Panorama Danau Toba di Haranggaol, Simalungun, Minggu 26 Juni 2016. Foto Asenk Lee Saragih |
Menyongsong pelaksanaan Badan Otonomi Parawisata Kawasan Danau Toba
Oleh Ronsen LM Pasaribu.*
BeritaSimalungun.com-1. Sektor Agraria dan Pertanahan.
Landasan hukum Agraria adalah Undang-Undang Pokok Agraria atau UU No. 5 Tahun 1960 merupakan landasan peraturan perundang-undangan terkait agraria atau pertanahan. Sumber Falsafah atau yang menjadi jiwa dari pembuatan UUPA adalah UUD 1945, khususnya pasal 33 UUD 45. Maksud dari pasal 33 UU 45 yaitu memberi sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat diartikan sebagai semangat luhur dalam pemanfaatan bumi dan kandungan di dalamnya yang diartikan sebagai tanah.
Hubungan UUPA dengan UUD 45, menurut Harsono, 1981, sebagai berikut :
- Pasal 33 ayat 3 UUD 45 merupakan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materil) dalam pembinaan hukum agraria nasional;
- Bahwa pengaturan Keagrariaan/Pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengalaman Pancasila dan UUD 1945.;
-UUPA harus meletakkan dasar-dasar bagi Hukum Agraria Nasional yang akan membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi Bangsa dan Negara.
Adapun Nilai-nilai dasar hukum Agraria Nasional yang terdapat didalam UUPA, berupa Hak Menguasai Negara (pasal 1 ayat 1 dan 2); Pengakuan Hak Ulayat (Pasal 2 ayat 1 dan 2) dan fungsi Sosial (pasal 6). Kemudian, hak menguasai Negara dimaksudkan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh negara untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan menatur hubungan-hubungan hukum antar orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pengaturan Hukum Agraria dan Pertanahan di Kawasan Danau Toba
Relevansi dari landasah Hukum Agraria diatas, sebagai acuan hukum didalam mengatur penataan pertanahan, di wilayah Kawasan Danau Toba. Adapun acuan terhadap landasan hukum dan nilai-nilai dasar hukum agraria nasional terkait dengan hal-hal sebagai berikut :
1). Hak Atas Tanah. Diakuinya hak atas tanah bagi masyarakat baik Hak Individual, Hak instansi Pemerintah dan Hak Masyarakat adat atau hak komunal. Hak Milik atas tanah merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial. WNI, Badan Huum yang ditetapkan oleh pemerintah (badan sosial keagamaan, sosial dan lainnya).
Hak komunal, disamakan dengan Hak Milik apabila ada beberapa orang bersepakat untuk memiliki tanah secara bersama-sama, baik sebagai ikatan kekeluargaan maupun kesepakatan keperdataan. Tanah Milik Adat yang bercirikan kepemilikan bersama tak dibagi, menjadi karakteristik status tanah di daerah Tapanuli, termasuk di sekitar Danau Toba.
Hak Pengelolaan, merupakan aturan pemanfaatan dan penggunaan tanah yang diberikan sebagian kewenangan oleh Negara kepada badan hukum untuk melakukan pengelolaan tanah berupa merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pemanfaatan dan penggunaan tanah baik oleh diri sendiri atau menyerahkan bagian-bagiannya kepada pihak ketiga untuk diguna usahakan. Penggunaannya sesuai dengan misi yang diemban oleh pemegang Hak Pengelolaan.
2). Pendayagunaan tanah milik masyarakat lokal dan kehadiran Investor.
Konsepsi kehadiran investor dalam membangun bangunan, objek wisata, perkebunan/pertanian atau lainnya akan diatur sedemikian rupa agar pemilik tanah tidak melakukan pelepasan hak atas tanahnya manakala akan digunakan untuk investor.
Sesuai ketentuan, kepada Investor dapat diberikan Hak Guna Bangunan, diatas Hak Milik untuk tahun yang disepakati, paling lambat 20 Tahun dan dapat diperpanjang. Dasar hukumnya adalah perikatan perjanjian antara masyarakat dengan investor. Keuntungan yang diperoleh adalah tetap eksisnya hukum adat yang mengatur tentang pertanahan di wilayah Tapanuli, yang sejatinya menurut hukum adat tidak boleh melakukan jual beli tanah harta tetap.
