O R A N G T O B A
DNA, Negeri, Budaya, dan Asal-usulnya
Oleh: Edward Simanungkalit *
Gunung Toba meletus 74.000
tahun lalu dan dari kalderanya terjadilah Danau Toba. Letusan terbesar
di sepanjang sejarah ini telah memusnahkan banyak kehidupan. Para ahli
biologi molekuler menemukan bahwa telah terjadi penyusutan genetik
akibat letusan tersebut dan manusia sekarang adalah keturunan dari
sedikit manusia itu. Letusan berikutnya masih terjadi lagi dalam skala
lebih kecil 30.000 tahun lalu di bagian selatan. Pada masa itu Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Malaka dan pulau-pulau kecil di sekitarnya masih
menyatu dengan benua Asia, yang dikenal dengan nama Sundaland.
Sekitar
20.000 tahun terakhir terjadi kenaikan air laut setinggi 120-130
meter, kata geolog Dr. Danny Hilman (20/05-2013), dalam seminar
peluncuran bukunya: “PLATO TIDAK BOHONG: Atlantis Ada Di Indonesia”(www.youtube.com).
Di sekitar 11.600 tahun lalu banyak sekali terjadi letusan gunung
berapi, gempa bumi, dan banyak juga bencana banjir, sehingga pada
akhirnya menenggelamkan Sundaland menjadi seperti sekarang. Ada juga
peristiwa air laut naik tiba-tiba hingga 20 meter yang terkenal dengan
namayounger dryes setelah suhu udara demikian panas hingga mencairkan es pada zaman es akhir.
Bencana alam dan banjir mengakibatkan migrasi manusia dari Sundaland ke Asia. Penelitian DNA manusia, yang dilakukan Stephen Oppenheimer,
memperlihatkan migrasi itu hingga tiba pada kesimpulan bahwa Sundaland
merupakan induk peradaban dunia, dalam bukunya “Eden in The East: The
Drowned Continent of Southeast Asia” (1998). Nenek moyang semua manusia
berasal dan keluar dari Afrika (Out of Africa)
dan hanya memiliki satu jalur utama migrasi ke Asia yaitu melalui
Sundaland sekitar 70.000 tahun lalu, baru kemudian menyebar ke berbagai
kawasan di Asia. Jalur migrasi manusia ini dipetakan oleh 90 orang lebih
ilmuwan Asia dari konsorsium Pan-Asian SNP di bawah naungan Human
Genome Organisation (HUGO) yang melakukan studi terhadap 73 populasi di
Asia Tenggara dan Asia Timur. Dan, akar genetik manusia berhubungan
sangat erat dengan kelompok etnik dan kelompok bahasa (Detik, 11/12-2009; Kompas,14/12-2009 & 12/12-2011). Awalnya terjadi migrasi dari Sundaland ke Asia (Out of Sundaland) dan setelah Sundaland tenggelam barulah migrasi terjadi dari Asia ke kawasan bekas Sundaland (Out of Taiwan).
Pesisir Timur Sumatera Bagian Utara
Penelitian
arkeologi yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927),
Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa,
Aceh Timur (1930), MacKinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan
Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim
Balai Arkeologi Medan (Balarmed) di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa
para pendukung budaya Hoabinh sudah datang pada masa Mesolitik di
sekitar 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21).
Belakangan
ditambah dengan hasil penelitian Balarmed di Bener Meriah di Aceh
(2012). Migrasi di pesisir timur Pulau Sumatera ini berlangsung pada
periode Mesolitik berkisar 7.000-5.000 tahun lalu (Boedhisampurno, 1983;
McKinnon, 1990; Belwood, 2000:253). Salah satu indikasinya yaitu dengan
ditemukannya budayaHoabinh berupa peralatan batu, yang disebut Sumatralith ( Wiradnyana, 2011:127). Kemudian Ketut Wiradnyana mengemukakan bahwa temuan fosil dari Loyang Mandale, Aceh Tengah berusia 8.430 tahun (Lintas Gayo, 11/07-2014).
Para
pendukung budaya Hoabinh juga sudah ditemukan kedatangannya di Pulau
Nias. Meskipun demikian, di Nias dan Kuantan Singingi, Riau telah
ditemukan kehidupan lebih awal dari masa Paleolitik 10.000 tahun lalu
dan selebihnya (Wiradnyana, 2011:9-17, 25-290). Baru-baru ini juga telah
ditemukan fosil manusia lebih tua di Gua Harimau, desa Padang Bindu, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan berusia 16.000 tahun (Tribunnews,19/05-2014).
Penggalian masih akan dilanjutkan, karena diperkirakan memiliki fosil
berusia mencapai 60.000 tahun bahkan lebih. Demikian gambaran tentang
Sumatera bagian Utara.
Kebudayaan Hoabinh di Toba
Dalam bukunya “Prasejarah Kepuluan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai
contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Sim-sim dekat Danau Toba di
Sumatera bagian Utara (1.450 m di atas permukaan laut) menunjukkan bahwa
pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”.
Di sini Bellwood merujuk hasil penelitian Bernard K. Maloney di daerah
Humbang, Sumatera Utara. Penelitian paleoekologi atas pembukaan hutan
dilakukan dengan menganalisis serbuk sari (polen) di Pea Sim-sim, Pea
Bullock, Pea Sijajap, dan Tao Sipinggan. Penelitian ini membuktikan,
bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang (www.anu.edu.au; www.manoa. hawaii.edu; www.lib. washington.edu). Bila dihubungkan dengan temuan fosil berusia 8.430 tahun di Loyang Mandale, Aceh Tengah, maka paling besar kemungkinannya bahwa mereka adalah para pendukung kebudayaan Hoabinh.
Mereka merupakan
bangsa setengah menetap, pemburu, bercocok-tanam sederhana, dan
bertempat tinggal di gua. Mereka menggunakan kapak genggam dari batu,
kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan
batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok
dengan ditaburi zat warna merah, mata panah, dan flakes. Makanannya
berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan.
Kebudayaan Hoabinh berasal dari zaman batu tengah di masa Mesolitik
sekitar 10.000 - 6.000 tahun lalu. Para pendukung kebudayaan Hoabinh ini
merupakan ras Australomelanesoid. Mereka datang dari dataran rendah Hoabinh di dekat Teluk Tonkin, Vietnam (bnd. Edward Simanungkalit, 2012).
Kebudayaan Austronesia di Toba
Robert von Heine Geldern mengemukakan bahwa kelompok pendukung kebudayaan Dong Sonbermigrasi
dari Selat Tonkin, Vietnam ke Sumatera bagian Utara pada masa Neolitik
sekitar 6.000-2.000 tahun lalu (Pasaribu, 2009:ii). Sedang Ketut
Wiradnyana dari Balai Arkeologi Medan mengatakan: “Sementara di Tanah
Batak didominasi oleh budaya Dong Son (salah satu budaya yang berasal dari Vietnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2.500 tahun yang lalu. Budaya Dong Son ini
ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah
Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan
bulu-bulu panjang.” (Waspada, 11/01-2012).
Pada Juli 2013, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian "Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir"
dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survei arkeologi. Disimpulkan
bahwa kelompok migran pendukung budaya Dong Son telah datang dari China
bagian Selatan melalui jalur timur menuju ke Taiwan, terus ke Filipina
dan diteruskan lagi ke Sulawesi dan seterusnya ke Sumatera hingga
mencapai Samosir (Wiradnyana & Setiawan, 2013:7). Berdasarkan
tradisi megalitik di Samosir tadi, Ketut Wiradnyana memperkirakan bahwa
migrasi ke Samosir terjadi pada sekitar penghujung millenium pertama
masehi hingga awal millenium kedua atau sekitar 800 tahun lalu.
