Diskusi Pilkada Serentak di Gedung Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, hari Kamis (10/9). (Foto: Francisca Christy Rosana) |
JAKARTA, Batasan keterlibatan gereja dalam
pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada
Desember mendatang masih kerap menjadi pertanyaan. Sekretaris Umum
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Gomar Gultom mengatakan,
dalam kerangka pesta politik daerah ini, keterlibatan gereja seharusnya
hanya sebatas mengawal, bukan terjebak dalam eufioria salah satu
kandidat.
“Dalam kerangka ini, kami mengeluarkan seruan supaya keterlibatan
gereja dalam pilkada hanya mengawal dan tidak terjebak menjadi bagian
dari tim sukses,” ujar Gomar dalam Diskusi Pilkada Serentak di Gedung
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, hari Kamis
(10/9).
Tak dimungkiri, gereja siap tidak siap harus menghadapi mekanisme
demokrasi. Gereja harus menyadari, pilkada sebagai mekanisme pemilihan
kepemimpinan dalam alam demokrasi telah menjadi satu kesatuan.
Senada dengan Gomar, Ketua PGI, Albertus Patty mengatakan, gereja tak
pada posisi mendukung atau menjegal salah satu kandidat calon pemimpin.
Keterlibatan gereja dalam pesta demokrasi harus tetap pada fungsinya,
yaitu sebagai kontrol sosial.
Ada banyak hal yang membuat gereja tak boleh terlibat dalam kursi tim
sukses. Pertama, keterlibatanitu akan memecahkan gereja dari dalam.
“Lalu juga akan memecahkan gereja dengan hubungan antaragama yang
lain karena gereja memihak. Gereja yag mendukung kandidat, jika
kandidatnya tersandung kasus korupsi dan sebagainya, gereja tidak mampu
bersuara dan melakukan suara kenabiannya,” ujar dia.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Sebastian
Salang mengungkapkan, intitusi agama dan tokoh agama harus dapat menjaga
nilai-nilainya. Masyarakat atas nama atas nama agama tak boleh tergoda
menerima transaksi apapun untuk melancarkan politik ‘hitam’. “Ketika
Anda terjebak, Anda akan selesai,” kata dia. (SATUHARAPAN.COM )
0 Comments