Dari kiri: Peneliti Setara Institute, Halili Hasani, Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, Ketua Setara Institute, Hendardi, dan Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, hari Senin (18/1). (Foto: Martahan Lumban Gaol) |
BERITASIMALUNGUN.COM, Jakarta-SETARA Institute menilai tindakan intolerasi
terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan titik awal menuju
praktik tindakan teror. Para pelaku intoleran yang tidak puas, kemudian
memilih bergabung pada kelompok-kelompok radikal dan melakukan aksi
teror.
"Bom di Thamrin kemarin menunjukkan persoalan intoleransi dalam
kehidupan beragama adalah bibit terorisme. Itu tangga pertama, dari
intoleransi, lalu gerakan ekstrem, radikal, kemudian teroris," ujar
Direktur Eksekutif Setara Institute, Hendardi, dalam konferensi pers di
Cikini, Jakarta Pusat, hari Senin (18/1).
Menambahkan, Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani,
mengatakan para pelaku teror awalnya merupakan pelaku intoleran yang
tergabung dalam organisasi masyarakat yang membawa unsure keagamaan.
Kelompok tersebut biasanya dikenal sering mengintimidasi aliran
kepercayaan tertentu yang dianggap menyimpang.
Kemudian, dia melanjutkan, anggota kelompok yang tidak puas hanya
dengan melakukan sikap intoleransi kemudian memilih bergabung dengan
kelompok-kelompok radikal, kelompok itu membenarkan dilakukannya aksi
teror dan kekerasan.
"Untuk jadi teroris tidak bisa seketika, ada tahapan dan proses.
Misalnya Muhammad Abduh di Cirebon, lalu Bahrun Naim, mereka sebelumnya
tergabung dalam ormas kelompok intoleran," kata Ismail.
Menurut Ismail, dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam melakukan
mitigasi terorisme. Salah satunya, menindak tegas sikap-sikap intoleran
yang dilakukan berbagai kelompok yang berlatar belakang agama. (SATUHARAPAN.COM)
0 Comments