Kelompok
pendukung kebudayaan Dong Son telah mengenal teknologi pengolahan
logam, pertanian, berternak, menangkap ikan, penggunaan moda
transportasi, bertenun, membuat rumah, dll. Kebudayaan yang berkembang
di Vietnam ini merupakan kebudayaan zaman perunggu. Masyarakat Dong Son
adalah masyarakat
petani
dan peternak yang handal dan terampil menanam padi, memelihara kerbau
dan babi, serta memancing. Mereka juga dikenal sebagai masyarakat
pelaut, bukan hanya nelayan, tetapi juga pelaut yang melayari seluruh
Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang
(wikipedia).Masyarakat Dong Son berasal dari rasMongoloid. Kebudayaan Dong Son secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia. Beberapa pakar menggolong rumpun bahasa Austro-Asiatik dengan rumpun bahasa Austronesia dan menamakannya rumpun bahasa besar atau superfamili Austrik.
Orang Toba Dari Negeri Toba
Pendukung
budaya Hoabinh yang sudah datang ke Humbang 6.500 tahun lalu mengalami
perjumpaan dengan pendukung budaya Dong Son. Perjumpaan ini akhirnya
didominasi oleh kebudayaan Dong Son, karena lebih maju daripada
kebudayaan Hoabinh. Kebudayaan Dong Son merupakan kelompok kebudayaan Austronesia dan orang Toba merupakan penutur bahasa Austronesia. Istilah
“Toba” dipergunakan sesuai dengan cap Raja Singamangaraja XII yang
menyebut “Raja dari Negeri Toba”, sedang Sitor Situmorang memakainya di
dalam bukunya “Toba Na Sae”. Wilayah Toba yang dimaksud yaitu: Toba
Samosir, Toba Humbang, Toba Holbung, dan Toba Silindung.
Perjumpaan
dua ras, yaitu ras Australomelanesoid dan ras Austronesia-mongoloid,
telah melahirkan orang Toba. Sehubungan dengan DNA Toba, maka baru-baru
ini Mark Limpson meneliti penutur Austronesia dengan menggunakan
data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome
Diversity Panel (HGDP). Statistik yang dibuat Mark Limpson (2014:87) tentang orang Toba memiliki unsur dan perbandingan seperti berikut: Austronesia (55%), Austro-Asiatic (25%), dan Negrito (20%). Ras
Austronesia yang dimaksud di sini khususnya dari ras Mongoloid dengan
DNA Haplogroup O. Sementara ras Austro-Asiatic hampir dua pertiga
memiliki DNA dengan Haplogroup O. Sedang ras Negrito banyak memiliki
DNA dengan Haplogroup M dan selain itu memang berasal dari Afrika
sebagai asal migrasi awal, sehingga tidak mengherankan kalau orang Toba
memiliki DNA yang berasal dari Afrika. Akan tetapi, pengaruh budaya
Dongson lebih dominan di dalam budaya Toba dan Ras Austronesia-mongoloid
dominan di dalam diri orang Toba dan DNA Toba ditemukan memiliki Haplogroup O (Lihat: O-M122, O-M95, O- MSY2.2).
***
Akhirnya,
orang Toba merupakan percampuran ras Australomelanesoid dengan ras
Mongoloid dari kelompok kebudayaan Austronesia. Dari penelitian biologi
molekuler bahwa DNA orang Toba ialah Haplogroup O yang terdiri dari
Austronesia (55%), Austro-asiatic (25%), dan Negrito (20%). Sebelum
Sianjur Mula-mula dihuni sekitar 800-1.000 tahun lalu, maka telah lebih
dulu manusia ada di Humbang sekitar 6.500 tahun lalu. Orang Toba itu
dari Negeri Toba: Humbang, Samosir, Toba Holbung, dan Silindung
(Jakarta, 03012015).
*Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
0 Comments