Hutomo Mandala Putra yang akrab dipanggil Tommy Soeharto.
|
JAKARTA - Mahkamah Agung mengabulkan
peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung dalam perkara
penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat mantan Presiden
Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Beasiswa Supersemar. Hal
tersebut mendapatkan reaksi dari putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala
Putra yang akrab dipanggil Tommy Soeharto.
Tommy menjelaskan hal tersebut melalui akun twitter @Tommy_Soeharto1.
"Berarti lulusan terbaik penerima beasiswa tahun 70 harus urunan nih,
hitung-hitung untuk tambah biaya kampanye yang akan datang," tulis
Tommy, Selasa (11/8/2015).
Ia pun menyinggung dana BLBI yang kasusnya belum selesai hingga saat
ini. "Beasiswa untuk masyarakat sejak tahun 70-an diminta dikembalikan.
Kalau dana BLBI cukup diendapkan saja. Maklum takut kena jewer,"
imbuhnya.
Tommy mempertanyakan apakah penegak hukum siap menghadapi gugatan
dari para penerima beasiswa yang sudah menjadi orang besar. "Bahkan di
lingkungan anda sendiri ada beberapa penerima dana bantuan beasiswa
tersebut. Tentu saja jika ada penerima beasiswa yang tidak Merasa
terpengaruh dengan ungkit mengungkit yang dilakukan rezim ini, pasti itu
golongan lupa," katanya.
Putra bungsu Soeharto itu menyebutkan beasiswa Supersemar itu untuk
membiayai pendidikan putra putri tanah air. "Bukan membiayai komunis,
apa itu yang membuat keberatan," tanyanya.
Diketahui, seperti dikutip harian Kompas, Selasa (11/8/2015), Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Supersemar
harus membayar 315 juta dollar Amerika Serikat dan Rp 139,2 miliar
kepada negara. Apabila 1 dollar AS sama dengan Rp 13.500, uang yang
dibayarkan mencapai Rp 4,25 triliun ditambah Rp 139,2 miliar atau
semuanya Rp 4,389 triliun.
Juru bicara MA, Suhadi, mengaku belum mengetahui detail putusan
tersebut. "Namun, kalau (putusan) sudah ada di website, itu benar
adanya," ujar Suhadi.
Situs resmi MA mencantumkan, majelis PK yang terdiri dari Suwardi
(ketua majelis), Soltoni Mohdally, dan Mahdi Soroinda mengabulkan PK
yang diajukan Negara RI cq Presiden RI melawan mantan Presiden Soeharto
dan ahli warisnya. Majelis yang sama menolak PK yang diajukan Yayasan Supersemar. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 140 PK/PDT/2015 tersebut dijatuhkan pada 8 Juli.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan
Agung Noor Rachmat mengaku belum mengetahui putusan tersebut. Namun, ia
memastikan Kejagung memang mengajukan PK atas kesalahan ketik yang ada
dalam putusan MA tahun 2010 terkait dengan perkara gugatan terhadap
mantan Presiden Soeharto dan Yayasan Supersemar.
"Kami pernah mengajukan karena ada salah ketik jumlah dalam putusan," ujar Noor Rachmat.
Pada 2010, MA memutuskan mantan Presiden Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar
(tergugat II) bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Majelis
kasasi yang dipimpin Harifin A Tumpa dengan hakim anggota Rehngena Purba
dan Dirwoto memutuskan mereka harus membayar kembali kepada negara
sebesar 315 juta dollar AS (berasal dari 75 persen dari 420 juta dollar
AS) dan Rp 139,2 miliar (berasal dari 75 persen dari Rp 185,918 miliar).
Persoalan muncul ketika terjadi kesalahan dalam pengetikan putusan.
MA tidak menuliskan Rp 139,2 miliar, tetapi Rp 139,2 juta alias kurang
tiga angka nol.
Kasus ini bermula ketika pemerintah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar
atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Dana yang seharusnya
disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada
beberapa perusahaan, di antaranya PT Bank Duta 420 juta dollar AS, PT
Sempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp
150 miliar. Negara mengajukan ganti rugi materiil 420 juta dollar AS dan
Rp 185 miliar serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.
Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Yayasan Supersemar
bersalah menyelewengkan dana. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta. Jaksa yang belum puas kemudian mengajukan kasasi. (TRIBUNNEWS.COM)
0 Comments