Jadi, kebijakan ini menguatkan hukum adat atau kearifan lokal setempat. Sekaligus, dapat dipastikan akan menjamin tingkat kemandirian dan kesejahtraan yang diperoleh melalui pembagian hasil (sharing profit) atau masyarakat dapat juga sebagai bagian dari tenaga kerja di bidang industri parawisata atau perhotelan yang baru.
3) Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing.
Pengaturan Hak Atas Tanah bagi orang asing ini dipandang urgen akibat adanya globalisasi yang telah mengubah berbagai aspek kehidupan (Politik, ekonomi, sosial, budaya termasuk Hukum) masyarakat dunia. Hal ini ditandai dengan terbukanya investasi asing masuk dalam sebuah negara, termasuk Indonesia.
Sisi lain berdampak negatif terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah Warga Negara Indonesia. Untuk itu, regulasi sudah mengatur tentang Larangan Pengasingan Tanah dan Kepemilikan Tanah Hak Milik oleh Orang Asing.
Relevansi pengaturan Hak atas Tanah bagi orang asing ini pada Kawasan Danau Toba, menyesuaikan dengan regulasi yang sedang ada dan diberlakukan di Indonesia dimana Orang Asing hanya diperbolehkan memiliki HAK PAKAI, dengan ketentuan tersediri bahsa Oang asing itu memang memiliki izin bertempat tinggal di Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Rencana Tata Ruang Wilayah yang produktif dan berkelanjutan mendukung Pengendalian Alih Fungsi Lahan.
Salah satu tujuan perencanaan ruang suatu wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah yang produktif dan berkelanjutan. Produktif dimaksudkan sebagai proses produksi dan distribusi yang berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahtraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing.
Sementara berkelanjutan dimaksudkan sebagai kondisi kualitas lingkungan fisik yang dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Makna produktif dan berkelanjutan lebih menitik beratkan pada kegiatan ekonomi dan dukungan sumber daya alam terhadap kegiatan ekonomi tersebut.
Perlu disampaikan juga, bahwa lahan pertanian yang memang tataruangnya untuk pertanian perlu dipertahankan, dengan kriteria sebagai berikut :
a. Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian;
b. Ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi
c. Mendukung ketahanan pangan nasional
d. Dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.
Aplikasi dalam kawasan Danau Toba ini, tentu bersentuhan dengan lahan pertanian sebagaimana nantinya diatur dalam RTRW. Untuk itulah diatur bagaimana pengendalian lahan pertaian yang sesuai kriteria diatas untuk tidak dirubah kearah penggunaan non pertanian. Sebaiknya jika dilapangan ada kekurangan lahan untuk bangunan misalnya, strateginya adalah bangunan menjulang keatas (bertingkat) atau Vertikal, baik pemukiman maupun untuk perhotelan dengan segala fasilitasnya.
Perpres Nomor 49 Tahun 2016
Perpres ini bentuk Political Will dari Kabinet Presiden Jokowi-Jusuf Kalla, sebagai wujud negara memimpin penggunaan tanah di Indonesia, dalam rangka optimalisasi pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis parawisata nasional yang diharapkan terkoordinasi, sistematis, terarah dan terpadu.
Cakupan Kawasan Pariwisata Danau Toba selain wilayah yang sudah ditetapkan sepanjang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan sekitarnya, dimana titik ordinat dan koordinat telah diundangkan dalam Peraturan Presiden nomor 81 Tahun 2014.
Selain daripada itu, ada penambahan kawasan yang baru, dengan deliniasi tertera dalam lampiran Perpres nomor 49 Tahun 2016, pasal 2 ayat 2 disebutkan “termasuk kawasan seluas paling sedikit 500 (lima ratus) hektar, yang akan diberikan Hak Pengelolaannya kepada Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba.BOPKPDT (singkatan resmi). Perihal luas ini dapat saja berubah, dengan ketentuan ditetapkan Presiden berdasarkan pengajuan Dewan Pengarah.
Seputar Hak Pengelolaan.
Pengertian Hak Pengelolaan sebagai hak gempilan dari Hak Menguasai Negara, yang diturunkan kepada Pemerintahan Swatantra atau lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan. Incasu, HPL akan diberikan kepada BOPHDT dalam pengertian diberikan kewenangan kepadanya untuk membuat rencana penggunaan, mengatur, mengelola, menyerahkan bagian-bagiannya kepada pihak ketiga, sesuai dengan tujuan dibentuk BOPHDT.
Rencana penggunaan tanah akan tamppak dalam Gambar Rencana penggunaan tanah, yang terdiri dari : Lahan untuk digunakan sendiri, lahan untuk digunakan Fasilitas Umum, termasuk Kolam-kolam penetralan air dan kavling untuk pihak ketiga. Kapling untuk pihak ketiga, didasarkan pada surat perjanjian para pihak dengan menetapkan retribusi yang harus dibayar oleh pihak ketiga setiap tahun dan kepada pihak ketiga diberikan Hak Guna Bangunan selama 20 Tahun, dan dapat diperpanjang lagi.
Besarnya retribusi, tidak boleh sewenang-wenang pemegang HPL, harus dalam besaran kewajaran dan disepakati kedua belah pihak, sebab harus dihindari praktek monopoli seperti hak mutlak pada jaman penjajahan. Kemudian, HGB atas nama pihak ketiga ini dapat dijaminkan denan Hak Tanggungan, dapat dialihkan, dapat juga disita sesuai ketentuan yang berlaku. Segala peralihan dan Hak Tanggungan, terlebih dahulu seijin pemegang HPL.
Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah diatas HPL, tentu masih ada sepanjang tidak dilimpahkan kepada pemegang HPL. Seperti kependudukan, Sengketa tanah, IMB, Sosial keagamaan, politik dan keuangan serta pemberian Hak Atas Tanah (sertipikat) dan lainnya tetap melekat pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai ketentuan dalam Hukum Positif. Oleh karena itu, tidak ada istilah Negara dalam Negara.
Yang ada hanyalah pemberian otonomi sebagian kewenangan kepada BOPKPDT. Disinilah arti penting dalam konsideran Perpres nomor 49 Tahun 2016 yaitu perlu dilakukan langkah-langkah yang terkoordinasi artinya tetap mengakui masih ada kewenangan lembaga lain di kawasan Danau Toba pada saat yang bersamaan, sehingga perlu dihindari overlap kewenangan karena akan membuat persoalan hukum yang baru, sistematis dlaam artian semua aktivitas pembangunan terarah dengan SOP yang jelas dan sinkron dengan kewenangan lainnya, terarah dan terpadu, dalam artian fokus pada tugas dan fungsi BOPKPDT, sehingga kemajuan terasa signifikan dirasakan oleh masyarakat dan wisatawan dalam dan luar negeri. Jika para pemangku BOPKDT kurang melaksanakan amanat ini, dapat mengakibatkan percepatan pencapaian tujuan dan sasaran badan ini dibentuk akan terganggu.
Prociding atau pintu masuk BOPKPDT adalah pelepasan kawasan hutan dan menurut informasi sudah diterbitkan. Kemudian tahap berikut ditandai bagaimana pintu masuk pemberian HPL di kawasan yang ditentukan seluas 500 Hektar ini, karena dilapangan sudah barang tentu diperlukan inventarisasi penggarapan bahkan mungkin ada kepemilikan garapan diatasnya yang harus diselesaikan dengan semangat membangun Kawasan Danau Toba, sebagai salah satu dari 10 Destinasi prioritas Pembangunan Nasional.
Apabila ada permasalahan, hendaknya sesegera mungkin diselesaikan dengan prinsip win-win solution dengan meletakkan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi atau perorangan. Dengan memberikan solusi yang menjamin taraf kehidupan para penggarap diatasnya dalam perspektif jangka panjang.
Semoga terlaksana dengan baik demi kesejahtraan masyarakat Kawasan Danau Toba dan menjadi lokomotif bangkitnya destinasi pariwisata lainnya di sekitarnya seperti Tapsel, Sibolga, Padangsidempuan, Madina, Padanglawas Utara sampai pada Wilayah Sumatra Bagian Timur seperti Medan, Sergei, Deliserdang dan lainnya.
Semoga.
Jakarta, 10 Juli 2016, pkl. 9.30 WIB,
RP, *Praktisi Agraria dan Pertanahan.
Sumber
1. Hukum Agraria Indonesia, Prof Dr. Boedi Harsono, Edisi Revisi, 1997.
2. Cara Praktis Memahami Bidang Agraria, oleh Drs, Waskito, Ir Hadi Arnowo,Mapp,Sc, penerbit Media Adji
3. Hak Atas Tanah bagi orang Asing, Tinjauan Politik Hukum dan Perlindungan WNI, FX Sumarja
Penerbit : STPN 2015.
0 Comments