan sebagai penguatan pengawasan
terhadap pemerintah.
"Ini adalah politik untuk melakukan fungsi ’check and balance’ terhadap
eksekutif," kata Hidayat Nurwahid yang pernah menjadi Ketua MPR RI periode
2004--2009.
Menurut dia, pemerintahan yang kuat memerlukan sistem "check and
balances" yang kuat juga dari DPR sebagai kelompok penyeimbang.
"Semoga program Pak Jokowi yang kuat revolusi mental itu bisa dilaksanakan
secara efektif. Sebab, kalau tidak ada yang mengawasi yang kuat, sangat mungkin
yang terjadi adalah seperti dulu, yaitu praktik ’asal bapak senang’. Kalau
seperti itu tidak terjadi revolusi mental," ujar dia.
Ketua DPP Partai Demokrat Benny K. Harman memastikan partainya penyeimbang bagi
pemerintahan Joko Widodo. "Apabila program pemerintahan Jokowi memang ada
manfaatnya untuk masyarakat dan membangun demokrasi buat bangsa ini menjadi
lebih baik, Demokrat pasti akan mendukung. Apabila program dari Jokowi ada yang
tidak sesuai, kami akan mengkritisi sebagai bagian dari upaya untuk membangun
terwujudnya pemerintahan yang akuntabel," katanya.
Terkait dengan penguasaan parlemen oleh KMP, Benny mengatakan bahwa Presiden
Joko Widodo harus punya kemampuan untuk membangun komunikasi politik dengan
KMP. Pemerintahan Joko Widodo dapat menjalankan pemerintahannya dengan baik dan
tidak perlu ragu dan malu untuk melanjutkan program dari SBY apabila memang
positif untuk rakyat. "Kalau misalnya ada yang kurang baik, bisa
diperbaiki. Akan tetapi, kalau misalnya sudah baik, ya, bisa dilanjutkan
kembali," katanya.
Joko Widodo pada hari Selasa (14/10) menjalin komunikasi langsung dengan Ketua
Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie pada "ngopi bareng" di kawasan
Kuningan, Jakarta Selatan. Joko Widodo seusai pertemuan tertutup itu mengatakan
bahwa pertemuan untuk membuktikan bahwa tidak ada masalah atas perbedaan
koalisi. Adanya perbedaan dalam politik itu biasa dan merupakan perwujudan dari
demokrasi yang wajar.
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengapresiasi pertemuan Joko Widodo dan Aburizal
Bakrie. "Itu momentum untuk bersatu," kata Zulkifli.
Silaturahmi itu akan menambah suasana sejuk bangsa. Suasana sejuk itu juga
membuat keyakinan para investor dalam menanamkan sahamnya di Indonesia.
Alhasil publik bakal melihat dalam waktu dekat ini, misalnya, bagaimana DPR
yang baru dilantik dan diambil sumpah dan janjinya pada tanggal 1 Oktober lalu
itu, membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 dan
Nomor 2 Tahun 2014 yang diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apakah
menerima atau menolak perpu tersebut.
Dewan Perwakilan Rakyat periode sebelumnya telah menyetujui RUU Pilkada menjadi
UU dan Kepala Negara telah mengesahkan menjadi UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pilkada yang memuat mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD setempat,
tidak lagi secara langsung oleh rakyat. Lalu, terbit perpu yang menggantikan UU
itu. Perpu mengembalikan lagi pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat. Koalisi Indonesia Hebat menyetujui pilkada secara langsung.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens mengatakan bahwsa
media massa bakal menjadi kekuatan Joko Widodo-Jusuf Kalla, selain ruang publik
yang terbuka. Apabila Jokowi ditekan parlemen, publik bisa menilai langsung dan
dapat menekan balik parlemen, kata Boni dalam diskusi publik "Konsolidasi
Nasional dalam Rangka Mengawal Trisakti dan Nawacita Menuju Indonesia yang
Adil, Sejahtera, dan Beradab Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945" di
Jakarta, Selasa (14/10).
Kekuatan itu bersanding dengan kekuatan figur Joko Widodo yang fleksibel,
populis, dan mendapatkan dukungan nyata dari rakyat, serta adanya partai
pendukung yang ideologis dan solid, seperti PDI Perjuangan. Meski demikian,
Joko Widodo bersama kubunya juga memiliki kelemahan, seperti euforia kemenangan
yang tidak dijaga dengan baik. "Ada perilaku ’over confidence’ sehingga
lupa lobi-lobi politik di parlemen," katanya.
Selain itu, adanya jurang antara realitas politik yang tidak ideal dengan visi
dan misi Jokowi yang ideal sehingga menciptakan kerumitan politik. Contohnya,
rencana kenaikan harga BBM, yang bisa menjadi komoditas politik partai
penyeimbang.
Joko Widodo kepada Prabowo secara terbuka pun mempersilakan mengoreksi
pemerintahannya bila ada kebijakan yang tidak prorakyat. Awal yang baik.
Selamat bekerja pemerintahan baru. [Ant/SP)
0 Comments