Pengibaran bendera pusaka merah putih pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Foto: Frans Mendur/IPPHOS. |
Tiba saatnya proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Ketika Fatmawati akan melangkahkan kaki keluar dari pintu rumahnya terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada.
“Kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur
masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu.
Bendera itu aku
berikan pada salah satu yang hadir di tempat depan kamar tidur. Nampak
olehku di antara mereka adalah Mas Diro (Sudiro ex walikota DKI), Suhud,
Kolonel Latif Hendraningrat. Segera kami menuju ke tempat upacara,
paling depan Bung Karno disusul oleh Bung Hatta, kemudian aku,” kata
Fatmawati.
Setelah Sukarno membacakan proklamasi, Latif Hendraningrat dan Suhud kemudian mengerek bendera pusaka merah putih
Fatmawati, mempersiapkan bendera Merah Putih, satu setengah tahun sebelum Hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Sekarang?
Tujuh puluh tahun kemudian, 17 Agustus 2015, tak sampai 10 persen
rumah rumah mengibarkan bendera. Padahal, bendera Merah Putih sudah bisa
diperoleh dengan mudah dimana-mana-tak perlu menjahit lagi seperti bu
Fat.
Tapi, cuma mengibarkan aja kita nggak mau. Ibu Fat pasti menangis melihat kita, andai beliau hidup hari ini. Malu dong! (St Jannerson Girsang)
Meluruskan Sejarah Bendera Pusaka
Bendera pusaka merah putih yang dikibarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan terbuat dari kain seprai dan tenda warung soto.
DI
internet beredar luas informasi mengenai kain bendera pusaka merah
putih yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Disebutkan, bendera itu berasal dari kain seprai warna putih dan kain
tenda sebuah warung soto warna merah. Keterangan ini berasal dari Lukas
Kustaryo, seorang tentara, yang menceritakan pengalamannya kepada
majalah Intisari, Agustus 1991. (Baca: Lukas Kustaryo, Kisah Duka Dari Rawagede)
Kustaryo mengklaim telah mengkonfirmasikannya kepada Fatmawati.
“Benar, kain merah putih yang saya jahit itulah pemberian saudara,” kata
Fatmawati, seperti ditirukan Kustaryo.
Benar atau tidak klaim Kustaryo, wartawan Intisari jelas tak
bisa mengkonfirmasikannya kepada Fatmawati yang wafat pada 14 Mei 1980.
Yang pasti, Fatmawati sendiri menceritakan dari mana dia mendapatkan
kain untuk bendera merah putih dalam bukunya, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume 1, yang terbit tahun 1978.
Menurut Fatmawati, suatu hari, Oktober 1944, tatkala kandungannya
berumur sembilan bulan (Guntur lahir pada 3 November 1944), datanglah
seorang perwira Jepang membawa kain dua blok. “Yang satu blok berwarna
merah sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa Hokokai,” kata Fatmawati.
Dengan kain itulah, Fatmawati menjahitkan sehelai bendera merah putih
dengan menggunakan mesin jahit tangan,“sebab tidak boleh lagi
mempergunakan mesin jahit kaki.”
Pemberian kain sebagai bahan bendera itu agaknya berkaitan dengan
pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 7 September 1944 bahwa Jepang
berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia “kelak di kemudian
hari.”
Menurut Sukmawati Sukarnoputri, dikutip oase.kompas.com, 24
Juli 2011, Fatmawati menjahit sambil sesekali terisak dalam tangis
karena dia tidak percaya Indonesia akhirnya merdeka dan mempunyai
bendera serta kedaulatan sendiri.
Siapa perwira Jepang yang mengantarkan kain merah putih kepada Fatmawati?
Perwira tersebut adalah seorang pemuda bernama Chairul Basri. Dia mendapatkannya dari Hitoshi Shimizu, kepala Sendenbu (Departemen Propaganda).
Pada 1978, Hitoshi Shimizu diundang Presiden Soeharto untuk menerima
penghargaan dari pemerintah Indonesia karena dianggap berjasa
meningkatkan hubungan Indonesia-Jepang. Usai menerima penghargaan,
Shimizu bertemu dengan kawan-kawannya semasa pendudukan Jepang.
“Pada kesempatan itulah ibu Fatmawati bercerita kepada Shimizu bahwa
bendera pusaka kainnya dari Shimizu,” kata Chairul Basri dalam
memoarnya, Apa yang Saya Ingat.
Pada kesempatan lain, waktu berkunjung lagi ke Indonesia, Shimizu
menceritakan kepada Chairul Basri bahwa dia pernah memberikan kain merah
putih kepadanya untuk diserahkan kepada Fatmawati. Kain itu diperoleh
dari sebuah gudang Jepang di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat, di depan
bekas bioskop Capitol. “Saya diminta oleh Shimizu untuk mengambil kain
itu dan mengantarkannya kepada ibu Fatma,” kenang Chairul.
Tiba saatnya proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Ketika Fatmawati akan melangkahkan kaki keluar dari pintu rumahnya
terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada. “Kemudian aku berbalik
mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan,
satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah satu
yang hadir di tempat depan kamar tidur. Nampak olehku di antara mereka
adalah Mas Diro (Sudiro ex walikota DKI), Suhud, Kolonel Latif
Hendraningrat. Segera kami menuju ke tempat upacara, paling depan Bung
Karno disusul oleh Bung Hatta, kemudian aku,” kata Fatmawati.
Setelah Sukarno membacakan proklamasi, Latif Hendraningrat dan Suhud kemudian mengerek bendera pusaka merah putih. (Sumber: http://historia.id/modern/meluruskan-sejarah-bendera-pusaka)
0 Comments