IST |
Terasa indah sekali melihat foto-foto yang merekam aktivitas Presiden
Joko Widodo yang, dengan bersahaja, bercengkrama bersama beberapa warga
Suku Anak Dalam. Begitulah adanya, Pak Jokowi pada Jumat 30 Oktober
2015 lalu menorehkan rekor sebagai Presiden Republik Indonesia yang
pertama kali mengunjungi langsung warga SAD di tempat tinggalnya di
pedalaman Jambi, tepatnya wilayah Air Hitam Kabupaten Surolangun. Bahkan
untuk tujuan itu, ia harus menaiki helikopter Super Puma dilanjut
perjalanan darat dengan mobil Landcruiser.
Inilah
alasan yang memadai untuk menaruh hormat pada sosok Jokowi. Sejak awal
karir politiknya, kepribadiannya nyaris tak berubah kecuali berkembang.
Darinya kita bisa menatap sikap sahaja yang alami, berbeda dengan gaya mainstream
elit-elit politik lainnya yang penuh kesan rekayasa dan dramatikal.
Caranya yang lebih suka melakukan kerja lapangan untuk menatap realitas
sedekat mungkin memang patut diapresiasi, sebab kita semua juga percaya
itu salah satu trik jitu untuk memahami kenyataan.
Namun,
bukan berarti Jokowi telah sukses menjelma pemimpin yang tanpa cacat
dan bercela. Toh dalam satu tahun memimpin, muncul banyak kebijakan yang
bukan hanya tidak populis dan disenangi rakyat, melainkan tidak
dikehendaki dan malah memberatkan kehidupan rakyatnya. Fakta ini
semestinya menyadarkan kita semua, betapa menjadi pribadi yang baik saja
tidaklah cukup untuk mewujudkan kepemimpinan ideal bagi bangsa
Indonesia yang sebesar ini.
Orang – Orang Kalah
Kembali
ke pokok, informasi yang disiarkan oleh media massa menyebut bahasan
utama dalam pertemuan singkat presiden dengan warga SAD, ialah tawaran
rumah gratis dari negara agar mereka bisa hidup menetap. Ini memang
bukan ide baru, sejak pemerintahan sebelumnya program pembangunan rumah
tinggal bagi komunitas adat terpencil sudah bergulir. Tetapi justru di
sinilah letak persoalannya, sepertinya dibutuhkan sebuah upaya
peninjauan kembali yang lebih reflektif atas kebijakan ini.
Mirisnya,
kedatangan Presiden kemarin ternyata bukan di pedalaman hutan alami,
melainkan lahan perkebunan sawit milik korporasi. Diketahui bahwa
sebelumnya Jokowi mendengar selentingan kabar adanya beberapa kelompok
SAD yang melakukan tradisi Melangun, berpindah dalam waktu lama,
namun karena areanya sudah berubah homogen, mereka menghadapi kesulitan
bahan pangan dan air bersih hingga berakibat 11 orang diantaranya tewas.
Sebab itulah negara menunjukkan itikadnya untuk hadir dan menjawab
serta menuntaskan persoalan.
Tapi
dalam perspektif James C. Scott (1985), apa yang sebenarnya dilakukan
oleh warga SAD bukanlah sekedar berangkat dari naluri kehidupan
nomadennya. Lebih dari itu harus dipahami sebagai bentuk perlawanan
teramat nyata, yang disebut sebagai senjatanya orang-orang kalah. Cukup
eksplisit rasanya bahwa memilih tinggal menetap di areal perkebunan
sawit adalah ekspresi protes yang paling mungkin dilakukan, sekalipun
bertanggung resiko kematian.
Harus
disadari, sesungguhnya warga SAD adalah orang-orang yang telah
dikalahkan. Kalah bukan hanya karena budayanya dikategorikan primitif
yang penuh konotasi keterbelakangan bagi zaman modern yang berprinsip
serba percepatan ini. Mereka kalah karena dipandang sebagai “the other”
yang secara sengaja telah diabaikan eksistensi dan hak hidupnya. Sejak
ratusan tahun lalu, ruang hidup sejatinya adalah belantara hutan rimba,
yang kekayaan hayatinya selalu memadai kebutuhan berburu dan meramu.
Sedangkan
saat ini, ruang hidup itu sudah nyaris habis dikoyak oleh beringasnya
ekspansi korporasi perkebunan. Bahkan jika masih ada yang sudi
mengingat, dalam beberapa tahun belakangan tercatat sudah dua kali
perwakilan dari beberapa kelompok SAD nekat melakukan aksi jalan kaki
sampai Ibukota Negara, hanya untuk menuntut keadilan atas hak atas tanah
ulayat mereka yang dikuasai oleh PT. Asiatic Persada. Seorang warganya
yang bernama Puji bahkan harus tewas dalam keadaan terborgol sesaat
setelah “diculik” pamswakarsa perusahaan yang dibekingi aparat (Tempo.co 6/5/2014).
Apakah
semua perjuangan itu berhasil? Sayangnya tidak, dengan pergantian
kepemimpinan nasional dan tumpang tindihnya koordinasi pemerintah di
daerah, yang terang benderang hanyalah fakta ironis sebagaimana
terungkap dalam laporan Mongabay-Indonesia tahun lalu. Bahwa dari
kisaran luas perkebunan kelapa sawit di Jambi yang mencapai 574.514
hektare, 40% nya adalah area jelajah ulayat warga SAD yang telah
dialihkan secara legal meski hanya sepihak.
Pembangunan Emansipatoris
Sudah
jadi rahasia umum bahwa kelapa sawit adalah jenis tanaman perkebunan
yang layak disebut sebagai “predator air” dan tentu saja jika proses
peralihan hutan alami menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) semakin
homogen pada komoditas ini, hanya akan berujung pada kerusakan parah
ekosistem. Sayangnya pemerintah kita, baik di pusat, daerah, kementerian
dan departemen, legislatif, bahkan yudikatif pun terlampau mudah khilaf
dan hanyut dalam logika investasi tanpa mempertimbangkan konsekuensi
terburuknya.
Inilah
potret buram yang sialnya pun hanya secuil dari kenyataan kelu, bahwa
situasi tak jauh berbeda dialami juga oleh ratusan komunitas adat
terpencil di belahan lain bumi Nusantara. Seolah merekalah yang bersalah
karena tak mau tunduk pada hukum besi modernitas yang menyilaukan. Jika
memang sense of humanity yang dimiliki rezim hari ini tak seilusif sebelumnya, ia harus berani merubah paradigma dalam membangun bangsa ini.
Semangat
pembangunan semestinya berwatak emansipatoris alias memerdekakan,
dengan begitu ia selalu bervisi pembebasan dari segala belenggu
penindasan agar dapat menggapai kebahagiaan material dan spiritual.
Dalam konteks inilah, Negara kembali mendapatkan momentum ujian dari
rakyat, bisakah ia berpikir dan bertindak adil dengan pendekatan
kebudayaan yang tepat, atau malah bersikukuh memakai logika korporasi
yang hanya menginginkan solusi instant mengusir hama penghambat
akumulasi profit?
Penulis Penulis: M. Saddam SSD Cahyo adalah alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung, atif di Liga Mahasiswa National untuk Demokrasi (LMND). Editor : Trisno S Sutanto. (Sumber: SATUHARAPAN.COM)
0 Comments