Max Bevilacqua berfoto bersama dengan siswi-siswi pesantren tempat dia mengajar di Indonesia (Foto: boston.forward.com) |
BERITASIMALUNGUN.COM, Jakarta-Ketika Marblehead Max Bevilacqua kuliah
di Wesleyan University, AS, ia melamar untuk mendapatkan beasiswa
Fulbright. Ia tahu persis apa yang dia inginkan: kesempatan untuk
terlibat secara mendalam dan mengamati kehidupan kaum Muslim.
"Saya ingin eksposur," jelas Bevilacqua, yang adalah orang Yahudi,
dan mengambil studi utama Agama Kristen dalam studi Keagamaan di
Wesleyan.
Komite Fulbright mengabulkan permintaannya. Mereka mengirimkan dia
untuk tinggal di Indonesia. Pekerjaannya? Mengajar Bahasa Inggris di
sebuah pesantren. Sayang, Jewish Journal yang menurunkan laporan kisah ini, tidak menyebut di pesantren mana dia mengajar.
Komite Fulbright Indonesia menasihatkan kepada Bevilacqua agar tidak
memberitahu siapa pun bahwa dia orang Yahudi. Yudaisme bukanlah agama
yang diakui secara resmi di Indonesia, dan diperkirakan hanya kurang
dari 50 orang Yahudi di seluruh negeri.
Bevilacqua sempat bergumul dengan pembatasan itu, sebelum memutuskan
untuk mematuhi rekomendasi komite. "Saya merasa terutama sebagai seorang
duta untuk Amerika Serikat," jelas dia. "Saya tidak ingin memulainya
sebagai 'anak Yahudi'. Saya ingin memulainya dengan mengembangkan
hubungan dengan masyarakat."
Pesantren tempat dia ditugaskan itu terletak di daerah pedesaan di
pulau Jawa. Pesantren itu menampung anak-anak kelas tiga hingga kelas
12, termasuk pria dan perempuan.
Agar dia dapat berkomunikasi dengan siswa-siswi dan juga guru-guru lainnya, ia pun belajar Bahasa Indonesia. Saat ia menenggelamkan diri di pesantren itu dan di dalam kehidupan
pedesaan, keputusan untuk menyembunyikan identitasnya tersebut jadi
bahan pikiran yang mengganggu baginya.
Ia mendapati pandangan penduduk
desa yang bersama dengannya, di luar yang dia perkirakan. Mereka pada
kenyataannya adalah orang-orang yang berpikiran terbuka, ramah dan siap
menerima perbedaan, terbuka untuk siap belajar tentang agama lain,
termasuk mendiskusikan agama Kristen dan peradaban Barat.
Muslim Indonesia bukan Arab
Menurut Bevilacqua, Muslim Indonesia bukan Arab. Beberapa orang
Indonesia bahkan memiliki hubungan yang rumit dengan Timur Tengah, dan
menyuarakan pendapat bahwa beberapa orang Arab memandang rendah mereka
karena mereka jauh dari Mekkah, dan tempat-tempat suci lainnya.
Yang lain mengatakan bahwa banyak orang Indonesia yang bekerja untuk
Arab Saudi dianiaya oleh mereka. Baru-baru ini, pemerintah Indonesia
telah melarang perempuan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab
Saudi.
Di sisi lain, Bevilacqua juga melihat adanya jejak anti-Semitisme di
Indonesia. Israel sebagai setan adalah bagian dari grafiti di berbagai
media. Namun, dalam hemat dia, kebencian terhadap orang-orang Yahudi
bersumber dari ketidaktahuan, ketimbang karena budaya anti-Semitisme.
"Israel dan Yahudi digunakan sebagai istilah untuk semua penyalahgunaan
kekuasaan, dan untuk penindasan. Sangat kurang penjelasan tentang apa
itu Yudaisme, "kata Bevilacqua.
Buka Rahasia
Setelah mendekati masa akhir dari delapan bulan tugasnya, ketika
kira-kira tinggal 10 hari yang tersisa, Bevilacqua memutuskan untuk
menjelaskan secara terbuka identitas dirinya. Dia mengundang diadakannya
sebuah rapat kecil, dengan teman-teman terdekatnya, termasuk kepala
sekolah dan istrinya.
"Saya berbicara dalam bahasa Indonesia. Saya berkata, saya minta
maaf, ada sesuatu yang saya ingin memberitahu Anda. Saya dianjurkan
untuk menyembunyikan hal ini karena orang memiliki stereotip ini. Saya
tahu ini tidak terjadi di sini karena saya tahu Anda. Saya minta maaf
butuh waktu lama untuk sampai ke titik ini, tapi saya ingin Anda tahu
bahwa saya orang Yahudi, "kata dia kepada mereka pada pertemuan
tersebut.
Meskipun istri kepala sekolah merasa kecewa karena dirinya tak
menceritakan itu sejak awal, dan mitranya sesama guru tidak mau
berbicara dengannya selama beberapa hari karena itu, kebanyakan reaksi
atas pengakuannya itu justru adalah rasa ingin tahu.
Menurut dia, mereka mengajukan banyak pertanyaan pada hari-hari
berikutnya, dan Bevilacqua mencoba menjawabnya. Dia bercerita dan
menggambarkan trauma-perasaan Yahudi, penganiayaan terhadap Yahudi. Dia
juga menyesal karena selama ini telah menghilangkan kesempatan untuk
memberi penjelasan, dengan asumsi yang salah, bahwa umat Islam tidak
akan menerima dia.
Lalu ia juga memberi mereka sebuah buku karya Elie Wiesel yang berjudul "Night." Pengalamannya selama berada di Indonesia memberi Bevilacqua kesan
positif tentang kemungkinan memperluas pemahaman Yudaisme di Indonesia.
Bekerja dengan seorang temannya yang Yahudi Indonesia, Petrus Lakonawa,
yang merupakan penggiat advokasi terhadap kebebasan beragama di
Indonesia, bersama dengan seorang rekan lainnya, Mansoor Amin, ia
mendapat hak dari penerbit "Night" untuk menerjemahkannya ke
dalam Bahasa Indonesia. Ia pun mengumpulkan sejumlah penulis dan
cendekiawan Indonesia untuk mengerjakannya.
Bevilacqua mengharapkan publikasi terjemahan itu dapat dilakukan pada
bulan Januari, bertepatan dengan peringatan Holocaust, dan telah
menyelenggarakan delapan peluncuran buku di Indonesia, sebagian besar di
universitas. Beberapa tokoh Muslim berpengaruh telah diundang dan telah
menyatakan minatnya. Tujuannya adalah untuk menjadikan buku tersebut
bagian dari pembelajaran di universitas di Indonesia.
Ketika
kembali ke AS sejak musim semi lalu dan sekarang belajar untuk program
pascasarjana di bidang resolusi konflik internasional, Bevilacqua, 26,
putra Judith Emanuel dan Jack Bevilacqua, mengaku telah belajar tentang
bagaimana sulitnya untuk melakukan langkah pertama. Kalau pun ada yang
disesalinya, adalah ia memberitahu identitas dirinya pada saat-saat
terakhir.
"Seandainya saya tahu reaksi mereka, saya akan melakukannya sedikit
lebih awal ... Saya justru bergulat dengan bias diri saya sendiri."(Penulis: Eben E. Siadari/SATUHARAPAN.COM)
0 Comments