BERITASIMALUNGUN.COM-Saat tepat untuk juara. Itulah tajuk yang mengiringi persiapan tim nasional Prancis menuju perhelatan putaran final Piala Eropa 2016.
Meski masih terkendala performa, kalangan media lokal, masyarakat dan
pengamat memprediksi, Les Bleus bakal berjaya di negeri sendiri.
Beberapa faktor mendukung Prancis untuk mengangkat trofi juara.
Status tuan rumah menjadi modal utama. Dukungan fans memberi banyak
energi bagi Paul Pogba dkk untuk bermain sempurna di setiap partai.
Modal berikutnya adalah komposisi pemain yang seperti biasa, memiliki
kualitas di atas rata-rata. Meski masih terkendala dengan masa
persiapan yang dianggap kurang ideal, karena tak mengikuti fase
kualifikasi, Prancis mempunyai kombinasi menawan antara pemain lawan dan
penggawa muda yang sedang bersinar di level klub.
Itulah yang membuat Pelatih Prancis, Didier Deschamps merasa
optimistis anak asuhnya akan menjadi yang terbaik pada akhir turnamen.
Satu lagi yang memberi tambahan energi adalah rotasi Prancis untuk
menjadi yang terbaik di level Eropa.
Secara tradisi Prancis sukes menjadi yang terbaik di Benua Biru dalam
rentang setiap 16 tahun. Hal itu terbukti ketika mereka sukses menjadi
jawara pada Piala Eropa 1984, yang terulang di Piala Eropa 2000.
Artinya, dengan tambahan waktu 16 tahun, momen menjadi tuan rumah
bisa mengarahkan ke mereka untuk menjadi yang terbaik di negeri sendiri.
Publik Prancis semakin percaya diri, karena Pelatih Didier Deschamps
memiliki banyak variasi untuk ditampilkan lantaran banyak pemain
berkualitas.
Saat menjadi jawara pada 1984 dan 2000, Prancis dianggap memiliki
komposisi seimbang seperti yang dimiliki Deschamps saat ini. Sebut saja
kala menaklukkan Spanyol pada 27 Juni 1984 di Parc des Princes, Paris.
Dua gol kemenangan dilesakkan Michel Platini pada menit ke-57 dan
Bellone (90').
Pada turnamen tersebut, Prancis memiliki generasi yang disebut
sebagai satu di antara yang terbaik. Di sana ada gelandang Yvon Le Roux,
Luis Fernández, sang ikon sekaligus kapten tim Michel Platini, Alain
Giresse dan Jean Tigana. Di lini penggempur ada Bruno Bellone dan Bernar
Lacombe.
Pelatih Michel Hidalgo dianggap beruntung karena mendapatkan para
pemain yang tengah bersinar di klub masing-masing sepanjang musim
1983/1984. Hal itu terulang lagi 16 tahun kemudian, saat mereka berjaya
di arena Piala Eropa 2000.
Pada fase putaran final, kualitas mental pantang menyerah pasukan
Roger Lemerre menjadi kunci. Berstatus runner-up Grup D di bawah tuan
rumah Belanda, mereka sukses merangsek ke partai final.
Pada laga puncak di Rotterdam (2/7/2000), spirit untuk menjadi yang
terbaik membuat mereka merengkuh trofi jawara. David Trezeguet menjadi
pahlawan setelah mencetak gol pada menit ke-103.
Sebelumnya, Sylvain Wiltord membuat pesta sang lawan, Italia, menjadi
tertahan usai menjebol jala Gli Azzurri pada tiga menit tambahan waktu
babak kedua. Sementara itu, Italia mencetak gol pembuka pada menit ke-55
melalui aksi Marco Delvecchio.
Generasi era Piala Eropa 2000 dianggap memiliki kesamaan dengan 1984.
Maklum, usai menjadi jawara Piala Dunia 1998, tak banyak perubahan. Di
sana ada kapten Didier Deschamps, duet bek tengah tangguh Marcel
Desailly dan Laurent Blanc, dua pengatur serangan brilian, Youri
Djoarkaeff dan Zinedine Zidane. Di area penggempur, nama Thierry Henry
dan Christophe Dugarry seolah menjadi garansi kesuksesan.
Selain itu, nama-nama lain juga sedang ganas di level klub, seperti
Lilian Thuram (Parma), David Trezeguet (AS Monaco), Bixente Lizarazu
(Bayern Munchen), Robert Pirès (Marseille) sampai striker Nicolas Anelka
(Real Madrid).
Kini berbekal perombakan signifikan, pelatih Didier Deschamps
memiliki kecenderungan meniru apa yang sudah dilakukan pendahulunya,
yakni kombinasi. Hal itu belajar dari apa yang mereka alami pada dua
turnamen akbar terakhir, yakni Piala Eropa 2012 dan Piala Dunia 2014 di
Brasil.
Pada dua ajang bergengsi tersebut, Prancis tersingkir pada babak
perempat final. Di Polandia-Ukraina, tim berjuluk Ayam Jantan ini takluk
di tangan Spanyol 0-2. Dua gol Xabi Alonso pada menit ke-19 dan 91',
mengubur impian untuk bangkit setelah terpuruk di ajang Piala Dunia
2010.
Sementara itu, di Piala Dunia 2014, Jerman menjadi tim yang membuat
Prancis pulang kampung. Der Panzer, yang kemudian menjadi juara dunia,
menekuk pasukan Didier Deschamps, 1-0. Gol tunggal dilesakkan bek
tengah, Mats Hummels pada menit ke-13.
Alhasil, status tuan rumah pada perhelatan Piala Eropa 2016,
kini akan membuka kans besar bagi Prancis untuk mendapatkan status tim
terbaik di Benua Eropa. Kesempatan tersebut sejalan dengan asa fans
mereka.
Apalagi sebagian besar dari mereka percaya, siklus setiap 16 tahun
bakal memberi suasana pesta di pengujung pelaksanaan Piala Eropa 2016,
yakni juara! Selain modal status tuan rumah, Layak ditunggu apakah
tradisi perputaran 16 tahun-an tersebut bakal berjalan mulus dan membawa
Prancis menjadi yang terbaik di negeri sendiri.
Bintang:
Paul Pogba
Musim 2015-2016, pemain berusia 22 tahun ini mendapat penghormatan
dari Juventus untuk mengenakan nomor keramat, 10. Hal itu membuat status
Pogba naik drastis, karena tak sembarang pemain mendapat kepercayaan
untuk menggunakan nomor yang sudah dipakai beberapa nama besar, antara
lain Michel Platini, Roberto Baggio sampai Alessandro Del Piero.
Pada sisi lain, Pogba merepresentasikan sosok pemain yang menjadi
kunci permainan bagi Juventus. Hebatnya, pemain berpostur 191 cm ini
mampu menjawab tantangan dari manajemen dan pelatih Massimiliano
Allegri.
Pogba selalu menjadi bagian penting dari setiap pertandingan Juventus
sepanjang musim ini. Tak hanya gol spektakuler, dia juga pandai
membantu pertahanan dan beberapa kali berstatus pengatur aliran bola
dari lini belakang ke barisan penggempur.
Kemampuan itu pula yang membuatnya menjadi tulang punggung timnas
Prancis. Pada beberapa laga uji coba internasional, peran Pogba sangat
penting bagi pelatih Didier Deschamps. Bedanya, pemain kelahiran 15
Maret ini tak sendirian, karena di tim Les Bleus, ia memiliki beberapa
kompatriot sejenis, seperti Blaise Matuidi, Moussa Sissoko dan Morgan
Schneiderlin.
Kemampuan individu dan daya imajinasi Pogba membuat Deschamps selalu
memberi prioritas pada pemain berkulit hitam tersebut. Sang pemain
memiliki skill komplet sebagai gelandang, seperti daya jelajah tinggi,
visi yang bagus, pandai mengatur ritme permainan, ditambah keahliannya
dalam melakukan sepakan jarak jauh.
Pada sisi lain, Pogba juga memiliki sisi negatif yang kerap kali
masih keluar tanpa kendali, terutama dari sisi emosi. Selain itu,
pesepak bola kelahiran kota Lagny-sur-Marne ini punya tabiat tak
konsisten, terutama jika mendapat tekanan.
Nama Paul Pogba menjadi perhatian dunia setelah tampil menawan pada
gelaran Piala Dunia U-20 di Turki (2013). Ia menjadi bagian penting saat
membawa Prancis U-20 menjadi juara turnamen.
Pada babak final (13/7/2013), Prancis menaklukkan Uruguay melalui adu
penalti dengan skor 4-1, setelah kedua tim bermain imbang tanpa gol
pada waktu normal. Pogba juga mendapat penghargaan sebagai pemain
terbaik, mengalahkan Nicolás López (Uruguay) dan Clifford Aboagye
(Ghana).
Saat itu Pogba menjadi bagian dari tim yang beberapa individunya
berhasil mencuat sekarang, seperti bek Kurt Zouma, Thibaut Vion,
Geoffrey Kondogbia, Yaya Sanogo, Lucas Digne dan Florian Thauvin.
Setelah itu, kemampuan Pogba semakin berkembang saat 'terbuang' ke
Juventus. Ia memang tak dipakai Manchester United, yang kemudian
mengirim sang pemain ke Turin. Di tangan Antonio Conte, Pogba tampil
konsisten, mendapat menit bermain yang stabil, mendapat tempat starter,
ditambah level produktivitas yang terus meningkat.
Tantangan terberat bagi Pogba tak lain rasa puas diri yang kadang
menyelimuti dirinya. Tak hanya itu, level konsistensi juga menjadi
pekerjaan rumah yang tak mudah baginya. Maklum, menjalani turnamen
dengan jeda waktu istirahat yang minim, memberi ujian tersendiri di sisi
fisik dan mental. Jika Pogba lolos dari ujian tersebut, bisa dipastikan
Prancis akan mendapat benefit yang luar biasa.
Pelatih:
Didier Deschamps
Sosoknya terkenal sebagai individu yang kenyang pengalaman dengan ragam
atribut trofi juara semasa aktif sebagai pemain. Ia pernah menjadi
jawara Liga Champions bersama Marseille (1992-1993), dan Juventus
(1995-1996), serta trofi juara liga domestik bersama dua klub tersebut.
Puncaknya, Deschamps menjadi bagian utama dari keberhasilan timnas
Prancis mengangkat trofi juara Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.
Dua kesuksesan beruntun tersebut membuat nama Deschamps selalu dikenang.
Di level kepelatihan, ia juga mendapat trofi juara bersama AS Monaco
dan Marseille. Deschamps melengkapi prestasi dirinya dengan koleksi
beragam penghargaan individu. Meski sukses di level klub, ternyata bukan
jaminan mendapat hal yang sama kala menangani timnas Prancis.
Buktinya, pada dua perhelatan bergengsi, Euro 2012 dan Piala Dunia
2014, ia dianggap gagal total. Hal itu terjadi setelah armadanya
tersingkir di perempat final, baik di Polandia-Ukraina maupun Brasil.
Ketika itu, banyak pihak menganggap Deschamps belum layak untuk
menangani sebuah timnas. Kalangan media dan pengamat membeberkan
kebiasaan yang dianggap buruk dari pelatih bernama tengah Claude ini,
yakni bongkar pasang pemain.
Hal itu juga terjadi pada persiapan jelang putaran final Euro 2016.
Berstatus tuan rumah bukan berarti bisa melenggang nyaman. Justru karena
tak mengikuti fase kualifikasi, membuat sisi kompetitif Prancis
dianggap kurang bagus.
Kondisi seperti itu pula yang menjadi perhatian utama Deschamps, yang
harus bekerja keras untuk memilih pemain, plus menentukan format baku
permainan anak asuhnya. Bukan perkara mudah, karena pelatih berusia 47
tahun ini harus berhadapan dengan sederet pemain berkualitas tinggi,
yang juga mendapatkan jatah bermain reguler di klub.
Contoh nyata ada di lini tengah. Pada saat Paul Pogba, Blaise Matuidi
dan Antoine Griezmann sedang bersinar, beberapa nama juga tengah bagus.
Di antara yang bisa membuat pusing Deschamps, antara lain Mathieu
Valbuena, Geoffrey Kondogbia, Dimitri Payet, Maxime Gonalons dan Josuha
Guilavogui.
Namun dalam beberapa kesempatan, Deschamps menganggap 'kekayaan'
pemain yang dimilikinya akan memberi variasi permainan yang tak mudah
ditebak lawan. Situasi itu pula yang membawa Deschamps mampu menjuara
Ligue 1 ketika menangani Marseille (2009-2010).
Deschamps berstatus pelatih timnas Prancis pada 8 Juli 2012. Ia
menggantikan Laurent BLanc, yang mengundurkan diri usai gagal di ajang
Piala Eropa 2012. Tugas sang pelatih anyar tergolong berat, yakni lolos
ke putaran final Piala Dunia 2014.
Setelah sempat terseok-seok pada awal fase grup, Prancis berhasil
lolos ke Brasil setelah menyingkirkan Ukraina melalui babak play-off.
Deschamps mendapat tawaran perpanjangan kontrak pada 20 November 2013,
yang membuatnya bertahan sampai Piala Eropa 2016.
Kini publik berharap Deschamps bisa menularkan energi positif melalui
pengalamannya, agar membawa Prancis berpesta di rumah sendiri. Bukan
tantangan ringan, karena di fase grup, Si Biru kedatangan tamu tim
kejutan Albania, Swiss dan si kuda hitam, Rumania.
Legenda
Zinedine Zidane
Sederet prestasi bersama timnas Prancis membuat sosok Zinedine Zidane
layak mendapatkan status sebagai legenda. Namanya mencuat saat Zizou
membawa Bordeaux mampu berbicara di Ligue 1 dan kancah Eropa.
Kariernya semakin menanjak saat bergabung dengan Juventus pada musim
panas 1996. Ia pun tak pernah lepas berkostum timnas Prancis. Hasilnya,
Zidane menjadi pahlawan bagi Les Bleus di partai final Piala Dunia 1998.
Dua gol ke gawang Brasil, membuat Prancis merengkuh gelar bergengsi
tersebut.
Dua tahun berselang, pria kelahiran Marseille ini membawa negaranya berjaya di Piala Eropa 2000.
Pada perhelatan di Belanda-Belgia tersebut, Zidane menjadi inspirator
armada Roger Lemerre untuk mengangkat trofi juara, sekaligus koleksi
kedua bagi mereka setelah 1984.
Pada level individu, ragam gelar berhasil diraih. Beberapa
penghargaan bergengsi antara lain Pemain Asing Terbaik Serie A (1997,
2001), Pemain Terbaik ke-3 Dunia (1997, 2002), Pemain Terbaik Prancis
(1998, 2002), Ballond d'Or (1998), Pemain Terbaik Serie A (2001), Pemain
Asing Terbaik La Liga (2002), Pemain Terbaik Piala Dunia 2006 dan
runner-up Pemain Terbaik Dunia 2006.
Sumber: Bola.com
0 Comments