![]()  | 
| Bernard Patralison Girsang dan Orangtua | 
BERITASIMALUNGUN.COM-Kelahiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga selalu membawa kenangan tersendiri. Setiap anak memiliki kesan unik.
 4 Pebruari 1991. Sore hari, istri saya yang sudah hamil lebih dari 9 
bulan, merasa perutnya mulas. Tentu ada tanda-tanda lainnya. Pertanda 
seorang ibu akan melahirkan seorang bayi, Saya, bersama putri 
saya tertua, seorang tantenya, membawanya ke rumah sakit Pirngadi Medan,
 yang jaraknya cukup lumayan dari rumah kami di pingiiran Selatan Kota 
Medan.
 Selama di perjalanan, dia merasakan sakit dan kadang 
harus mengerang menahan sakit. "Aduuuhhhhh.....!". Saya kadang bingun, 
tidak tau berbuat apa-apa. 
 Setiba di rumah sakit, setelah 
mendaftar kemudian seorang dokter kandungan menanganinya menjalani 
proses persalinan. Menurut dokter, proses persalinannya normal.   
 Sensasinya adalah saat menunggu kelahiran si anak. Karena kami bukan berbudaya USG yang bisa meramal jenis kelamin bayi 
yang masih dalam kandungan. Kami belum mengetahui jenis kelamin bayi, 
sebelum dia keluar dari kandungan!
 Saat itu, kami sudah memiliki dua putri. Bagi orang Batak, "maranak marboru" adalah sebuah impian, "Kalau sudah ada matahari, perlu ada bulan". Itulah kata halus nasehat 
orang tua kepada saya, bahwa saya harus memiliki anak laki-laki.
 Sebenarnya saya merasa tidak enak mendengar kata-kata seperti itu. 
Tapi, itulah orang tua. Sementara  pemerintah mengatakan dua anak cukup,
 laki-laki perempuan sama saja. Saya sepakat dengan itu!. Di sisi lain, 
saya harus mengamini permintaan orang tua. Akhirnya, harus melanggar 
aturan KB ketika itu. 
 Doaku, semoga yang lahir ini adalah anak laki-laki. 
 Hari sudah malam. Sekitar pukul 19.00 WIB, ketika istri saya masuk ke ruang bersalin. 
 Sesudah istri saya memasuki ruang persalinan, saya menunggu di satu 
ruangan,bersama keluarga adik istri saya yang juga seorang dokter, dan 
putri saya yang saat itu sudah berusia 5 tahun, sementara putri saya 
yang kedua ditinggal di rumah.  
 Waktu dua jam, terasa sangat 
lama. Sekali-sekali saya masuk ke ruang persalinan memberikan semangat 
untuk istri saya. Dia mengerang, menjerit menahan sakit. 
 Buka kartu saja!. Setiap peristiwa istri melahirkan, saya tidak bisa menghindarkan bayangan  buruk.  
 "Selamat nggak istri saya?. Kalau ada apa-apa, gimana? Kedua putri saya siapa yang mengurus?". 
 Saya tidak tau apakah setiap bapak-bapak seperti ini? 
 Dua jam terasa sangat lama. 
 Perasaaan was was muncul saat dokter keluar ruangan. persalinan. 
Terlihat wajahnya letih, namun begitu besemangat menghampiriku. 
 "Laki-laki Pak," katanya. 
 Wah, rasanya lega sekali mendapat anugerah seorang anak laki-laki. 
Orang tua saya tidak akan bicara lagi soal matahari dan bulan. 
 
Saya menyalamnya dengan erat, dan mengucapkan terima kasih. "Terima 
kasih dokter, terima kasih dokter...." beberapa kali kata itu keluar 
dari mulutku. 
 Saya langsung menemui istri saya yang sedang letih
 karena baru melahirkan, menjalani proses pekerjaan yang paling "sulit" 
bagi seorang ibu. Bertarung antara hidup dan mati.
 "Laki-laki katanya Pak,", katanya tersenyum, setelah lega melewati perjuangan "hidup mati". 
 Saya mengecup kening, pipi dan memeluk istri saya. "Terima kasih mama, 
kita punya bayi laki-laki,". Dia hanya tersenyum, puas tampaknya. 
 "Kita sudah punya anak laki-laki Pak," katanya sambil menitikkan air 
mata. Saya paham, karena tiga bersaudara istri saya adalah perempuan. 
Mereka merindukan anak laki-laki.  
 Begitu besar pengorbanan 
seorang ibu melahirkan anak. mengandung sembilan bulan dengan segala 
penderitaaannya, dan menahan rasa sakit yang luar biasa saat melahirkan!
 
 Sensasi berikutnya adalah soal biaya perawatan!.Sangat-sangat murah!
 Hari kedua setelah bayi lahir, istri saya dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. 
 Saya menemui kasir RS Pirngadi dan menanyakan biaya kelahiran anak saya. 
 "Dua puluh delapan, Pak," katanya. 
 Saya pikir karena ditangani dokter, pastilah biayanya sekitar Rp 280 ribu. Saya pergi ke bank mengambil uang Rp 300 ribu.
 Alangkah kagetnya saya, ketika kasir itu memberitahu bahwa biaya 
persalinan anak saya adalah Rp 28 ribu. Hanya tiga lembar harga Rp 10 
ribu. 
 Sebagai perbandingan, putri kedua saya yang lahir di 
Pematangsiantar dua tahun sebelumnya, saya membayar bidan sekitar Rp 150
 ribu. 
 Bayi itu, Bernard Patralison Girsang,
 hari ini (Kamis 4 Februari 2016) sudah berusia 25 tahun. Tadi malam pukul 00.00, kami 
merayakannya dengan berdoa bersama bertiga di rumah. Kami berfoto 
bersama. Begitu sederhana. 
 Tadi pagi saya mengantarkannya ke stasion bus, karena dia hari ini bertugas ke luar kota selama beberapa hari ke depan.  
 Selamat Ulang Tahun Bernard. Setelah kelahiranmu, ompung tidak pernah bertanya lagi tentang Matahari dan Bulan! .Bapak Plong!
 "Di wajahmu kulihat kesejukan, harapan. Tetaplah berdoa dan bekerja 
dengan tekun. Sayangi mama yang telah berjuang antara hidup dan mati 
melahirkanmu". (St Jannerson Girsang)



0 Komentar