Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Merasa Berjasa

FOTO ILUSTRASI SAJA.IST

BeritaSimalungun.com-Kepala daerah masuk penjara, biasanya dikarenakan oleh orang-orang dekatnya. Bisa saja, orang-orang yang mengelilinginya, kawan-kawan, sahabat, bahkan saudaranya. Termasuk, para bekas TS (Tim Sukses)-nya. Bukan justru oleh orang-orang yang menjadi lawannya. 

Seorang kepala daerah, memiliki banyak orang dekat, sahabat, kawan dan saudara. Semua mengelilinginya. Marapatnya. Padahal, lawannya cuma satu. Siapa ? Siapa lagi kalau bukan wakil kepala daerah. Dimana-mana di tanah air, kepala daerah memang selalu tidak seiring dengan wakil kepala daerah. Nggak cocok, tak akur. Semua kernek bus, memang wajar dan pantas kalau bercita-cita menjadi supir.

Ketidakakuran itu umumnya disebabkan oleh pembagian kekuasaan, juga oleh pembagian wewenang yang tidak berimbang. Tidak adil. Meski pun, tak bisa dipungkiri ketidakadilan itu sifatnya relatif. Rasa tidak puas, selalu menyelimuti dan akhirnya kecewa. Menyusul, terciptalah kesenjangan. Dan orang ramai pun pada berceloteh.

“Kepala daerah kami berseberangan dengan wakil kepala daerah kami”.

Betul, ada juga kepala daerah yang masuk penjara setelah dikerjai oleh wakilnya. Lihat misal, Syamsul Arifin waktu menjadi Gubernur Sumatera Utara. Meski pun, akhirnya pun Gatot Pujonugroho juga masuk penjara setelah disebut-sebut dikerjai wakilnya. Bonaran Situmeang Bupati Tapanuli Tengah, juga disebut-sebut masuk penjara setelah dikerjai wakilnya. Benar tidaknya, tak jelas sekali. Termasuk, Marim Purba ketika menjadi Walikota Pematangsiantar.

Selain itu, dari ratusan kepala daerah yang masuk penjara di tanah air, umumnya bisa mengenakan jaket oranye dikarenakan orang-orang di sekelilingnya yang dekat dengannya. Boleh jadi mereka adalah kawan-kawan sang kepala daerah, sahabat, bahkan saudara-saudaranya. Lihat misal RE Siahaan mantan Walikota Pematangsiantar, Kasmin Simanjuntak mantan Bupati Tobasa, Abdillah mantan Walikota Medan, termasuk Drs Rahudman Harahap.

Sebagai kawan, sahabat dan saudara, mereka selalu mempengaruhi kebijakan sang kepala daerah. Pengaruh itu mereka lakukan, umumnya karena merasa berjasa pada posisi yang diduduki kepala daerah tadi. Terutama pada masa proses pilkada. Merasa berjasa, boleh jadi memang hanya perasaan saja. Tapi ya begitulah. Karena merasa berjasa maka orang-orang dekat itu mau ini dan mau itu. Tidak begini, tapi begitu. Dan kepala daerah, merasa pula enggan untuk menolak atau membantahnya.

Biasanya, proyek-proyek pemerintah daerah yang berada dalam kendali sang kepala daerah menjadi incaran para orang dekat, kawan, sahabat dan saudara-saudaranya. Juga jabatan-jabatan di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Selanjutnya, juga SDA (Sumber Daya Alam) seperti kayu-kayu di hutan termasuk penerbitan atau rekomendasi untuk PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro) menjadi rebutan dan incaran. Selanjutnya, maka lahirlah kebijakan kepala daerah yang tidak bijaksana. Berpotensi dan bernuansa KKN. Semuanya menggiring si kepala daerah ke pintu penjara.

Padahal, ketika si kepala daerah meringkuk dalam penjara, semua kawan, sahabat bahkan saudara-saudaranya itu tidak pernah ikut-ikutan nginap di balik jeruji terali besi itu. Di balik tembok yang kokoh terkesan angkuh dan garang. Pada malam yang dingin, sepi dan bisu. Pada nyanyian pilu penuh penyesalan. Juga pada rintihan jiwa yang tersiksa. Semua sudah berlalu dan penyesalan pun memang selalu datang terlambat. Apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Mau apa lagi. Menunggu masa pembebasan sajalah. Dan koruptor yang berada di penjara, selalu diperas-peras sampai miskin semiskin-miskinnya.

Makanya, seorang kepala daerah tidak perlu merasa berhutang terhadap kawan-kawannya, sahabat atau malah saudara-saudaranya. Dan kawan-kawannya, sahabat serta saudara-saudara seorang kepala daerah tak perlu merasa berjasa lantas mempengaruhi kebijakan sang kepala daerah. Itu cuma perasaan saja. Atau, kalau sudah mendapat ya sudahlah. Meski pun memang biasanya kalau sudah mendapat selalu tidak pernah merasa puas. Yang namanya manusia, manalah pernah merasa puas. Selalu kurang dan kurang selalu.

Seorang kepala daerah harus cuma merasa berhutang pada anak negeri yang dipimpinnya. Semua, ya semua anak negerinya. Tidak peduli apakah anak negeri itu mendukung, memilih atau tidak memilihnya pada saat pilkada. Juga, tidak boleh berpikir bahwa warga ini orang-orang partai politik ini sedang orang-orang itu berasal dari partai politik itu. Sebab, sebuah daerah cuma bisa dibangun secara bersama-sama dan dengan kebersamaan saja. Termasuk, bersama anak rantau asal daerah yang bersangkutan yang berpencar di Nusantara.

Tapi apalah mau dikata. Secara umum ketika seseorang sudah menjadi kepala daerah, dia selalu merasa hebat dan jago sendiri. Dia merasa cuma dialah yang benar dan karena itu harus didengar secara mutlak dan absolut. Bahkan, dia merasa sebagai seorang raja yang maha kuasa, merasa semua bisa diatur dengan kekuasaan serta wewenang yang ada padanya. Orang lain tidak ada apa-apanya, Kenapa rupanya ?

Saya sendiri sebagai jurnalis memiliki satu dua kawan, sahabat atau saudara yang menjadi kepala daerah. Tapi ketika kawan, sahabat atau saudara saya itu sudah menjadi kepala daerah, saya memperlakukannya sebagai kepala daerah. Tidak lagi menjadi atau sebagai kawan, sahabat atau saudara. Saya tidak pernah mau mencampuri urusan dan kewenangannya bahkan saya selalu menghindar untuk melibatkan diri dari posisinya sebagai kepala daerah.

Paling-paling sesekali saya menjumpainya atau menghubunginya lewat telepon. Saya cuma bilang :
“Bantulah aku bah. Berikan uangmu untukku. Ada kebutuhanku yang mendesak”

Kepala daerah, memang pasti dan pasti sekali memiliki uang yang banyak dan banyak sekali. Banyak sekali. Bergoni-goni, berlemari-lemari. Bahkan bergudang-gudang. Mulai dari asbak, taplak meja, sapu, kaus kaki, sampai sprei dan bantalnya pun memang dibeli pakai uang rakyat koq. (Siantar Estate, 7 Agustus 2016 Ramlo R Hutabarat)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments