Presiden Jokowi Tinjau Kawasan Bahari Terpadu Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan, Sabtu 10 Oktober 2015. Foto IST FB Presiden Joko Widodo |
Surat Terbuka Warga Riau pada Presiden Jokowi
Yakinkan saya bahwa ini bukan genosida.
***
Selamat pagi Pak Jokowi, bagaimana tidurnya tadi malam di Sumatera?
Semoga
segar ya Pak. Soalnya hujan turun berkali-kali. Luar biasa! Rakyat Riau
yang jadi korban asap, setelah dua bulan lebih, akhirnya dapat melihat
matahari lagi. Kedatangan Bapak, lebih 'makbul' mengalahkan jutaan doa
kami.
Pak, mumpung udara lumayan segar, saya ingin
sedikit bercerita. Saya lahir di sebuah kota kecil, Siak namanya. Dulu
saat saya SD, kami diajari bahwa Indonesia hanya punya dua musim, panas
dan hujan. Tapi sejak menginjak bangku SMP, kami mengenal musim lain
lagi, namanya musim kebakaran hutan.
Itu kisah 17 tahun
lalu lho Pak. Selama itu pula kami tak pernah merasakan 365 hari udara
segar. Karena akan ada masa matahari tak bisa tembus menyinari tanah
kami. Semuanya mendadak terlihat seperti negeri di atas awan. Padahal
aslinya asap.
Dulu yang kami tahu, bila ada lahan
terbakar, hanya akan dipadamkan secara gotong royong. Tapi sejak
beberapa tahun terakhir asap semakin menjadi-jadi. Apalagi tahun ini,
bisa dibilang paling mengerikan karena berbulan-bulan asap tak mau
hilang. Ia betah di negeri kami.
Jadi Pak, sebenarnya dulu negeri kami tak begini.
Pak,
apakah rakyat Indonesia tahu, untuk memadamkan kebakaran hutan ada
cara-cara lebih modern. Istilahnya water bombing atau bom air. Cara
kerjanya, helikopter akan membawa semacam tabung air yang digantungkan
di bawah heli. Lalu helikopternya terbang ke sumber air, mengangkut air
dan menyiramkan air di titik api yang ada.
Cara ini
sulit lho pak. Sang pilot harus bolak balik, dari sumber air ke titik
api, berkali-kali, dengan gerak yang cukup terbatas karena harus menjaga
jarak pandang dan ketinggian dari batas panas.
Tapi
kalau api membara dan asap kian pekat, helikopter itu tak bakal terbang.
Jadi pada waktu tertentu, sebenarnya ribuan titik api itu hanya
dibiarkan begitu saja.
Apakah masyarakat Indonesia
tahu, ongkos parkir heli itu mahal. Apalagi mayoritas helikopter untuk
mengatasi bencana, ternyata bukanlah milik kita tapi sewaan dari pihak
asing. Pilot dan semua kru di dalamnya, rata-rata para bule yang berasal
dari perusahaan sewa menyewa helikopter.
BNPB
mengakui, bila harga sewanya mencapai 6.000 dollar AS atau sekitar Rp84
juta per jam! Mahal banget ya Pak. Andai dalam sehari disewa 5 jam saja,
artinya Rp420.000.000. Dikali tiga bulan sejak kebakaran kian meluas.
Lalu dikali lagi bertahun-tahun sejak kebakaran lahan dan hutan.
Wuiiiiiih....
Meski begitu Pak, saya menaruh hormat pada tim pemadam. Khususnya yang di darat. Mereka pahlawan kami. Tapi
kira-kira mereka tahu gak ya Pak, jika jumlah titik api yang mereka
padamkan itu ribuan, dengan luasan ratusan hektar? Satu dipadamkan,
masih ada ribuan titik api lainnya membara. Kasihan ya Pak mereka.
Ada
juga cara lain memadamkan api. Istilah modifikasi cuaca. Sederhananya
sih berton-ton garam akan diangkut menggunakan pesawat jenis Cassa, lalu
garam itu ditaburkan di atas langit suatu daerah, dengan tujuan agar
terkumpul awan yang bisa mendatangkan hujan. Cara kerjanya juga
suliiiiiiit sekali. Harus benar-benar terprediksi, bila tak ingin hanya
menabur garam sia-sia.
Kira-kira, rakyat Indonesia tahu
gak ya, kalau modifikasi itu muahaaaal sekali. BNPB melansir, untuk 90
hari kerja saja, dibutuhkan anggaran hingga Rp40 miliar. Artinya dengan
kalkulasi sederhana, dalam sehari dibutuhkan biaya modifikasi cuaca
bernilai ratusan juta, hanya untuk 'membuang' garam. Luar biasa.
Untuk
dua kegiatan itu, BNPB tahun ini saja, sudah menyiapkan dana siap pakai
sebesar Rp385 miliar. Itu kabarnya hanya di Riau saja (tolong koreksi
bila saya salah, maklum Pak, saya copas dari media online yang ada aja).
Bila masuk situasi tanggap darurat seperti sekarang, katanya biaya yang tersedia bahkan sampai 'tak berbatas' Ck...ck...ck...
Logika
bodoh saya sebagai rakyat nih Pak, jika anggaran untuk penanggulangan
asap tiap tahun terus meningkat, dengan nilai yang juga luar biasa
dahsyat, artinya bencana ini sudah diprediksi jauh sebelum bencana
benar-benar terjadi.
Semoga logika saya benar-benar
bodoh ya Pak. Karena jika ternyata kebodohan itu benar adanya, tentu
wajar jika saya katakan, ini bukan lagi bencana, tapi genosida.
Pak,
saya aja ngeri sendiri membaca definisi genosida, yang memang beberapa
diantara poinnya sudah kami alami. Meski cuma sebagian kecil.
Misalnya,
sebagian kami sudah berjatuhan jadi korban, baik materi maupun nyawa,
sebagian kami sudah didera penyakit asma akut, fisik lemah
bertahun-tahun menghirup asap, sebagian kami, melahirkan anak-anak yang
terancam idiot. Anak-anak kami juga dipaksa untuk tidak sekolah, tidak
keluar rumah. Terkurung asap.
Mudah-mudahan saja itu
cuma logika bodoh saya. Maklumlah, 17 tahun itu bukan waktu yang
sebentar. Saya merasakan asap sejak masih perawan hingga jadi Ibu satu
anak. Mungkin otak saya kini sudah mulai rusak.
Pak,
kami sudah bosan dikibuli, diberi janji-janji bakal tak ada asap lagi.
Akhir tahun lalu, Bapak sendiri lho yang bilang bahwa mengatasi bencana
asap itu mudah saja dan September 2015 ditargetkan semua asap lenyap.
Tapi
buktinya, malah di bulan yang bapak janjikan itu,bencana asap menjadi
yang paling terparah sepanjang sejarah. Terpaksa deh kami gigit dua
jari!
So, selamat menikmati asap Sumatera ya Pak Jokowi.
Mohon nanti kalau pulang, asapnya dibawa serta ke 'Jakarta'. Agar
langit kami benar-benar biru dan para korban asap tak lagi
termengap-mengap.
Salam
Afni Zulkifli, Ibu dari seorang putri 3,5 Tahun.
0 Comments