Soeharto hendak memberikan suara dalam Pemilu 2004 (dikhy/detikcom) |
BERITASIMALUNGUN.COM, Jakarta -Yayasan Supersemar bikinan Soeharto akan memasuki babak baru ketika Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memanggil pihak Kejaksaan Agung
(Kejagung) dan pihak Yayasan Supersemar terkait eksekusi Rp 4,4 triliun.
Nantinya pihak pengadilanlah yang akan menetapkan pelaksanaan eksekusi
apabila kubu yayasan itu tidak sukarela membayar duit tersebut.
Pihak pengadilan sendiri tengah mempersiapkan penetapan panggilan aanmaning atau peringatan
dalam hukum perdata. Peringatan yang dimaksud yaitu tindakan yang
dilakukan ketua pengadilan kepada pihak yang kalah agar segera
melaksanakan isi putusan secara sukarela.
"Masih
disiapkan penetapan panggilan aanmaning," kata Kepala Humas PN Jaksel
Made Sutrisna ketika dikonfirmasi, Senin (9/11/2015) kemarin.
Aanmaning
sendiri dilakukan dengan melakukan panggilan pada pihak yang kalah
dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan. Apabila pihak yang
kalah tidak hadir maka akan dipanggil lagi.
Namun
apabila tidak hadir lagi maka hak tergugat untuk dipanggil gugur dan
tidak perlu ada proses sidang peringatan. Kemudian ketua pengadilan
dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada
panitera atau juru sita.
Mengenai eksekusi harta
yayasan tersebut, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sudah berupaya mendorong
pihak pengadilan untuk segera menindaklanjutinya. Hal itu lantaran
pihak Kejagung sudah mengirim surat permohonan eksekusi kepada pihak
pengadilan.
"Kita tunggu bagaimana nanti yang
menjadi tindak lanjut dari permintaan kita itu. Kembali saya katakan ini
adalah kewenangan dari PN Jaksel. Kita berharap bagaimana pihak
tergugat bisa secara sukarela memenuhi kewajibannya. Kalau pun tidak
kembali kita akan memohon kepada PN Jaksel untuk bagaimana selanjutnya,"
kata Prasetyo di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan,
Kamis (5/11/2015).
"Kita hanya pihak
berkepentingan, tentunya kita hanya bisa mendesak dan meminta putusan
secara inkracht bisa dilaksanakan," imbuh Prasetyo menegaskan.
Yayasan
Supersemar sendiri didirikan pada awal tahun 70-an dengan tujuan sosial
kependidikan. Namun dalam perjalanannya, dana yayasan itu
diselewengkan.
Dari putusan Mahkamah Agung (MA)
sendiri kasus bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan 50 persen dari 5
persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar.
Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser,
mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.
Namun
dalam perjalanannya dana itu yang seharusnya untuk membiayai dana
pendidikan rakyat Indonesia diselewengkan. Setelah Soeharto tumbang,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diwakili Kejagung
menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai oleh Soeharto telah melakukan
perbuatan melawan hukum.
Pada
27 Maret 2008, PN Jaksel mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum
Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta
dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.
Vonis
ini kemudian dikuatkan di tingkat kasasi. Majelis kasasi menghukum
Yayasan Supersemar membayar kepada penggugat yaitu 75 persen x USD 420
juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen x Rp 185.918.904 atau
sama dengan Rp 139.229.178.
Namun
ternyata putusan kasasi itu salah ketik, seharusnya tertulis Rp 185
miliar tetapi tertulis Rp 185 juta. Kesalahan ketik itu membuat geger
karena putusan tidak dapat dieksekusi.
Jaksa
lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013. Ternyata
di saat yang bersamaan Yayasan Supersemar juga melakukan PK. Namun MA
memenangkan PK yang diajukan jaksa dan vonis itu diketok pada 8 Juli
2015.
Dari duit yang diselewengkan itu, berdasarkan putusan MA, kebocoran dana mengalir ke sejumlah bank dan juga perusahaan, yaitu:
1. Bank Duta, kini menjadi Bank Danamon
2. Sempati Air
3. PT Kiani Lestari
4. PT Kalhold Utama
5. Essam Timber
6. PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri
7. Kosgoro
Jumlah duit yang diterima beragam dan dalam kurun waktu yang berbeda-beda yaitu:
Bank Duta menerima USD 420 juta, dengan rincian:
Pada 22 September 1990 sebesar USD 125 juta
Pada 25 September 1990 sebesar USD 19,59 juta
Pada 26 Desember 1990 sebesar USD 275,04 juta
PT Sempati Air menerima Rp 13 miliar, pada 23 September 1989 hingga 17 November 1998
PT Kiani Lestari menerima Rp 150 miliar pada 13 November 1995
PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep dan Hutan Tanaman Industri menerima Rp 12 miliar pada Desember 1982 hingga Mei 1993
Kelompok Usaha Kosgoro menerima Rp 10 miliar pada 28 Desember 1993. (Detik.com)
0 Comments